Sinyal bahwa Ahok akan kembali berduet dengan Djarot, semakin menguat. Ada tiga sinyal yang bisa dijadikan acuan mengapa duet Ahok-Djarot kembali menguat. Pertama, hasil survei internal yang telah dikantongi oleh Megawati. Dari survei itu Megawati telah memiliki gambaran bahwa calon Gubernur DKI Jakarta yang masih dinginkan oleh publik adalah Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Publik juga tetap menginginkan Djarot untuk tetap mendampingi Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Kedua sosok ini telah terbukti bersinergi baik dan merupakan pasangan yang sangat cocok dalam membenahi carut-marut Jakarta.
Jika Megawati melalui PDIP-nya menentang keinginan publik Jakarta dengan mengusung calonnya sendiri, termasuk mengorbitkan Djarot, maka peluang bentrok antara pendukung PDIP dengan pendukung Ahok yang sama-sama berbasis nasionalis, akan terjadi. Hal ini hanya akan membuang-buang energi yang sebetulnya untuk jangka panjang tak banyak manfaatnya. Resiko bentrokan itu pun akan membuat salah satu pihak keok, yakni calon dari PDIP atau Ahok sebagai incumbent. Situasi ini tentu membuat partai lain bisa mengambil keuntungan semisal Gerinda, PAN dan PKS yang tentu menjadikan PDIP sebagai tunggangan mereka.
Kedua, isu-isu yang berkembang satu dua hari terakhir ini. Heru yang telah dipasangkan dengan Ahok oleh Teman Ahok diisukan akan mundur sebagai pendamping Ahok dari jalur independen. Ketidakhadiran Heru juga dalam dua acara terakhir Teman Ahok dimaknai sebagai sinyal bahwa Heru sudah tahu akhir episode sepak-terjang politik Ahok. Ahok yang kembali mesra dengan Djarot memberi sinyal bahwa Ahok telah mencapai kesepakatan senyap dengan Megawati. Ahok akan diusung oleh PDIP dengan Djarot sebagai wakilnya.
Syarat yang diajukan oleh PDIP bahwa Ahok harus maju lewat jalur Parpol dan bukan lewat jalur independen, bukanlah hal berat bagi Ahok. Nampaknya Ahok mulai melunak dan mulai berpaling kepada PDIP. Melunaknya Ahok, tentu membuat Megawati mengeluarkan otoritasnya sebagai ketua umum PDIP untuk memilih Ahok sebagai calon gubernur melalui penugasan khusus. Keputusan ini bukanlah hal sulit bagi PDIP. Artinya, jika Ahok rela meninggalkan Teman Ahok untuk ‘sementara’ karena toh akan kembali bergabung dengan mereka, maka Megawati tidak akan ragu mengeliminir ke-30-an calon yang telah mendaftar, demi Ahok.
Lalu apa kira-kira resikonya jika Ahok meninggalkan Teman Ahok dan kembali maju lewat jalur parpol? Jelas ada yang kecewa. Benar bahwa Ahok seakan-akan tidak menghargai hasil kerja keras Teman Ahok dalam mengumpulkan KTP selama ini. Namun sebetulnya substansi pengumpulan KTP itu hanyalah untuk berjaga-jaga kalau tak ada satu pun partai yang akan mengusung Ahok. Artinya jika kemudian ada yang mau mengusung Ahok, maka Teman Ahok akan dengan sukarela melepas Ahok. Karena tujuannya sama, yakni kembali memenangkan Ahok menjadi Gubernur untuk periode berikutnya. Jika akhirnya PDIP akan mengusung Ahok dan bukan sekedar mendukung, maka peluang Ahok untuk kembali menang di Pilgub mendatang semakin besar. Dan inilah yang akan dipahami oleh Teman Ahok.
