Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Gusur Rawajati, Terapkan Strategi Terbalik, Mega Kepincut

2 September 2016   20:45 Diperbarui: 2 September 2016   21:53 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok (beritagar.id)

Menarik untuk mencermati strategi Ahok menjelang Pilkada 2017 mendatang. Saya melihat Ahok sekarang  sedang  memainkan strategi terbalik dalam kampanye politiknya.

Sebagai contoh, jika kepala daerah yang sedang menjabat dan kembali maju dalam  Pilkada berikutnya sangat setuju dengan cuti kampanye selama 3-5 bulan, Ahok justru sebaliknya. Ia justru  meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memberinya hak agar tidak mengambil cuti kampanye. Ahok menegaskan bahwa ia tidak perlu cuti. Ia minta agar dia diberi hak untuk bekerja all out.

Jika calon gubernur lainnya lebih menjaga sikap menjelang Pilkada, Ahok justru sebaliknya. Ia malah beringas menggusur rakyat Jakarta  seperti yang dilakukannya di Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan kemarin.  Di Rawajati, Ahok tanpa ampun menggusur 90 kepala keluarga atau 60 rumah (1/9/2016) untuk menormalisasi jalur hijau di daerah itu.

Tidak berhenti sampai di situ, bulan September- Oktober 2016 ini, Ahok menegaskan bahwa ia akan semakin keras  melakukan penertiban terhadap bangunan warga yang berdiri di tempat illegal mulai dari bantaran kali, waduk dan pesisir.

Menurut Ahok dengan total 20 ribu unit rumah susun sewa sederhana (rusunawa) yang sedang dan akan selesai dibangun oleh Pemrov DKI Jakarta pada tahun 2016 ini, maka dirinya akan menggerakkan penertiban yang lebih galak menjelang akhir masa jabatannya.

Jika para calon gubernur lainnya sangat peduli pada citra, eletabilitas, akseptabilitas dan popularitas, Ahok justru sebaliknya. Ia terlihat  tidak peduli dengan eletabilitas, akseptablitas, popularitas atau apalah namanya itu. Walaupun eletabilitas, akseptabilias dan popularitasnya menurun, Ahok sama sekali tidak peduli. Bagi Ahok, persetan dengan semuanya itu.

Jika menjelang akhir jabatannya, para pejabat secara terselubung meminta agar dirinya dipilih kembali rakyatnya, justru sebaliknya Ahok terus berkampanye agar masyarakat yang tidak menyukainya untuk tidak memilihnya kembali. Nah ini semuanya terbalik bagi Ahok.

Jika calon gubernur lainnya suka berbicara santun, berbicara manis di depan publik namun tidak terlihat bekerja, Ahok justru tetap kasar, keras, tegas dan otoriter.  Ahok kemudian justru terus berkampanye  agar ia jangan dipilih jika ada calon gubernur lain yang lebih baik, lebih manis, lebih ganteng, lebih menonjol ‘anunya’ atau lebih banyak isteri daripada dirinya.

Sambil menggusur, Ahok terus berkampanye menusuk. Ia selalu meminta warga  Jakarta yang tidak suka dengan gaya kepemimpinannya untuk tidak mencoblos dirinya. Ahok setuju jika warga lebih memilih pemimpin lainnya yang memiliki visi dan misi untuk mempertahankan bangunan liar  di berbagai wilayah DKI Jakarta. Ya, sebuah rumusan pilihan politik yang sederhana.

Lalu ada apa sebenarnya di balik strategi terbalik Ahok itu?

Jika Ahok berstrategi terbalik dalam kebijakannya, maka itu sebetulnya bisa dipahami. Ahok justru sangat  paham  bahwa kekuatannya sebenarnya terletak pada tindakannya yang berani menggusur, melawan DPRD, melawan preman, kasar dan bermulut besar dan seterusnya. Ketika ia berhenti bertindak keras melakukan penertiban, maka pada saat itu Ahok tamat. Ia tidak laku.

Ahok sadar bahwa ia  tenar di panggung politik sekarang ini justru karena sikapnya yang kontroversial bagi sebagian orang yang tidak paham. Jika ia memaki, mencaci dan mengumpat, mengelurakan nama-nama kebun binatang untuk mengumpat pencuri uang negara, maka secara substansi sebetulnya hal itu  bisa dipahami. Ketika seseorang yang mencuri atau mencopet dompet kita, maka pada saat kita sadar, akan dengan sendirinya keluar kata-kata maling, perampok, pencopet atau sejenisnya.

Jelas tidaklah mungkin memanggil para koruptor, begal APBD, penjarah tanah negara, mendirikan bangunan tanpa ijin dengan kata-kata sopan seperti yang terhormat, yang tercinta atau seribu kata sopan-santun lainnya. Nah inilah yang dipahami Ahok.

Turbulensi yang terjadi dalam masyarakat kita sekarang ini memang terlalu buruk untuk bisa diatasi dengan kepemimpinan yang hanya mengandalkan kharisma, pencitraan atau slogan-slogan kerakyatan. Kita memang membutuhkan mindset baru, perilaku baru dan cara bertindak baru.

Jelas Ahok sebetulnya telah menghadirkan sesuatu yang beda, bukan business as usual yang sudah expired, tetapi sebuah extra ordinary. Ia sedang mengajarkan kita sebuah logika terbalik. Sepak terjangnya membuat politik kita menjadi lebih hidup. Panggung politik yang selama ini santun, aman dan damai karena sang kepala daerah dan DPRD berbagi rata dalam menyunat APBD,  sontak heboh dengan aksi-aksi  tak kompromi Ahok.

Jika Ahok kemudian  menjelma menjadi pusat caci maki, hiposentrum dan episentrumkebencian sekaligus kesukaan berbagai pihak, maka justru itulah yang diinginkan Ahok. Rumusannya adalah Ahok semakin ditekan, akan semakin melawan. Itu rumusan yang sangat pas dengan karakternya Ahok.

Ahok sebetulnya terlihat memancing  para lawannya agar bertubi-tubi, berlaksa-laksa dan bahkan bertalu-talu untuk menyerangnya. Karena itulah yang  diinginkannnya. Ketika hal itu terjadi, maka ia akan semakin melawan untuk seterusnya semakin berkibar.

Ahok  jelas membiarkan dirinya disebut malikundang, anak durhaka saat keluar dari Gerinda dan bahkan saat meninggalkan Teman Ahok.  Ahok juga membiarkan dirinya disebut tidak beretika, tidak bertata krama, ingkar janji, lupa kacang akan kulitnya, kutu loncat, neolib, pro pengusaha dalam membangun Jakarta yang lebih beradab. Itu tidak masalah bagi seorang Ahok.

Bagi Ahok,  dengan sederet sematan kata yang dialamatkan kepadanya,  maka Ahok akan mengubahnya menjadi  bagian dari kekuatannya  di tengah rakyat dalam  menarik simpati. Ahok paham bahwa kata-kata itu sebetulnya hanya diucapkan oleh segelintir pihak yang periuk nasinya selama ini dikeringkan habis oleh Ahok.

Suka atau tidak suka, sepak terjang Ahok telah mewarnai panggung politik dan birokrasi di tanah air. Jika Ahok sangat beringas dan gila menegakkan aturan termasuk menggusur mereka yang mencaplok tanah atau  merampas tanah negara atau mendirikan bangunan di jalur hijau,  itu adalah bagian dari kepemimpinan yang sedang diajari Ahok kepada lawan maupun kawannya. Jangan pernah ragu menegakkan aturan. Itu poin pentingnya.

Masyarakat Jakarta sesungguhnya tak peduli seseorang  Ahok itu diktator atau tidak, Tionghoa atau bukan, Muslim atau bukan, kader partai pisang atau singkong. Sepanjang Ahok mampu menata wajah ibu kota, maka dukungan pun akan mengalir kepadanya. Nah  itulah barangkali  yang membuat Golkar, Nasdem, Hanura, menyusul PDIP kepincut mendukung Ahok. 

Jika Megawati akhirnya kepincut dan secara resmi mendeklarasikan dukungan PDIP kepada Ahok, itu juga karena  Mega kepincut strategi terbalik yang menusuk darinya. Nah sebelum anda setuju atau tidak setuju dengan Ahok, seruput dulu jus lemonnya untuk membasmi kolesterol atau diabetes anda.

Salam Kompasiana,

Asaaro Lahagu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun