Suku Bugis terkenal sebagai suku yang memiliki semangat merantau yang cukup tinggi. Diaspora Suku Bugis ke wilayah lain di Nusantara mulai terjadi pada abad ke-17. Migrasi ke luar dari tanah Bugis didorong oleh berbagai fator. Faktor utama yang mendorong terjadinya diaspora suku Bugis adalah faktor ekonomi serta faktor keamanan terutama pada saat terjadinya ekspansi kekuasaan kolonial Belanda ke wilayah Sulawesi Selatan.
Belanda memperluas wilayah kekuasaannya  hingga ke pedalaman dan berhasil menaklukkan wilayah Bone pada tahun 1905 hingga Tana Toraja pada 1907. Pemerintah kolonial Belanda melakukan tekanan berupa kerja paksa untuk pembuatan jalan dan kegiatan lainnya untuk kepentingan pemerintah Belanda.Â
Banyak petani yang tidak dapat mengerjakan sawah dan ladangnya karena harus mencurahkan perhatiannya pada kegiatankegiatan pembangunan yang berkaitan dengan kepentingan penjajah.Â
Penetrasi kapitalis Belanda menjalar sampai ke daerah perdesaan Sulawesi Selatan. Tekanan fisik, psikis serta perbedaan kelas sosial yang melahirkan sikap feodalisme memaksa Suku Bugis bermigrasi ke wilayah lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Salah satu daerah yang menjadi tujuan migrasi Suku Bugis adalah daerah Pagatan yang terletak di Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Daerah Pagatan terkenal sebagai sentra penghasil tenun di Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Bumbu terletak di daerah pesisir dengan posisi yang cukup strategis, berbatasan dengan Selat Makassar dan Laut Jawa dan posisinya dekat dengan wilayah pulau Sulawesi. Hasil alam Tanah Bumbu berlimpah menjadi penarik bagi orang orang Bugis ber-diaspora ke daerah ini.
Pada masa lalu sistem pemerintahan Pagatan berbentuk kerajaan. Kerajaan Pagatan yang dahulunya diserahkan oleh Sultan Banjar meliputi sebuah wilayah yang cukup luas. Namun setelah sistem pemerintahan Kerajaan Pagatan dihapuskan oleh Belanda pada tanggal 1 Juli 1912 dengan staatblads 1912 no 312, maka wilayahnya semakin mengecil. Menurut catatan sejarah, sebelum berkembang menjadi daerah permukiman yang ramai, Pagatan merupakan sebuah wilayah kecil yang terdiri dari hutan belantara dan hutan rotan.Â
Atas restu dan izin dari Sultan Banjar, yakni Penembahan Batu atau Pangeran Nata Dilaga atau Sultan Tahmidullah (1761- 1801 M), maka saudagar Bugis Wajo, bernama Puanna Dekke kemudian membuka perkampungan baru bersama dengan anak buahnya.Â
Restu dan izin yang diberikan oleh Sultan Banjar ini menjadi suatu kehormatan sekaligus pendorong bagi Puanna Dekke dan anak buahnya dalam membuka dan membangun permukiman baru, sampai akhirnya menjadi sebuah kampung yang diberi nama Kampung Pagatan (asal kata dari tempat pamagatan).Â
Kampung Pagatan dalam pengaturan Puanna Dekke kemudian berkembang sebagai salah satu kawasan dan bandar yang sangat strategis, karenanya letaknya yang diapit oleh Laut Jawa dan dibelah oleh Sungai Kukusan (Sungai Kusan) dan berkembang menjadi salah satu pelabuhan sungai yang penting di wilayah Kerajaan Banjar.
Diaspora Suku Bugis ke Pagatan membawa serta berbagai tradisi dari tanah asal mereka, salah satunya adalah tradisi menenun. Menenun bukan hanya mengolah benang menjadi kain dengan aneka warna dan motif, namun juga sarat akan nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Kain tenun Pagatan terkenal akan keindahan dan kelembutan warna serta motifnya yang merupakan perpaduan antara budaya Bugis dan Banjar.Â