Pasca terpuruk di dasar jurang, Ahok secara perlahan mulai bangkit. Sejak menyerempet Surat Al-Maidah akhir September 2016 lalu, Ahok diserang dari segala penjuru. Serangan Buni Yani, Habib Rizieg, Amin Rais, Munarman, Ahmad Dhani, Fadli Zon, Fahri Hamzah, SBY, Ratna Sarumpaet, MUI, ILC TV One, survei LSI Denny JA dan seterusnya datang bertubi-tubi bak Tsunami. Hasilnya Ahok terlihat hancur-lebur berkeping-keping.
Puncaknya ketika dua serangan rudal meluluh-lantahkannya. Demo 4 November 2016 adalah serangan rudal paling mematikan bagi Ahok. Lalu penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri 16 November 2016 adalah serangan rudal pencabut nyawa.
Saat dirinya ditetapkan tersangka, Ahok dinyatakan sudah tamat. Akan tetapi hanya beberapa detik pasca penetapan itu, Ahok ternyata bangkit lagi. Dukungan kepadanya lewat sosial media dengan tagar “Kami Ahok”, berhari-hari menjadi trending topik di Twitter. Berbagai polling di sosial media menempatkan Ahok di urutan paling atas.
Sejak Ahok ditetapkan sebagai tersangka, namanya justru semakin berkibar bukan hanya di Indonesia tetapi juga di dunia internasional. Tak kurang Amnesty Internasional meminta Polri menghentikan penyelidikan kasus Ahok. Sebelumnya ditenggarai bahwa demo 4 November 2016, membuat Donald Trump menang atas Hilary Clinton pada Pilpres Amerika. Negara-negara Barat pun akan terus menyorot Indonesia.
Di rumah pemenangan Ahok di Lembang, dukungan deras datang dari berbagai pihak, termasuk dukungan dari PPP Djan Faridz. Setiap hari ratusan orang silih berganti menyatakan dukungan atau menerima beragam pengaduan. Diperkirakan bahwa label tersangka yang disandang Ahok tidak terpengaruh. Walaupun Polri mencoba berpacu dengan waktu agar kasus Ahok cepat tuntas, namun mendapatkan vonis di pengadilan tidak secepat yang diharapkan. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan tahunan untuk mendapat label ikrah atau berkekuatan hukum tetap.
Para pendukung Ahok yakin bahwa Ahok mampu memenangkan Pilkada DKI satu putaran. Keyakinan itu terlihat dari warga Jakarta yang tidak banyak turun ke jalan saat demo 4 November lalu. Pun saat parade Bhinneka Tunggal Ika, masyarakat Jakarta tidak banyak yang turun ke jalan. Warga Jakarta terlihat wait and see.
Sepintas ada keanehan yang melanda warga Jakarta saat ini. Hasil Survei Indikator misalnya menyatakan bahwa warga Jakarta puas atas kinerja Ahok namun tidak mau memilihnya. Namun bila dianalisis lebih lanjut keanehan itu bisa dipahami. Jika hasil survei elektabilitas Ahok beberapa pekan terakhir cenderung turun, itu bisa jadi karena status Ahok yang saat ini telah ditetapkan tersangka atas dugaan penistaan agama yang membuat dukungan kepadanya semakin tergerus. Itu kemungkinan pertama.
Akan tetapi kemungkinan keduanya dan ini yang ditakuti para lawan Ahok, adalah orang yang disurvei enggan menjawab pertanyaaan karena faktor memanasnya suhu politik dan sosial di masyarakat. Kondisi itu membuat orang yang ditanya dalam survei tak mau mengambil risiko politik. Dari dukungan kepada Ahok di Lembang, terlihat bahwa warga Jakarta yang punya suara malah simpatik kepada Ahok yang dikepung dari segala sudut.
Soal hasil survei yang mencap elektabilitas Ahok jatuh, ada kemungkina bahwa masyarakat yang disurvei saat ini cenderung tidak terbuka dan jujur mengutarakan apa yang ada di benaknya. Alasannya untuk menghindari risiko politik dan sosial. Bisa saja warga Jakarta tidak mengatakan mendukung Ahok tapi di bilik suara berbalik mendukung.
Masyarakat Jakarta sangat rasional dalam memilih. Namun mereka tidak mau menghadapi resiko politik dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menghindari risiko politik itu, warga Jakarta cenderung menyatakan dukungan kepada Anis atau Agus atau bahkan tidak menjawab sama sekali.
Warga Jakarta yang rasional dalam memilih paham sekali bahwa Ahok saat ini terus dikepung oleh kasus SARA. Alasannya, hanya itu yang bisa menghentikannya. Ahok yang memiliki elektabiltas tinggi, jelas susah dikalahkan. Namun warga Jakarta sendiri tidak mudah digerakkan. Oleh karena itu orang dari luar Jakarta dikerahkan untuk menjegal Ahok.
Saat ini mayoritas masyarakat Jakarta terlihat mencari aman. Mereka cenderung menjaga risiko politik dan sosial di masyarakat. Masyarakat Jakarta dari berbagai survei terkesan berpura-pura tidak memilih Ahok. Tujuannya adalah agar orang luar Jakarta tidak perlu mencampuri urusan politik di Jakarta. Di daerah lain juga banyak penistaan agama tetapi sama sekali tidak diangkat ke permukaan. Mengapa? Karena memang tidak menarik.
Kekuatan silent majority inilah yang menakutkan para lawan Ahok. Siapa yang berani menjamin bahwa masyarakat Jakarta tidak lagi memilih Ahok di bilik suara? Jika ternyata Ahok menang satu putaran, maka kiamat bagi para lawan Ahok untuk bertahun-tahun ke depan. Nah, oleh karena itu tidak ada jalan lain selain mematikan dan mengubur Ahok untuk selama-lamanya. Penetapan Ahok sebagai tersangka belumlah memuaskan para lawan Ahok. Mereka meminta Ahok ditahan agar tidak lagi berkoak-koak mengkampanyekan dirinya.
Jika kemudian pun Ahok sudah ditahan atau dipenjara, maka lawan Ahok akan demo lagi agar Ahok secepatnya divonis di atas lima tahun sebelum Pilkada 15 Februari 2017 mendatang. Dan jika sudah divonis, maka para lawan Ahok akan demo lagi agar MA secepat kilat membuat hukuman Ahok inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Apakah demo dan tuntutan demo itu masih waras atau mengedepankan proses hukum yang adil? Untuk sementara sama sekali tidak dipedulikan. Demi mematikan Ahok dan menguburnya untuk selama-lamanya, Habieb Rizieq tanpa membaca benar undang-undang, terus melontarkan logika dungu bahwa ia akan memasukkan Presiden dan Kapolri ke penjara jika menghalangi demo 2 Desember 2016.
Logika-logika dungu memang banyak diperlihatkan dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini. Sebagai contoh misalnya, Agus mengatakan bahwa program calon gubernur sama sekali tidak penting asalkan orangnya baik. Belum lagi cara Anis Baswedan mengatasi perumahan kumuh di DKI yang katanya tidak akan digusur tetapi cukup dilukis, membuat hati geli mendengarnya.
Apakah demo 2 Desember 2016 mendatang yang tujuannya agar Ahok ditahan oleh Polri sukses? Apakah demo itu semakin membuat semakin banyak logika dungu terlihat? Entahlah. Yang jelas kolaborasi membahana antara TNI-Polri beserta masyarakat yang mencintai NKRI semakin terlihat kokoh dan tak mudah digoyahkan. Dan satu lagi yang perlu dicamkan, yakni bahwa Ahok masih hidup dan bahkan ia mulai bangkit lagi.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H