Kedua, partai melihat dirinya ibarat gadis yang sangat cantik dan memang faktanya sangat cantik namun jual mahal untuk menyatakan cintanya kepada Ahok. Partai sejenis ini dari hari ke hari menunggu lamaran Ahok, sambil terus menggoda dan memakai perantara agar Ahok datang melamar. Ketika Ahok tidak kunjung datang, partai inipun mengancam akan jatuh hati ke lain lubuk dan akan meninggalkan Ahok. Celakanya, jatuh hati kepada lubuk lain itu tidak jelas. Sikap seperti ini bisa dilihat dalam diri PDIP yang terus menjaga gengsi untuk melamar sedndiri Ahok.
Ketiga, partai yang melihat dirinya gadis cantik dan memang juga faktanya cantik, agresif, berani, tanpa malu datang sendiri melamar Ahok. Mereka pun datang mengungkapkan cinta mautnya kepada Ahok yang disambut Ahok dengan tangan terbuka. Tujuannya jelas untuk meraih masa depan yang lebih cerah, memulihkan nama baik dan menebeng pada popularitas Ahok. Partai-partai seperti ini bisa dilihat dalam diri Nasdem, Hanura dan terakhir Golkar yang sudah menyatakan cinta mautnya kepada Ahok.
Cinta maut ketiga partai ini sangat kental dalam diri Golkar misalnya. Ketika Golkar terpuruk di era Aburizal Bakri karena tersandung kasus lumpur Lapindo, dililit kasus Papa Minta Saham dengan aktor, Setya Novanto, ketua DPR yang juga dari Golkar, maka Golkar butuh pemulihan. Sikap realitis para elit Golkar semacam Yorris, Agung Laksono dan bahkan ketua Golkar sendiri Setya Novanto, untuk mendukung Ahok adalah buktinya. Golkar akhirnya secara resmi telah menyatakan dukungan kepada Ahok. Dengan mendukung Ahok, maka Golkar dapat meraih simpati dari satu juta KTP yang dikumpulkan Teman Ahok. Inilah awal kampanye Golkar memulihkan nama baik.
Tentu dengan adanya dukungan dari Nasdem, Hanura dan Golkar dan raihan KTP sejuta oleh Teman Ahok, maka Ahok mempunyai tiga pilihan yang memungkinkan dia maju dalam Pilgub 2017 mendatang. Pertama, maju secara independen dengan bertarung pada verfikasi KPU dan didukung oleh ketiga partai di atas. Kedua, maju lewat partai Nasdem, Hanura dan Golkar yang mempunyai 24 kursi di DPRD DKI dan berkolaborasi dengan Teman Ahok. Ketiga, maju lewat PDIP berpasangan dengan Djarot lewat win-win solution dengan Teman Ahok di mana kuncinya pada Heru dan dukungan ‘sayang’ Megawati serta saran yang bersifat strategis dari Jokowi.
Sekarang kendali ada di tangan Ahok. Setiap keputusan yang dipilihnya pasti ada konsekuensinya termasuk cinta maut Golkar yang bisa berubah menjadi jebakan Batman. Bagi publik Jakarta dan para pendukung Ahok, yang penting dipahami adalah bahwa tidak penting apakah Ahok maju dari jalur independen atau dari jalur parpol. Yang paling penting adalah Ahok akan berhasil menjadi gubernur untuk periode kedua dan tetap independen ketika dia mengeluarkan kebijakan-kebijakannya. Artinya Ahok bisa saja maju dari jalur Parpol namun tetap independen menjalankan kebijakannya. Atau Ahok maju dari jalur independen, namun tetap juga independen dalam mengeluarkan kebijakan.
Selanjutnya hal lain cukup paling penting adalah Ahok harus tetap menjaga namanya sebagai seorang petarung, tetap membuat pertarungan menarik, tak mudah menyerah dan didikte, terus membuat Parpol termangu, tetap cerdik seperti ular dan tulus seperti matahari. Bahwa nantinya Ahok akan zigzag di antara Teman Ahok dan Parpol, termasuk berdamai dengan parpol, hal itu harus dapat dipahami dalam konteks strategi meraih kemenangan gemilang. Dalam dunia politik, kadang strategi jalan memutar jauh lebih jitu ketimbang jalan berhadap-hadapan.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H