Jadi bagi Teman Ahok, jelas tidak ada masalah. Hasil kerja keras mereka selama ini, sekurang-kurangnya telah membuka mata semua partai politik bahwa jalur independen bagi calon bersih, jujur dan berprestasi pun tetap akan bisa membunyikan lonceng kematian bagi partai politik. Bagi Ahok sendiri, hasil pengumpulan KTP yang kemungkinan mencapai angka satu juta KTP, akan menjadi modal besar Ahok untuk tidak tunduk begitu saja kepada parpol pendukungnya ke depannya.
Lalu bagaimana dengan Heru? Jelas Heru tidak mempermasalahkan apapun keputusan Ahok. Jika Ahok akan meninggalkan Heru dan kembali berpasangan dengan Djarot, Heru tidak rugi apapun. Toh yang meminta Heru sebelumnya adalah Ahok, untuk dijadikan ‘ban serep’ atau bagian dari strategi politiknya. Heru jelas tetap berterima kasih kepada Ahok yang sudah melambungkan namanya di hadapan publik. Bisa jadi ke depannya karena kerelaan Heru tersebut, maka Heru akan semakin mendapat kepercayaan lebih besar dari Ahok.
Ketiga, manufer PDIP yang terus menggoda partai lain untuk berkoalisi. Di tingkat bawah, PDIP seakan memberi angin kepada Gerinda, PAN dan PKB untuk berkoalisi. Partai-partai ini pun sangat bernafsu berkoalisi dengan PDIP. Namun pertanyaannya siapa yang mau diusung? Risma yang menjadi andalan PDIP untuk menantang Ahok, sudah jauh-jauh hari menolak. Jika PDIP mengorbitkan Djarot sebagai calon gubernur dan Sjafrie Samsoeddin dari Gerinda sebagai wakilnya, atau sebaliknya, maka realitas elektabilitas kedua pasangan ini  membuat PDIP diliputi keraguan. Jika kandidat lain yang mau diusung oleh partai-partai koalisi, maka tak satu pun yang diyakini mampu bersaing dengan Ahok. Hal ini yang kemudian membuat PDIP kembali melirik Ahok. Sinyal itu bisa dibaca pada statement Ahok belakangan ini.
Maka pada akhirnya setelah berpolemik selama empat bulan, kedua belah pihak baik Ahok maupun PDIP semakin sadar bahwa keduanya saling membutuhkan. Kedua belah pihak akan kembali ingat hubungan manis masa lalu dimana Megawati lewat PDIP-nya beberapa kali membela Ahok dari ancaman pemakzulan Lulung, Taufik dan kawan-kawan. Kenangan ini pasti tertanam benar di benak Ahok bagaimana Megawati begitu sayang kepadanya. Sebaliknya, bagi Megawati, kehadiran Ahok di Jakarta, telah membantu mimpi PDIP untuk mewujudkan sebuah tantanan kota modern yang sudah lama diimpikan Megawati.
Jadi akhirnya publik sadar bahwa politik itu sangat dinamis. Peta politik cepat sekali berubah dan berbalik arah. Jika kemudian Ahok akan meninggalkan Teman Ahok dan kembali bergabung dengan PDIP maju dari jalur parpol dan kembali menggandeng Djarot sebagai wakilnya, maka hal itu dimaknai sebagai win-win solution (solusi yang saling menguntungkan) bagi masing-masing pihak. kalkulasi politik kedua pihak juga menyimpulkan bahwa jauh lebih banyak untungnya jika kedua sosok ini kembali berpasangan ke depan.Â
Jika akhirnya Ahok-Djarot resmi dideklarasikan setelah lebaran sebagai pasangan calon gubernur usungan PDIP, Nasdem dan Hanura, maka jelas mereka tak tertandingi. Bahkan mungkin tidak berlebihan jika Ahok-Djarot resmi berpasangan, bisa dikatakan bahwa Pilkada DKI telah selesai. Jika demikian maka publik pun akan kembali tenang, sementara para lawan Ahok tentunya gigit jari.
Salam kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H