Saya ikut diundang Kompas mewakili Kompasiana sebagai audience pada program dialog Gagas RI dengan tema "Agama dan Keindonesiaan" 30 Januari 2023 lalu. Dalam dialog Gagas tersebut, Narasumber KH Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU periode 2022-2027), berbicara selama 25 menit. Dari gagasan seorang Yahya, saya mendapat sejumlah pengakuan yang saya torehkan pada goresan berikut.
Yahya mengaku bahwa dia dulunya adalah seorang ekstrimis agama. Seorang yang fanatik keras terhadap agama. Yahya belajar agama dari kecil dan sampai besarpun ia seorang yang radikal soal agama karena memang dia ajarkan begitu. Namun sekarang Yahya sudah berubah. Sudah menjadi orang yang toleran setelah belajar banyak dari Gus Dur.
Yahya mengaku bahwa dalam setiap agama ada kandungan ajaran permusuhan. Itulah sebabnya ada perang Salib antara Islam Vs Kristen. Namun bukan hanya antara agama yang berbeda, di internal agama sendiri ada perang seperti antara kaum Sunni dan Syiah dan antara Protestan dan Katolik. Ini semua karena agama mengandung ajaran permusuhan bagi yang tidak seagama atau sealiran. Masalahnya, persoalan seperti ini dianggap benar dan lumrah.
Bagi yang tidak seagama dalam Islam disebut kafir walaupun sudah diminta dihaluskan non- Muslim tetap saja ada yang berkoar-koar menggunakan kata kafir. Padahal menurut Yahya, penggunaan kata kafir ini benar-benar sangat diskriminatif dan sudah tidak relevan lagi dengan zaman. Itulah sebabnya NU sudah mengumandangkan penghapusan kata kafir bagi setiap  warga RI yang bukan Muslim.
Yahya mengaku bahwa jika seseorang yang Muslim masuk Kristen, ia tidak menyebutnya murtad. Yahya menyebut orang yang pindah agama dengan sebutan orang yang belum beriman. Jika seorang Muslim pindah agama Yahya menganggap bahwa orang tersebut dari dulunya belum menjadi Muslim. Demikian juga seorang Katolik  yang masuk Islam misalnya. Dari dulunya orang tersebut belum benar-benar Katolik atau belum Katolik. Baginya jika seseorang sudah benar-benar sudah menjadi Muslim, benar-benar sudah menjadi Katolik, Kristen, Budha, Hindu, maka tidak mungkin pindah agama.
Yahya mengaku bahwa sangat bersyukur soal Keindonesiaan saat ini. Tidak ada negara yang sebanyak suku, agama, adat dan beragam budaya dan mau melebur ke dalam sebuah bangsa bernama Indonesia dan menyatakan kesetaraan. Indonesia sejak tahun 1928 sudah menyatakan dan mempraktekkan kesetaraan. Indonesia satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Sementara Amerika Serikat yang menggembar-gemborkan kesetaraan baru benar-benar dilaksanakan pada tahun 1960an. Kesetaraan yang digembar-gemborkan oleh Amerika adalah hanya kesetaraan di antara kulit putih dan bukan terhadap yang berkulit hitam. Jadi Indonesia sudah mempraktekan kesetaraan lebih dulu dibanding Amerika.
Budaya, adat dan sejarah asal keIndonesiaan sudah mengakar kuat. Yahya mengaku bahwa negara Tunisia, negara-negara Afrika, banyak yang sejarahnya asal-usulnya tidak berakar-kuat seperti Indonesia. Bahkan negara Saudi Arabia pun, asal-usulnya juga tidak berakar kuat. Negara Saudi adalah negara yang dimiliki oleh keluarga Saud, Saudi. Tetapi Indonesia, asal-usulnya sudah mengakar kuat di bumi Nusantara.
Yahya mengaku bahwa jika masih ada orang-orang yang ingin memecah Indonesia, itu karena Indonesia belum selesai dengan dirinya. Ada pihak-pihak yang ingin menegakkan khilafah. Mereka yang masih ngebet dengan khilafah perlu dibuka matanya secara realitis. Jika ditegakkan khilafah maka secara realistis akan membuat perang saudara dengan ratusan ribu atau jutaan orang mati. Lalu Indonesia akan terpecah-pecah. Apakah itu realistis?
Khilafah itu tidak mengenal batas negara. Itu berarti Malaysia, Singapura, Brunei dan negara lain harus disatukan dalam satu negara khilafah. Itu pasti akan perang lama dan berlarut-larut dengan korban tak terhingga. Ini benar-benar  sangat tidak realistis. Khilafah kalau begitu harus ditolak kerena tidak realistis.
Yahya mengakui bahwa misi NU adalah memperjuangkan dan menegakkan kesetaraan di berbagai bidang terutama di bidang politik dan ekonomi. Ia mengaku bahwa NU perlu dijauhkan dari tunggangan politik dan politik identitas. Politik identitas sangat berbahaya bagi negara ini dan oleh karena itu harus dijauhkan. Jika ada orang yang mengatasnamakan NU, itu bukan atas nama NU tetapi atas nama kredibilitas masing-masing orangnya.
Perda-Perda Syariat yang diberlakukan di daerah, sama sekali tidak didukung oleh Yahya. Alasannya Perda itu hanya dari kacamata agama tertentu dan bersifat sangat diskriminatif dan mengabaikan kesetaraan. Publik  perlu diberikan pendidikan politik agar mendukung pemimpin yang mempertahankan NKRI dengan prinsip kesetaraan.
Yahya mengaku bahwa agama perlu dihadirkan di ranah publik namun bukan simbol-simbolnya dan orangorangnya tetapi substansinya. Substansi agama adalah nilai-nilai agama yang berlaku secara universal yakni keadilan, kedamaian, keharmonisan dan kesetaraan.
Salam Kompasiana
Asa'aro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H