Usaha calon gubernur dari Gerinda, Sjafrie Sjamsoeddin, agar dirinya masuk kandidat cagub Gerinda tak terlihat. Namanya sebelumnya senyap dan tak pernah muncul di permukaan. Setelah namanya dilirik oleh Gerinda, Sjafrie tetap terlihat santai, duduk manis, santun, wajah netral. Namun justru itu yang membuat Prabowo tertarik kepadanya. Hampir dapat dipastikan bahwa Gerinda akan mengusung Sjafrie menjadi Cagub pada Pilkada DKI 2017 mendatang. Sekarang Gerinda tinggal mencari pendamping Sjafrie apakah Djarot jika PDIP mau berkoalisi, atau Sandiaga Uno sebagai pilihan terakhir.
Jika usaha Sjafrie tergolong santai namun tetap dipilih oleh Gerinda dengan pertimbangan insting militer Prabowo bahwa Jakarta lebih cocok dipimpin oleh militer, maka sebaliknya usaha keras Yusril tak membuahkan hasil. Yusril terlihat all-out mengeluarkan segala sumber dayanya untuk memikat hati partai. Usaha menggebu Yusril itu mulai terlihat ketika Ahok secara resmi maju dari jalur independen. Sejak saat itu, semangat Yusril terus bergelora dan panas membara. Yusril percaya bahwa jalur independen yang dipilih Ahok sangat berat dan itu memberinya peluang besar untuk menantang Ahok dengan cara merangkum semua partai politik. Yusril pun terus melempar persepsi bahwa Ahok akan kalah jika head to head atau satu lawan satu dengan dirinya.
Usaha yang telah dilakukan Yusril pun bisa dibilang luar biasa. Ia melakukan berbagai cara untuk menebar pesona dan bermanis-manis dengan para ketua partai. Yusril yang tak punya kekuatan apa-apa di Jakarta, memang membuatnya harus berusaha ekstra untuk mengetuk setiap pintu partai. Yusril yang seorang profesor hukum kenamaan, ketua umum PBB, bak sudah putus urat malunya, terus bergerilya mendekati semua partai, melamar setiap partai agar dirinya mau diusung.
Demi mengerek elektabilitasnya, Yusril terus melawan apapun kebijakan yang dilakukan Ahok. Contoh terakhir adalah penertiban Luar Batang, Yusril terus hadir di tengah-tengah korban penggusuran dan melawan Ahok dengan dalil-dalil hukum. Ketika Ahok mau memutuskan kontrak PT Godang Tua, terkait pengelolaan sampah Jakarta di Bantar Gebang, Yusril pun hadir di sana melawan Ahok. Usaha itu tidak lain bertujuan agar namanya di media terus dimunculkan menyaingi popularitas Ahok.
Namun pada kenyataannya, usaha Yusril untuk memikat partai politik, ibarat bertepuk sebelah tangan. Walaupun usaha Yusril telah mati-matian mengemis sana-sini kepada setiap partai, namun ia tetap tidak cukup mempesona untuk dilirik. Memasuki akhir Mei 2016, satu persatu partai mulai menolaknya. Hingga hari ini, tak satupun partai yang sudah menyatakan dukungannya secara resmi kepada Yusril. Gerindra sudah jelas memilih Sjafrie Samsoeddin dan Sandiaga Uno sebagai cagub dan cawagub, jika PDIP menolak Djarot.
Lalu bagaimana dengan Golkar yang sebelumnya diklaim Yusril menjadi calon partai pendukungnya? Pasca Munaslub Golkar di Bali yang memunculkan Setya Novanto sebagai ketua umum yang baru, tiba-tiba Golkar mendadak mendukung Ahok. Walaupun belum secara resmi, namun sinyal ke arah itu sangat kuat. Jelas Gerinda dan Golkar lebih suka kadernya sendiri atau lebih pragmatis memilih calon yang punya potensi menang lebih besar.
Alasan lain mengapa partai satu per satu mulai meninggalkan Yusril adalah ketidakrelaan partai ditunggangi Yusril demi mencapai ambisi pribadinya. Meskipun Yusril berdalih bahwa dia yang berkapasitas nasional mau turun ke daerah untuk membenahi Jakarta, publik dan partai pun paham bahwa ada udang di balik saku Yusril. Jelas Yusril akan menggunakan partai pendukungnya sebagai batu loncatan  meraih ambisinya menjadi calon Presiden pada tahun 2019 mendatang dan membesarkan  partainya sendiri PBB yang sekarang telah menjadi kerakap di atas batu alias mati suri.
Jika partai Nasdem dan Hanura sama sekali tidak melirik Yusril dan bahkan sudah menyatakan secara resmi mendukung Ahok dan dua partai terakhir yakni Gerinda dan Golkar  hampir mengambil kesimpulan bahwa Yusril bukanlah orang yang tepat untuk melawan Ahok, maka ada kemungkinan besar hal yang sama ditempuh oleh PDIP. PDIP jelas akan terus berpikir ulang apakah memunculkan calonnya sendiri yang berpotensi kalah atau mendukung Ahok yang berpotensi besar menang.
Tentu saja yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa hampir semua partai yang dilamar Yusril selama dua bulan belakangan ini memberi angin segar alias janji gombal kepadanya bahwa dia kemungkinan akan diusung?
Saya melihat alasannya lainnya mengapa Yusril akhirnya tidak dilirik oleh Gerinda dan Golkar. Selain paham bahwa ada udang di balik saku Yusril, kedua partai ini juga mulai realistis melihat hasil berbagai serangan yang ditujukan kepada Ahok. Berbagai operasi penjegalan Ahok yang dilancarkan mulai awal tahun 2016 hingga memasuki bulan Mei ini tetap kandas. Padahal jika operasi penjegalan itu sukses, maka Yusril yang memiliki elektabilitas tinggi di bawah Ahok, kemungkinan dipilih oleh partai. Namun ketika operasi penjegalan Ahok terus gagal dan  masih belum menunjukkan hasil, akhirnya Gerinda dan Golkar berbalik haluan.
