Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Dukung Penuh, Ahok di Atas Angin di Pilgub DKI

13 Agustus 2016   13:55 Diperbarui: 15 Agustus 2016   10:01 19737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok dan Jokowi (Bruniq.com)

Kuku tajam Jokowi semakin menancap dalam. Ia semakin membuktikan dirinya sebagai orang yang layak disebut nomor satu di republik ini. Inilah yang harus diperhitungkan lawan-lawan Ahok di Pilgub DKI. Tidak beraninya PDIP mengumumkan cagubnya dan terpaksa menunggu injury time, itu karena menunggu arah strategi Jokowi. Terbentuknya koalisi kekeluargaan hanyalah test case para bandit-bandit politikus DKI untuk melawan strategi Jokowi yang sulit diprediksi.

Jusuf Kalla mati kutu, Prabowo tiarap, Amin Rais hilang ditelan bumi, Hatta Rajasa dan Anis Mata lengser dari ketum partainya, itu terjadi di era Jokowi. Tragedi lengsernya Aburizal Bakri pada kursi empuk Golkar  adalah atas skenario jitu Jokowi. Berhasilnya Setya Novanto menjadi ketum Golkar atas restu Jokowi dan hasil lobi paling fenomenal Jenderal Luhut Panjaitan, tangan kanan Jokowi. Ini menancap tajam di benak para lawan Jokowi sekaligus lawan Ahok di DKI.

Terpilihnya Kapolri Tito Karnavian, masuknya kembali Jenderal Suhadi Alius yang sebelumnya tersingkir dan kini menjadi kepala BNPT, perintah tegas kepada Jenderal Budi Waseso agar mengusut habis nyanyian Freddy Budiman, adalah contoh nyata mulainya Jokowi meniru Duterte menghabisi para tikus koruptor dan para oknum pejabat militer dan polri yang justru ikut dalam bisnis ratusan miliar hingga triliunan Narkoba di negeri ini.

Reshuffle kabinet jilid II yang menarik kembali Kartini hebat Indonesia, Sri Mulyani adalah untuk menghabisi mereka yang selama ini berpesta pora atas pengemplakan pajak. Lewat program Tax Amnesty, Jokowi memberi  kesempatan akhir kepada para pengemplak pajak sebelum dihabisi Jokowi dengan meniru Rodrigo Duterte di Philipina.

Jika Jokowi kemudian tak menggubris nafsu tinggi PDIP untuk melengserkan Rini Soemarni dan justru mendepak Rizal Ramli, adalah bentuk gagah perkasanya Jokowi di hadapan PDIP. Rini Soemarni kini tetap dipercaya menduduki kursi basah BUMN agar bebas dari intervensi partai. Sementara itu Anis Baswedan, Yudi Chrisnandi, Sudirman Said, Ignasius Jonan, yang hanya pandai ngomong di media dan berterik-teriak ala tong kosong dan terus mengatasnamakan rakyat, langsung disingkirkan Jokowi. Jokowi butuh pekerja keras, ulet, cepat bereaksi, sedikit ngomong, tegas, berani dan sosok-sosok gila untuk membangun Indonesia.

Banyak pihak yang terkejut mengapa Jokowi menyingkirkan Rizal Ramli, sang ‘Rajawali ngempret’ itu. Jawabannya sederhana. Rizal Ramli hanya tukang ribut, gagal membenahi dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok, melakukan blunder dengan menghentikan selamanya reklamasi pulau G. Itu jelas bertentangan dengan kejelasan investasi yang sedang digalakkan Jokowi dan impian giant wall  Ahok- Jokowi pada masa depan di Teluk Jakarta.

Penunjukkan Tito sebagai Kapolri, tersingkirnya Rizal Ramli, kokohnya Rini Soemarni, mesranya Jokowi dengan Golkar, membuat PDIP tercengang dan linglung. Megawati jelas tak mampu lagi mendikte Jokowi. Kini Jokowi sedang memainkan kekuatannya untuk menggolkan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua. Inilah yang menjadi keraguan PDIP dan antek-anteknya yang tergabung dalam koalisi kekeluargaan.

Jelas dan amat jelas, Jokowi sama sekali tidak yakin akan kualitas Risma untuk masuk dalam rimba kebuasan Jakarta. Risma yang hanya dikenal sebagai tukang taman dan trotoar, gampang meneteskan airmata saat ditekan, gampang tersinggung saat dikritik (baca baper atas ucapan Ahok), bukanlah tipe yang diinginkan Jokowi untuk menjadi orang nomor satu di DKI. Jelas Jokowi tetap butuh Ahok yang terus gila melawan DPRD DKI yang amat rakus semacam Taufik (mantan Koruptor), Lulung dan teman-temannya.

PDIP sangat menginginkan Risma di Jakarta, tetapi Jokowi tidak. Jika PDIP memaksakan Risma maka lawan PDIP adalah Jokowi sendiri. Inilah yang membuat PDIP menunggu injury time dan belum menentukan Cagubnya hingga detik ini. Sekarang ini masih berlangsung perang intrik antara kubu PDIP dan kubu Jokowi.

Sebelunya, mundurnya Ahok dari calon independen, itu terjadi setelah lobi-lobi Jokowi lewat Luhut yang telah berhasil menarik Nasdem, Hanura, dan Golkar menjadi pendukung Ahok sekaligus menantang PDIP. Lewat ketiga partai itu, Ahok bisa maju di Pilgub mendatang. Sebagai imbalannya, Jaksa Agung dari Nasdem tetap dipertahankan, Wiranto ditunjuk sebagai Menkopolhukam dan kader Setya Novanto, Airlangga Hartanto, menjadi Menteri di kabinet Jokowi.

Apakah tiga partai ini akan solid mendukung Ahok? Ya, tetap solid karena jika mereka ingkar janji, selain mendapat hukuman dari masyarakat sebagai partai penipu, juga akan langsung ‘diketuk’ kepala mereka oleh Jokowi.

Terbentuknya koaliasi kekeluargaan adalah respon atas strategi Jokowi yang telah berhasil menarik tiga partai menjadi pendukung Ahok. Tujuannya adalah untuk menggoda salah satu partai pendukung Ahok bergabung dalam koalisi kekeluargaan. Tetapi rupanya ketiga partai itu sama sekali tak berhasill digembosi. Malahan justru koalisi kekeluargaan yang akan terancam bubar jalan.

Muhammad Sangaji dari Hanura amat yakin bahwa dalam waktu sepuluh hari ke depan, akan ada dua partai dari koalisi kekeluargaan berbalik arah menjadi pendudukung Ahok. Benarkah demikian?

Ada benarnya. Jokowi, seperti yang penulis katakan di atas, sedang menekan PAN yang sudah mendapat jatah menteri untuk menjadi pendukung Ahok. Apakah PKB demikian juga? Ya, ada indikasi untuk itu. Lalu bagaimana dengan PDIP? Jika PDIP akhirnya memasukan Ahok-Djarot sebagai opsi pertama, itu adalah bentuk cari aman PDIP. Sekarang ini PDIP sudah semakin tidak berani melawan maunya Jokowi.

Sangat besar kemungkinan, PDIP akan kembali mengusung Ahok-Djarot. Hasil rahasia lobi saat Jokowi, Mega, Ahok bersama di atas mobil Caravelle masih disimpan.  Jika PDIP mendukung Ahok, maka itu jelas  100% direstui Jokowi. Namun jika PDIP berani mengusung Risma-Sandiaga Uno, maka lawannya adalah Jokowi dan kekuatan besar di belakangnya. Hal inilah yang membuat PDIP ragu besar.  Jika mereka berani melawan Jokowi, maka peluang kalah sangat besar. Jika itu terjadi, maka bisa jadi nasib mereka di pemilu 2019 mendatang sama nasibnya dengan partai Demokrat.

Jika akhirnya nanti PDIP mengumumkan bahwa mereka kembali mendudukung Ahok dan memasukkan Djarot sebagai wakilnya, maka itu adalah bagian strategi akhir PDIP. Hal yang patut dicatat, jika PDIP mendukung Ahok, maka Ahokpun akan berada di atas angin di Pilgub DKI 2017 mendatang. Sambil serumput teh hijau lemon yang kaya akan khasiat, mari kita saksikan keberanian atau blunder penuh keraguan PDIP.

Salam Kompasiana,

Asaaro Lahagu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun