Ahok sedang digencet saat ini? Ya, benar. Ahok sedang menjadi sasaran tembak. Tanpa susah-payah mencari, para musuh Ahok seolah disodorkan senjata dahsyat ketika Ahok berani menyerempet Surat Al-Maidah ayat 51. Hal itu telah memicu penggecentan dirinya sendiri. Lalu benarkah Ahok mampu digencet dan akhirnya benar-benar tergencet? Sebelum mengulasnya lebih lanjut, mari kita identifikasi dulu siapa musuh Ahok dan skenario mereka saat ini dengan pikiran yang waras.
Para musuh Ahok jelas tersebar dimana-mana. Musuh utamanya adalah kaum fundamentalis ekstrim berbaju agama semacam FPI dan HTI. Ormas berdaster ini berada di barisan depan medan tempur baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Mereka ini ingin menyingkirkan Ahok bagaimanapun caranya, termasuk membunuh sekalipun. Ahok jangan sampai menjadi Gubernur lagi. Ahok harus ditumbangkan sebelum Pilkada. Itu tujuan utamanya.
Alasan para kaum ekstrimis memusuhi Ahok adalah pertama, Ahok double minoritas dengan cap kafir yang disematkan pada dirinya. Oleh karena itu, Ahok tidak boleh menjadi pemimpin di negeri ini. Kedua, Ahok terlalu lancang menghilangkan sumber-sumber pendapatan ormas selama ini seperti lahan parkir, setoran dari PKL liar dan pungutan liar dari perusahaan-perusahaan yang tidak mau disweeping. Ketiga,Ahok tak lagi mau mengucurkan dana-dana hibah dari Pemrov DKI sebagaimana kebiasaan gubernur sebelum Jokowi-Ahok. Hal ini jelas menggangu kondisi keuangan dan periuk ormas.
Sejajar dengan garis depan, Muhammad Taufik dan Abraham Lunggana alias Lulung (wakil ketua DPRD DKI Jakarta) terus mengobarkan perseteruan dengan Ahok. Masing-masing dua orang ini di-back-up oleh partai Gerinda dan PPP plus Fadli Zon dan Fahri Hamzah di DPR Senayan. Mereka-mereka ini tak kenal lelah menyerang Ahok dengan berbagai cara. Alasannya jelas.
Pertama, lahan basah Lulung di Tanah Abang yang bisa menghasilkan mobil Lamborgini dalam sekejap, telah dikeringkan habis oleh Ahok. Kedua, Ahok telah menghina partai Gerinda dengan keluar dari partai itu dan ketiga, Ahok telah mengikis habis dana-dana anggaran siluman pada APBD DKI Jakarta yang membuat perusahaan siluman mereka juga terkena imbas. Dan ini sangat memukul batin Lulung dan Taufik.
Di belakang garis depan, ada sederet para musuh Ahok yang juga rajin turun ke lapangan. Mereka itu adalah Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Yusril Ihzra Mahendra, Habiburohman dan Amin Rais dan para pengikut mereka. Mereka memusuhi Ahok juga dengan alasan bahwa (1) Ahok mulutnya comberan, (2) ingin menarik simpati masyarakat yang tertindas dan (3) ingin menebeng pada popularitas Ahok sekaligus mengangkat kembali citra mereka yang semakin redup. Orang-orang ini melakukan berbagai cara untuk menurunkan Ahok atau sekedar menjegal pencalonan dirinya menjadi cagub DKI untuk periode kedua.
Kemudian di tingkat komando ada para mantan sebelumnya seperti mantan RI-1, mantan jenderal TNI-Polri, mantan ketua partai yang tidak perlu disebutkan namanya di sini. Mereka ini sangat ingin menjegal Ahok karena (1) cemburu, iri hati dan dengki pada prestasi kerja Ahok di DKI, (2) tersinggung atas segala sindiran-sindiran pedas Ahok dan (3) merasa terancam akan keberadaan Ahok di ibu kota terutama di masa depan. Ahok adalah ancaman masa depan para mantan.
Lalu digaris belakang, para pemilik media raksasa seperti Hary Tanoe, The Good Father, Pemilik Tempo, Gunawan Muhammad, Jawa Pos milik Dahlan Iskan, ikut menyerang Ahok dengan motif bisnis. Mereka kebakaran jenggot karena Ahok tidak bisa diajak bekerja sama untuk membagi-bagi kue bisnis di DKI Jakarta. Bersama mereka berjubelah media-media online abal-abal seperti portal piyungan, pos metro dan seterusnya. Lalu memanfaatkan masyarakat liar yang digusur, mereka ikut menabuh genderang perang menumbangkan Ahok lewat media massa milik mereka.
Ketika Ahok tergelincir dan menyerempet Surat Al-Maidah ayat 51 itu, para musuh Ahok pun bersatu. Kata “dibohongi” pun menjadi viral dan digarisbawahi. Logika bahasa pun menjadi terbalik. Kesalahan Ahok itu dilipatgandakan, dibesar-besarkan, digoreng dan dibumbui lebih banyak. Hasilnya dari setitik, kini menjadi sebukit. Jadilah predikat Ahok sekarang Penista Agama, Penista Al-Quran, Penghina Ulama, pemecah-belah NKRI. Padahal itu hanya fitnah belaka. Tuntutannya adalah tangkap Ahok, penjarakan Ahok bahkan bunuh Ahok. Sadis dan mengerikan.
Demi mempercepat penumbangan Ahok, maka lawan-lawan Ahok terutaman FPI kini sedang menjalani beberapa skenario. Skenario pertama adalah terus melakukan demonstrasi sampai menjelang hari H pencoplosan Pilkada 2017 mendatang. Tujuannya adalah pertama, membuat nama FPI kembali melejit, menjadi pahlawan terdepan penjegal Ahok. Selama ini FPI terpaksa tiarap setelah gagal berkali-kali menumbangkan Ahok.
Lewat penghimpunan dan pengerahan massa, maka ormas-ormas ini akan mendapat keuntungan materi lewat aksi-aksi mereka. Mereka bisa memperoleh dana demo dari sponsor dari kompetitor Ahok, partai, pengusaha yang tidak menyukai Ahok. Isu kucuran dana 10 miliar pada demo 14 Oktober yang ditenggarai dibiayai oleh pihak terntentu adalah salah satu contohnya. Massa yang berdemo lalu difoto dan dijadikan jualan lagi untuk mendapatkan dana yang lebih besar.
Tujuan kedua adalah menjatuhkan citra Ahok yang sulit dikalahkan bila hanya adu program atau adu integritas. Maka hanya lewat pengangkatan isu-isu SARA-lah satu-satunya jalan untuk menjatuhkan citra Ahok agar tidak bisa terpilih lagi di Pilkada DKI 2017 mendatang. Dengan jatuhnya citra Ahok, maka pasangan Anis-Sandiaga dan Agus-Sylviana akan naik pamor dan pada hari pencoplosan, kedua pasangan ini dapat mengeliminasi Ahok pada putaran pertama. Nantinya pada putaran kedua, hanya pasangan Anies-Sandiaga dan Agus-Sylvianalah yang berlaga. Inilah mimpi mereka. Ahok harus tumbang sebelum berlaga di Pilkada 2017 mendatang. Titik.
Tujuan ketiga dari skenario pertama adalah memaksa Bareskrim Polri menangkap Ahok, lalu menetapkannya sebagai tersangka penista Agama. Syukur-syukur jika ke depannya Ahok dipenjara. Namun dengan status tersangka saja atau minimal ditangkap dan ditahan, maka para musuh Ahok akan berpesta pora. Jika Ahok ditangkap, maka dia dipastikan gagal menjadi calon gubernur pada Pilkada 2017 mendatang. Inilah puncak tujuan para musuh Ahok selama ini. Setelah mereka gagal pada kasus anggaran siluman APBD DKI, anggaran UPS, Sumber Waras, Reklamasi, maka pada kasus penyempretan Surat Al-Maidah itu, mereka sujud berdoa kusut agar Sang Khalik mengabulkan doa mereka. Doa kepada Sang Khalik agar Ahok tumbang bahkan dibawa sampai di Tanah Suci. Mantap.
Lalu apa skenario keduanya? FPI dan orang-orang di belakangnya paham betul bahwa tidak gampang menjatuhkan Ahok. Selain karena alasan penistaan agama itu semakin terlihat hanya dibesar-besarkan dengan tujuan politis, juga karena integritas Ahok yang luar biasa kuat. Mereka juga paham bahwa di belakang Ahok ada penegak konstitusi dan NKRI seperti Presiden Jokowi, Kapolri, TNI , PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura dan Teman Ahok dan barisan NU. Belum lagi para konglamerat yang disebut para naga besar ada di belakang Ahok plus masyarakat Jakarta yang sudah cerdas. Lalu bagaimana caranya menakhlukan Ahok?
Rencana Demo 4 November 2016 adalah langkah lanjutan untuk menumbangkan Ahok sekaligus langkah awal untuk membidik Jokowi. FPI dengan orang-orang di belakangnya berusaha menarik perhatian publik dan dunia. Tujuannya adalah menunjuk hidung Jokowi agar dicap 100% membela Ahok. Dengan demikian publik akan terpancing amarahnya dan berbalik menyerang Jokowi. Lalu ke depannya, mereka akan kembali berdemo dengan harapan para pendukung demo akan semakin besar dan akan lebih besar lagi untuk menekan Presiden Jokowi.
Lewat demo-demo yang dilakukan ke depan, diharapkan aparat akan bertindak gegabah dan represif. Jika ada korban dari pihak pendemo, maka akan menjadi santapan mereka untuk di-blow-up di media dan dijadikan sebagai senjata baru untuk memancing kemarahan publik. Harapannya adalah Indonesia menjadi Suriah Suriah baru. Jika Indonesia hancur lebur, kaum fundamental ekstrim akan mengambil kesempatan membentuk negara baru, negara agama.
Jika publik berhasil dipancing kemarahannya, lalu anarkis, maka terjadilah chaos, keadaan menjadi genting. Hal itu tentu saja memicu Rupiah terpuruk dan berujung pada sidang istimewa MPR atau kudeta militer. Ingat, jauh-jauh hari Habib Rizieg sudah meminta kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah menyelenggarakan sidang istimewa MPR pada pertemuan mereka Jumat 28/10/2016. Sementara itu tetangga Indonesia, Singapura, menjadi sangat senanng dan akan angkat-angkat kaki menyaksikan rakyat Indonesia sibuk berkelahi dan lupa bekerja. Program Tax Amnesty dan pembangunan infrastruktur Jokowi mandek. Indonesia krisis, Singapura tetap jaya.
Lalu apa tujuan pengumuman demo 4 November 2016 yang disebar-luaskan secara masif di media? Tujuannya jelas agar seluruh masyarakat yang selama ini pro-Prabowo ikut bergabung dengan FPI untuk menyerang Jokowi yang dicap membela Ahok. Seruan Amin Rais agar Jokowi menyelesaikan skandal Ahok adalah pemantik awal api demo. Pernyataan Fahri Hamzah agar Pilkada ditunda, lalu diusut skandal Ahok merupakan penyulut api lanjutan. Demo 4 November sengaja digaungkan menggelegar, agar istana ketakutan dan terpaksa melakukan win-win solution seperti membiarkan Ahok diproses hukum. Lalu apakah benar Jokowi membela Ahok?
Jokowi sama sekali tidak pernah membela Ahok. Jokowi sama sekali tidak mengintervensi hukum. Jokowi hanya membela kebenaran. Bersama aparat keamanan, Jokowi hanya ingin menegakkan konstitusi dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Jika Ahok benar, mengapa ia harus dibela. Kebenaranlah yang membela Ahok. Jika Ahok-Jokowi didemo dengan tujuan jahat dengan mengatasnamakan agama, maka Sang Khalik di atas sana akan membela kedua orang itu.
Lalu apa skenario Jokowi dalam menghadapi demo 4 November itu?
Pertama, pesan demo 4 November itu telah ditangkap. Publik yakin bahwa demo 4 November itu bukan hanya ditujukan kepada Ahok tetapi juga ditujukan kepada Jokowi. Karena itu kaum nasionalis pembela keutuhan NKRI dan konstitusi seperti banser NU sudah merapatkan barisan untuk terjun ke lapangan menjaga keutuhan bangsa.
Kedua, aparat tetap menempuh langkah persuasif sekaligus menindak tegas jika ada yang berani membuat kerusuhan. Pertemuan Kapolda Metrojaya dengan Habib Rizieg adalah salah satu upaya menekan tensi gelegar demo.
Ketiga, ada upaya untuk menyadarkan kaum nasionalis agar waspada terhadap gerakan-gerakan perongrong keutuhan bangsa. Laporan Sukmawati Soekarnoputri ke Bareskrim Polri perihal penghinaan Pancasila dan Proklamator kemerdekaan RI oleh Habib Rizieg misalnya bertujuan untuk menunjuk hidung kaum agamis fundamentalis. Dalam sejarahnya, kaum ekstrim agamis tidak pernah berhasil menang di negeri ini. Nah, laporan itu bisa dijadikan pintu masuk oleh Bareskrim Polri untuk menangkap Habib Rizieg lebih dulu.
Keempat, seruan terus menerus NU agar umatnya tidak ikut demo adalah usaha penurunan gelegar demo agar publik tidak ikut-ikutan dan berusaha menciptakan situasi yang kondusif. Perang propaganda damai di kanal-kanal media dan mulainya kampanye damai di Monas 29 Oktober 2016 oleh pasangan cagub dan cawagub, adalah usaha untuk menyadarkan masyarakat agar tidak mudah terpancing.
Kelima, upaya-upaya mengurangi khasiat gelegar demo maka masyarakat mulai menuntut untuk mengaudit MUI yang selama ini mengeluarkan fatwa dan sertifikat halal. Dan ini tentu saja menjadi bumerang bagi MUI yang takut jika rahasia dapurnya dibuka. Keenam, untuk mengerem SBY agar tidak offside di Pilkada DKI, maka kasus kehilangan arsip asli TPF Munir di masa SBY terus diangkat di media untuk diselidiki.
Pertanyaan menarik selanjutnya adalah mengapa PDIP selama ini cenderung diam terkait kasus Ahok itu? PDIP, Teman Ahok dan para pendukungnya lebih memilih diam dan bertahan untuk sementara. PDIP dan para pendukung Ahok plus pendukung Jokowi yang sangat besar, saat ini menunggu para musuh Ahok menghabiskan senjatanya dulu. Nantinya setelah senjata itu habis, maka mulailah PDIP bergerak dan menyerang balik. Biarkan musuh menyerang duluan sampai capek dan pada saatnya akan mudah diserang. Ingat pencoplosan masih lama, 75 hari lagi. Pada last minute, sesuai dengan kebiasaan PDIP, akan mengelurkan jurus mautnya untuk memenangkan Ahok termasuk konser dua jari misalnya dan memerahkan Jakarta.
Kini publik yakin bahwa aparat telah memetakan dan mengukur potensi demo 4 November itu. Jelas jika pendemo anarkis, maka akan ditindak tegas secara hukum. Sangat mungkin, aparat menerapkan strategi “ikut larut”. Mereka akan membaur dan hadir di tengah-tengah pendemo untuk ikut berdemo. Tujuannya adalah agar pendemo berdemo dengan beradab dan bersukaria tanpa kekerasan dan anarkis.
Jadi kesimpulannya adalah demo 4 November tidak perlu ditakutkan namun hanya perlu diwaspadai. Prediksi saya, demo itu 4 November tidak akan meluas dan publik tidak tertarik untuk ikut terjun lebih jauh. Demo itu hanya diikuti oleh orang-orang itu saja yang cenderung diulang-ulang. Ibarat kaset lama yang diputar kembali. Publik kini lebih dewasa. Publik lebih memilih membangun negaranya daripada menghancurkannya.
Dengan demikian demo 4 November itu dan demo-demo selanjutnya tidak akan mampu menggencet Ahok apalagi membidik Jokowi. Itu jauh panggang dari api. Negara jelas tidak boleh kalah dan tidak pernah kalah dengan ormas sangar. Begitulah sejarah bangsa ini yang berdasar Pancasila digoreskan terus ke depannya.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H