Lalu apa saja operasi penjegalan Ahok itu?
Pertama, para elit setiap partai mencoba menyerang Ahok dengan cara memunculkan calon alternatif lain (market test) seperti Yusril, Ridwan Kamil, Â Risma, Ahmad Dhani, Dessy Ratnasari, Eko Patrio, Lulung, Taufik, Sandiaga dan seterusnya. Partai-partai politik membentuk opini bahwa para calon pemimpin ini lebih santun, lebih hebat, lebih bagus dan seterusnya. Hasilnya, semuanya mentah, publik tetap lebih suka Ahok. Hal itu itu bisa dilihat elektabilitas Ahok yang tetap tinggi dan dukungan KTP kepada Ahok yang kini hampir mencapai 900 ribu KTP.
Kedua, operasi penjegalan Ahok dilakukan lewat ormas-ormas dan korban-korban penggusuran Ahok. Demonstrasi yang dilakukan ormas semacam FPI dan GMJ misalnya tetap bisa dipatahkan Ahok lewat ketegasan TNI-Polri. Demikian juga suara-suara mereka yang digusur di bantaran kali Ciliwung, Kampung Pulo Waduk Pluit, Waduk Rio-rio, Kalijodo, Luar Batang, tetap tidak bisa menurunkan Ahok dari jabatannya.
Ketiga, serangan kolaborasi oknum DPRD, DPR Senayan bersama BPK dan juga oknum KPK dan lain-lain, terkait kasus Sumber Waras, reklamasi Teluk Jakarta yang membentuk opini bahwa Ahok korup, tidak bersih dan ternyata maling dan berharap ditetapkan sebagai tersangka, juga sampai hari ini tidak berhasil. Pun perdebatan mengenai diskresi Ahok masih terus mengambang.
Keempat, serangan bocoran dari oknum KPK yang mencoba membocorkan BAP Ariesman yang dirilis oleh Tempo. Bocoran itu digunakan untuk menyerang Ahok dan menyebarkan isu seolah-olah duit Agung Podomoro telah diterima Ahok. Ternyata isu itu tidak membuat masyarakat Jakarta dengan mudah goyah. Isu yang mengatakan bahwa Ahok korup dan menerima dana barter reklamasi sebesar 219 dari 392 miliyar Rupiah  yang telah dijanjikan, ternyata hanya propaganda.
Fakta sebenarnya adalah dana sebesar 392 milyar itu adalah hasil taksiran dari Podomoro. Â Pemprov DKI tidak pernah menerima uang dalam bentuk uang tunai apalagi masuk ke kantong Ahok. Ini bisa dicek di rekening Pemrov DKI atau di rekening Ahok. Pemberian tambahan kontribusi itu sebagai syarat untuk memperpanjang izin prinsip menjadi izin pelaksanaan reklamasi.
Kontribusi tambahan tersebut bukan berupa uang tunai tetapi pembangunan infrastruktur seperti rumah susun sewa sederhana (rusunawa), jalur inspeksi hingga pembangunan pompa air. Jumlahnya ada 13 proyek. Jadi duit 392 milyar itu tidak diberikan pada Ahok langsung, melainkan dalam bentuk bangunan. Opini yang dibangun bahwa seolah-olah duit itu mengalir ke kantong Ahok adalah hanya propaganda.
Kelima, lewat media-media sosial. Jika anda rajin membaca media, maka puluhan situs-situs berseliweran, tak kenal lelah, terus menebar fitnah kepada Ahok. Para lawan Ahok dengan kebencian luar biasa, terus menggoreng isu-isu yang sekecil apapun untuk membusukkan nama Ahok. Di media, ada banyak situs-situs yang fokus beritanya hanya untuk memfitnah Ahok. Namun pada kenyataannya, para pendukung Ahok tetaplah banyak. Media-media besar pun tetap banyak yang mendukung Ahok. Akibatnya skenario membusukkan nama Ahok sekaligus menjegalnya lewat media, tidak berhasil.
Lalu mengapa ada banyak orang yang mendukung Ahok? Apakah karena agamanya yang bisa menjanjikan orang masuk surga? Apakah karena sukunya yang hokinya banyak? Apakah karena dia ganteng bak aktor film? Apakah karena kemurahan hatinya bagi-bagi uang seperti wanita emas itu? Atau karena tutur katanya sopan mempesona? Atau karena ia sering ke pasar dengan baju micky mouse? Semua alasan itu tak satu pun yang benar.
Ternyata jawabannya adalah karena Ahok banyak melakukan hal yang benar di balik kekurangannya sebagai manusia. Ahok mengembalikan hal yang semestinya yang selama ini telah dirampas oleh para pejabat lainnya. Ahok jelas bukan dewa. Ia bukan manusia suci atau sosok yang tak pernah salah. Akan tetapi apa yang telah dilakukannya seperti membela uang rakyat, mengubah mental birokrat, memanusiakan manusia dari bantaran kali dan memindahkannya ke rumah susun adalah hal yang didukung banyak orang.
Jadi ketika skenario penjegalan Ahok gagal, maka Gerinda meninggalkan Yusril lalu mengusung Sjafrie. Sementara itu, Golkar lebih pragmatis. Partai ini berbalik haluan dan mendadak mendukung Ahok. Tinggalah kini PDIP masih terus bertanya apakah mengusung calon sendiri atau mendukung Ahok.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H