Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Incar Dana WNI 11 Ribu Triliun, Jokowi-Novanto ‘Damai’, Ketua BPK Harry Azhar Terpojok

16 April 2016   06:29 Diperbarui: 16 April 2016   06:47 10730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Setya Novanto dan Jokowi terlihat mesra sebelum Kasus Papa Minta Saham (Merdeka.com)"][/caption]Uang orang-orang Indonesia yang disimpan di luar negeri mencapai 11 ribu triliun Rupiah. Jumlah uang sebesar itu sungguh mencengangkan. Nilainya hampir lima kali APBN Indonesia 2016 atau lebih besar dari Produk Domestik Indonesia 2015 yang hanya sebesar Rp. 10, 542,7 triliun. Duit 11 ribu tirliun itu disimpan di negara tax heaven atau negara dengan tarif pajak yang sangat rendah, dengan tujuan utama menghindari pajak di negara asalnya.

Menurut file Mossack Fonseca, dokumen dari Panama Papers, British Virgin Islands menempati urutan teratas negara surga pajak paling populer. Fonseca menyebut bahwa ada 113.648 perusahaan lepas pantai (offshore) yang didirikan di British Virgin Islands, menyusul Panama (48. 360 persuahaan), Bahamas (15.915). Tempat-tempat lain seperti Syechelles, Niue, Samoa, Britsh Anquilla, Nevada (AS), Hongkong, Singapura, Inggris masuk dalam Top 20 negara-negara tax heaven di dunia.

Indonesia termasuk 10 besar negara yang duitnya diparkir di luar negeri. Fakta inilah yang membuat Jokowi gerah. Jika duit sebanyak itu disimpan di Indonesia sepersepuluhnya saja, maka Indonesia tidak perlu lagi berutang ke luar negeri. Pemerintah cukup meminjam duit itu dari pemiliknya untuk mengembangkan perekonomian nasional. Kalau hal ini bisa menjadi kenyataan, maka ekonomi Indonesia akan meningkat pesat. Tentu saja tidak mudah membujuk para pemilik uang itu memindahkan uangnya ke Indonesia. Pemerintah harus menerapkan beberapa strategi khusus.

Langkah pertama yang dilakukan pemerintahan Jokowi adalah berusaha keras memperoleh data dana orang Indonesia di negara lain. Hal itu telah dilakukan dengan usaha luar biasa selama setahun terakhir ini. Hasilnya, data-data orang Indonesia yang menyimpan duitnya di negara lain telah dikantongi Jokowi lengkap dengan alamatnya. Data itu menurut Jokowi lebih lengkap dari pada data yang dibocorkan oleh offsore leaks dan Panama Papers. Dengan demikian Jokowi sudah tahu jika keluarga Jusuf Kalla, Sandiaga Uno, Ketua BPK dan ribuan nama lainnya ternyata mempunyai perusahaan dan duit simpanan di luar negeri.

Langkah selanjutnya yang dilakukan Jokowi adalah memaksa para pemilik uang memilih dua opsi, yakni membayar pajak atau memanfaatkan kebijakan Tax Amnesty atau pengampunan pajak. Jokowi terus mengancam para pemilik uang itu dengan mengatakan bahwa era keterbukaan perbankan dunia akan mulai diterapkan pada tahun 2017-2018 mendatang. Jadi ke depan akan semakin mudah mengetahui pihak-pihak yang memarkir duitnya di luar negeri.

Bagi para pemilik duit, permintaan Jokowi itu membuat mereka semakin terpojok. Ke depan Jokowi akan menemukan berbagai cara memaksa orang Indonesia yang punya dana di luar negeri membayar pajak kepada negara. Nah ini yang mengkhawatirkan para pemilik uang. Tentu saja bukan hanya dikenakan pajak yang tinggi, tetapi juga akan ditelusuri asal-usul duit sebanyak itu. Jika jelas asal-usulnya, maka tidak akan diganggu-gugat. Namun jika asalnya dari pencucian uang alias korupsi, maka akan disita untuk negara. Menakutkan bukan?

Nah sebelum Jokowi dengan garang mamaksa para pemilik uang 11 ribu triliun itu, Jokowi terlebih dahulu menempuh opsi lain berupa kebijakan Tax Ammesty atau pengampunan pajak. Jadi para pemilik duit itu tidak perlu membayar pajak yang tinggi, cukup tarik dananya kembali di Indonesia dan disimpan di bank-bank nasional. Dana ini sudah pasti akan menguatkan fondasi keuangan perbankan Indonesia ke depan. Nah, dana-dana segar itu kemudian lewat bank akan disalurkan ke proyek-proyek infrastruktur masif yang sedang dibangun Jokowi. Dengan dana segar itu, maka target proyek infrastruktur Jokowi dapat tercapai.

Namun kebijakan Tax Amnesty dari pemerintahan Jokowi itu tidak bisa dilakukan semberangan. Kebijakan itu membutuhkan payung hukum atau undang-undang yang mengatur tata cara penerapannya. Tanpa dasar hukum, maka program Tax Amnesty tidak akan bisa dilakukan. Nah Jokowi pun meminta DPR untuk segera menyelesaikan UU Tax Amnesty itu. Persoalannya adalah ada beberapa fraksi di DPR sengaja menunda-nunda pembahasan UU Tax Amnesty itu. Padahal usulan pembahasan undang-undang itu sudah mulai dilakukan pada akhir Desember 2015 yang lalu.

Penundaan pembahasan UU Tax Amnesty oleh DPR, jelas ada nuansa politisnya. Beberapa fraksi dari mantan KMP mencari-cari alasan untuk memperlambat pembahasannya. Fraksi Golkar, sebagai fraksi terbesar kedua di parlemen dan sekarang diketuai oleh Setya Novanto, jelas punya bargaining politik atas UU Tax Amnesty itu. Jika Kejaksaan Agung akan ngotot menyeretnya ke pengadilan terkait kasus Papa minta saham, maka Golkar tidak akan tinggal diam. Fraksi Golkar akan membela Novanto dan menghambat pembahasan UU Tax Amnesty itu bersama fraksi lain seperti Gerinda dan PKS.

Dalam situasi ini jelas Jokowi berada pada posisi sulit. Jika dia memprioritaskan UU Tax Amnesty dengan tujuan mengincar dana 11 ribu triliun itu, maka Jokowi harus mengobarkan kasus Papa Minta Saham itu mengendap. Jika UU Tax Amnesty disahkan maka ada potensi penerimaan negara sebesar Rp. 70-100 triliun. Dan pilihan inilah yang terlihat diambil oleh Jokowi. Nampaknya Kejaksaan Agung sudah tidak bernafsu lagi untuk mengusut lebih jauh kasus Papa Minta Saham itu. Bahkan Jaksa Agung tanpa sungkan mengeluarkan pernyataan bahwa Kasus Papa minta saham akan diendapkan untuk sementara. Dengan kata lain sebenarnya akan dipitieskan alias diuapkan agar Golkar dan konco-konconya melunak dan menyetujui UU Tax Amnesty.

Sinyal bahwa kasus Papa minta saham itu akan dipitieskan, membuat Setya Novanto bersorak kegirangan. Bersamaan dengan keinginannya untuk menjadi calon ketua umum Golkar pada Munaslub Golkar pada bulan Mei mendatang, iapun tanpa malu ikut menjumpai Jokowi di istana bersama anggota DPR lainnya untuk konsultasi terkait pembahasan UU Tax Amnesty itu. Pertemuan antara Jokowi dengan Setya Novanto (15/4/2015) itu mengindikasikan bahwa hubungan antara Jokowi-Novanto sudah mulai membaik. Dalam pertemuan itu Novanto dengan senyum mengembang terlihat tanpa sungkan berbicara dengan Jokowi. Ya, keduanya pun terlihat mulai berdamai demi mencapai tujuannya masing-masing.

Makna damai antara Jokowi-Novanto dapat dimaknai sebagai damai karena kepentingan. Novanto tentu mulai yakin bahwa dia akan bebas dari Kasus Papa Minta Saham. Selain itu Novanto tentu membutuhkan anggukan Jokowi terkait pencalonannya menjadi ketua umum Golkar menggantikan Pakdenya Aburizal Bakri. Imbalannya adalah dukungan penuh atas penyelesaian UU Tax Amnesty yang sangat dinantikan oleh Jokowi. Hasilnya, dengan lantang Novanto pun mengatakan kepada Jokowi akan membahas lebih cepat UU Tax Amnesty itu. Bahkan Novanto berjanji pada akhir bulan April ini UU itu akan segera diselesaikan. Aha, luar biasa bukan. Ternyata damainya Jokowi-Novanto saling menguntungkan satu sama lain.

Ketika Golkar mau mendukung UU Tax Amnesty, plus namanya sudah ketahuan dari bocoran Panam Papers, Ketua BPK, Hary Azhar Aziz, buru-buru melakukan manufer liar. Mantan politisi Golkar ini mengakui bahwa ia benar telah mendirikan perusahaan di luar negeri atas saran anaknya yang telah kawin dengan orang luar negeri. Alasan yang sebetulnya dibuat-buat. Lucunya ketua BPK ini pada awalnya membantah Sheng Yue Internasioanl Limites sebagai perusahaan offshore miliknya. Sekarang setelah tersudut, ia pun mengakui kebenaran informasi itu.

Kini Harry Azhar menjadi sorotan. Politis PPP, Syaifullah Tamliha, menuntut ketua BPK ini mundur dari jabatannya. Tuntutan ini pun direspon oleh Harry Azhar dengan pergi menemui Jokowi dengan kedok melaporkan kasus Sumber Waras dan perihal dirinya masuk dalam daftar Panam Papers. Setelah itu, Harry Azhar secara buru-buru mengunjungi Dirjen Pajak untuk mengklarifikasi laporan pajaknya. Tujuannya agar Dirjen Pajak meng-clear-kan dirinya. Aha.

Tentu saja publik bertanya-tanya, mengapa Harry Azhar baru melaporkan kasus Sumber Waras kepada Jokowi padahal kasus itu sudah mencuat sejak tahun lalu? Mengapa saat dirinya terpojok, baru ia bertemu dengan Jokowi? Mengapa Sang Ketua BPK baru rajin pergi ke Dirjen Pajak saat namanya sudah ketahuan di daftar Panama Papers? Jawabannya Jelas. Saat mulai terpojok, baru rajin ke sana ke mari meminta bala bantuan haha.

Menurut kabar, laporan Harry Azhar itu ditanggapi dingin oleh Jokowi. Tentu saja alasannya jelas. Pejabat tinggi negara ternyata tidak memberi contoh yang baik bagi masyarakat. Akankah Harry Azhar ke depan tetap bertahan pada posisinya? Atau operasi khusus baru dari Jokowi untuk mendepaknya? Mari kita tunggu. Yang jelas, demi mengincar duit 11 ribu triliun, Jokowi-Novanto berdamai, sementara Harry Azhar, sang ketua BPK semakin terpojok.

 

Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun