Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Analisis Kenapa Jokowi Terus Dihantam Isu PKI

29 Mei 2020   20:52 Diperbarui: 30 Mei 2020   06:18 7455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi terus dihantam isu PKI. Kompas.com

Publik mengira, isu PKI akan hilang setelah Pilpres 2019. Nyatanya tidak. Isu PKI masih terus digoreng dan dipolitisasi hingga saat ini. Mengapa isu ini digoreng oleh lawan-lawan Jokowi? Mari kita analisis penyebab dan tujuannya dengan hati riang gembira, aman sentosa, tenteram dan bahagia selamanya sambil menyambut new normal ala Jokowi.

Jangan lupa, pernah ada pembantaian massal di Indonesia yang keji dan beringas. Pembantaian massal ini berlangsung  dalam kurun waktu 1965–1966 terhadap orang-orang yang dituduh komunis oleh Soeharto. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut.

Pembantaian massal ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional. Di era kebebasan demokrasi ini banyak ahli sejarah terutama dari luar negeri ingin menyingkap misteri pembantaian ini dari berbagai perspektif ideologis.

Vanessda Hearman, seorang sejarahwan yang memberi kuliah di Universitas Charles Darwin, menghabiskan bertahun-tahun waktunya untuk meneliti Kuburan Tanpa Tanda di Jawa Timur. Ia menulis:

“Pada awal 1966 ada sekitar 200.000 orang terbunuh di Jawa Timur, korban tewas tertinggi di kepulauan 17.000 pulau. Tahap pertama bersifat demonstratif dan terbuka, sedangkan yang kedua secara rutin disembelih dari mata publik”, tulis Hearman.

Dalam buknya: “Unmarked Grave”, Hearman memaparkan awal pembantaian. Pembantaian dimulai dari Jakarta. Lalu menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Sesudahnya pembantaian terjadi di seluruh Indonesia.

Pembantaian di awal Januari 1966 diringi oleh aksi demonstrasi mahasiswa. Aksi ini digerakkan oleh Angkatan Darat melalui Jendral Syarif Thayeb. Selama kuartal kedua tahun 1966, gerakan demonstrasi itu memuncak sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1967 menjelang pelantikan Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Ketakutan pelurusan sejarah

Soeharto yang paling awal menuduh PKI menjadi dalang dari peristiwa pagi hari Jumat tanggal 01 Oktober 1965 tersebut. Tanpa pemeriksaan dan penyelidikan yang memadai, Soeharto mengambil kesimpulan PKI sebagai dalang.

Kesimpulan ini diambil oleh Soeharto hanya karena Kolonel Untung yang mengaku menjadi pimpinan Dewan Revolusi (kelompok tandingan untuk Dewan jendral) memiliki kedekatan pribadi dengan tokoh-tokoh utama Biro khusus Partai Komunis Indonesia.

Dunia internasional terutama Barat tidak pernah mengecam pembantaian massal ini. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.

Barat mendukung Soeharto melakukan pembantaian dan memintanya sebagai antek Barat dalam melawan komunisme. Selama 32 tahun kemudian, kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri khas kepresidenan Soeharto.

Adam Hughes Henry, seorang dosen di Universitsa Nasional Australia menerangkan bahwa Amerika, Inggris dan Australia mendukung pemusnahan PKI di Indonesia. Mereka pun ikut melindungi tentara dan mencegah kemungkinan sanksi hukum di luar Indonesia. Itulah alasan utama mengapa pembantaian massal ini tidak pernah diangkat di dunia internasional.

Dosa pembantaian massal Soeharto yang membantai rakyatnya seperti Khmer Merah di Kambodja, tidak pernah diungkit. Ketika PDIP memenangkan dua kali pemilu ditambah kadernya Jokowi menjadi Presiden, usaha untuk meluruskan sejarah mulai dilakukan.

Ada keinginan dari para elit PDIP untuk menyingkap tabir gelap pembunuhan massal ini. Di kalangan anak muda dan akademisi, ada keinginan untuk tahu lebih banyak tentang apa sebenarnya yang terjadi pada tahun 1965.

Pada 2015, setelah bertahun-tahun mendorong akuntabilitas, sekelompok cendekiawan, pengacara, dan pakar keadilan transisional mengadakan Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag untuk mengkodifikasi kejahatan yang dilakukan pada 1965-1966. Tujuannya adalah untuk mempromosikan penegakan hukum dan mencegah kejahatan yang sama terulang.

Sesedikit apapun gelagat penyelidikan dan pelurusan sejarah tersebut langsung menimbulkan reaksi keras dari para jenderal militer, politisi Islam dan keluarga Soeharto. Mereka senantiasa memperingatkan bahwa pembicaraan rekonsiliasi atau permintaan maaf adalah rencana untuk menghidupkan kembali komunisme.

Kelompok Islam garis keras dan tentara telah menutup kelompok diskusi, pembukaan buku, dan pemutaran film tentang pembunuhan massal di Indonesia. Setiap upaya untuk menyelidiki masa lalu dipandang sebagai ancaman neo-komunis terhadap bangsa.

Saya yakin bahwa salah satu alasan kenapa isu PKI tetap digoreng agar Jokowi dan PDIP tidak pernah membuka penyelidikan dan pengusutan pembantaian massal ini. Mereka yang merasa terancam oleh pengusutan ini terus mendanai kaum radikalis agama agar terus membuat isu PKI bangkit. Dengan demikian mereka tetap selamat dari penyelidikan dan tidak senasib dengan rezim Khemer Merah yang didakwa telah melakukan genosida di pengadilan internasional.

Isu PKI di tengah Wabah Covid-19

Isu PKI kembali marak di tengah pandemik Covid-19 dibuat dengan tiga tujuan. Pertama, untuk membuat gaduh dan memperkeruh situasi. Dengan demikian perhatian dan energi pemerintah untuk menangani wabah terbagi.

Kedua, untuk menyerang pemerintahan Jokowi agar semakin terdegradasi. Mereka yangmengangkat isu ‘mall dibuka sementara rumah ibadat ditutup’ bertujuan agar semakin banyak masyarakat yang percaya bahwa Jokowi PKI. Ingat dari pengakuan Jokowi sendiri di saat kampanye Pilpres lalu, ada 6 persen atau 9 juta rakyat Indonesia yang percaya bahwa Jokowi adalah PKI.

Ketiga, kita paham bahwa selama ini Jokowi sukses membuat China berinvestasi besar-besaran dan bersedia membangun smelter di Indonesia. Jokowi meninggalkan Barat yang tak mau mendirikan smelter di Indonesia. Kerja sama dengan China akan membuat ekonomi Indonesia semakin maju lebih cepat.

Masalahnya ada banyak pihak yang tak mau Jokowi suskes menjadikan Indonesia negara maju. Salah satu cara menghalanginya adalah dengan melempar isu bangkitnya PKI lewat masuknya TKA dari China. Dan itu sudah terbukti. Ada 500 orang TKA dari China terhalang datang ke Sulawesi Tenggara. Padahal mereka itu adalah tenaga ahli khusus untuk menginstal alat-alat smelter.

Saran saya kepada aparat kepolisian untuk menangkap dan memproses siapa saja yang melempar isu PKI ini di sosial media. Mereka yang membakar bendera PKI, memakai logo palu arit dan berkoar-koar PKI bangkit perlu ditangkap dan diusut.

Salam Kompasiana, Asaaro Lahagu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun