Mohon tunggu...
La Himmah
La Himmah Mohon Tunggu... Penulis - Be

Positive

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembara

26 Juli 2019   20:52 Diperbarui: 26 Juli 2019   20:55 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Saya butuh tempat bermalam untuk melanjutkan perjalanan kek " 

" Oh begitu kiranya.. mari, mari masuk "

Ruangan bernuansa oranye itu membentuk bayangan kilasan rambut panjang saat aku memasukinya, tiga lampu minyak yang menempel di tembok, memancarkan cahaya benderang jika dilihat dari luar. Kami duduk di bangku-bangku yang terbuat dari tetelan kayu yang disusun dan diikat menggunakan serat tali. Aku buka dua bungkusan nasi jagung dan gelondong air untuk makan kita malam ini. 

" Kemana tujuanmu sebenarnya anak muda? "

" Tidak tau kek, aku ingin mengembara mencari suasana lain dari tempatku, Kumagarasih "

" Kau dari Kumagarasih? "

" Iya, memangnya ada apa kek? "

" Aku kenal betul dengan Raden Mas Rahadi, kabarnya ia sedang mencari putrinya yang hilang. "

Aku tersedak, seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku.

***********

" Ini semua ulahmu! " Raden Sekar mengutuk suaminya

" Mengapa ulahku? Kau sendiri yang merencanakan perjodohan dengan anak-anak raja negeri sebrang " 

" Jika dari kecil kau tak mendidiknya seperti anak laki-laki semua ini tidak akan terjadi, sekarang aku tak tau dia dimana, dimana putri kita?!! "

" Apa yang salah dari berkuda dan memanah? "

****************

" Tidak bersyukur sekali anak itu, sudah enak di istana dengan pelayan yang banyak, malah kabur dari sana " ujar kakek menyesalkan sikap sang putri

" Bagaimana jika memang bukan lingkungan seperti itu yang ia mau? Bagaimana jika apa yang ia cari berada di luar tembok-tembok istana? "

Angannya memutar kembali masa satu purnama yang lalu. Raden Sekar Ajeng mengumumkan mengenai pertemuan tujuh kerajaan membahas akulturasi kerajaan-kerajaan melalui putra putri mereka. 

" Kau tidak bisa pergi memanah dalam satu bulan ini "

" Mengapa bunda? "

" Kau harus mendapat pengajaran mengenai silsilah kerajaan, tata berjalan, tata makan "

" Itu membosankan "

Sudah sembilan hari berlalu, itu artinya lima hari lagi pertemuan yang sangat enggan ia pikirkan sebentar lagi akan dihadapi dan semua pengajaran-pengajaran dari Raden Sekar Ajeng belum juga ia lakukan dengan baik.

" Menjadi seorang putri berarti harus tunduk pada aturan, menjaga diri di dalam istana, dan mengayomi seisi kerajaan "

" Bukankah aku sudah melayani masyarakat dengan membagi-bagikan hasil tangkapanku dari memanah kepada orang-orang setiap hari Jum'at? "

" Itu tidak cukup. Liat bajumu, caramu berjalan, caramu menunggangi kuda. apa menurutmu itu semua sudah memenuhi standar seorang putri raja? " Ucap Raden Sekar dengan nada meninggi sembilan hari sembilan perdebatan juga yang ia lakukan bersama putrinya. "Ini takdir kita sebagai keluarga kerajaan. Jalani saja "

Hari besar yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Tujuh kerajaan besar datang beriringan dengan suara tabuh dan genderang, merayakan kebesaran mereka. Setelah beramah tamah, mengobrol sedikit banyak, tidak ada satupun dari mereka yang menarik di hati Ning Mas mungkin memang dipikirannya bukan pria-pria itu tetapi hanya berkuda dan memanah dan menurutnya malah mereka adalah gangguan yang menyebabkan ia berhenti memanah dan menerima pengajaran-pengajaran segala macamnya.

" Siapa yang bisa memanah apel itu sampai jatuh dari pohonnya, maka ia yang akan dipilih " ujarnya sambil menunjuk buah apel yang menggantung dalam jarak kurang lebih 300 meter dari tempat mereka berdiri. Putradari Kerajaan Sabah maju, mencoba memanah dan gagal diikuti oleh Kerajaan Sriwenggani, Baluran, Kalijati, dan lainnya yang berakhir dengan hal yang sama. 

Ning Mas Hasri berdiri dari tempatnya berjalan ke tengah-tengah mereka, " Akan ku tunjukkan bagaimana menjadi pemanah yang baik ", mengangkat rok brokatnya setinggi betis, melonggarkan kebayanya dengan paksa hingga robek di bagian ketiak, memasang kuda-kuda dan mengangkat alat panahnya. Anak panah melesat dengan jitu satu, dua, tiga apel berjatuhan dan segera dipungut oleh anak-anak yang bermain di bawahnya.

" Astaga apa yang dilakukan putriku!!!" Raden Sekar dan Raden Mas Rahadi memekik dalam tangan yang ia titipkan ke mulut.

*************

" Kau sudah mempermalukan kerajaan kita dan kerajaan mereka. Mana pengajaranmu selama dua Minggu ini! " Raden Sekar menariknya ke kamar, Raden Mas Rahadi mengikuti dari belakang, diam.

" Aku tidak ingin ini semua. Aku tidak pernah punya keinginan sedikitpun untuk menjadi penerus tahta kalian, ini semua bukan yang aku butuhkan " ujarnya sambil melepas buntalan konde yang tertangkup di rambut belakangnya " Aku Hasri tanpa ada gelar Ning Mas, tidak akan menjadi standar kerajaan dan tidak akan menjadi standar siapapun " Ning Mas Hasri berlari ke arah kandang kuda wajahnya merah padam, titik-titik air mata membasahi pipinya, segera ia melaju membawa Gajah keluar dari pagar istana.

****************

Ayam berkokok, matahari meninggi, segera ia bangun dan mematikan lampu-lampu minyak yang telah menemaninya semalaman. Gajah masih tidur beralas daun lontar di dekat pekarangan kakek. Ia menuju perapian untuk menghangatkan diri dari angin subuh yang sedingin es.

- Cerbung part 2 -

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun