[caption caption="Presiden Jokowi dan Menteri ESDM Sudirman Said (Foto: Sindonews.com)"][/caption]Setelah skenario ‘tikus-tikus’ di Masela tersibak, akhirnya Jokowi dapat membuat keputusan paling tepat: kilang blok Masela harus dibangun di darat (onshore). Pengembangan blok Masela lewat skema darat, selain biayanya relatif lebih murah, juga akan memacu pembangunan wilayah Indonesia Timur khususnya tanah Maluku.
Keputusan Jokowi itu menjadi bukti baru bahwa Jokowi sama sekali tidak tunduk pada kepentingan-kepentingan segelintir orang. Lewat keputusan itu dapat dilihat bahwa Jokowi semakin terlihat  keras kepala, teguh dan tegas membela kepentingan rakyat. Walaupun sebetulnya, keputusannya itu sangat logis dan beralasan. Jokowi jelas membela kepentingan rakyat dan bukan kepentingan investor dan para pemburu rente di belakangnya.
Selama berbulan-bulan sebelumnya, Menko Rizal Ramli berseteru dengan Menteri ESDM Sudirman Said soal skema pengembangan blok Masela itu. Sudirman Said bersama kementerian ESDM dan SKK Migas sangat bernafsu membangun blok Masela itu di laut (offshore). Kedua investor baik Inpex maupun Shell nafsunya juga sama. Mereka ingin agar pengembangan blok Masela dilakukan secara terapung di laut. Apalagi keinginan mereka, didukung oleh seabrek data hasil riset dari Trydaya Advisory yang menyarankan agar pengembangan blok Masela agar di lakukan di laut.
Namun gelagat kepentingan dan skenario-skenario bisnis di blok Masela dibaca dengan sangat paham oleh Rizal Ramli. Rizal kemudian mengaum, mengepret dan membuka front perseteruan dengan Sudirman Said. Hasilnya rakyat menjadi tahu apa yang sebenarnya yang terjadi di blok Masela. Maka pantaslah kalau Rizal selayaknya diapresiasi.
Berkat kepretan Rizal Ramli pula, masyarakat jadi tahu soal keberadaan Blok Masela, salah satu blok yang memiliki cadangan gas terbesar di Indonesia. Cadangannya mencapai 10,73 Trillion Cubic Feet (TCF). Begitu besarnya jumlah cadangan tersebut, hingga Blok Masela juga biasa disebut Lapangan Abadi yang bisa dieksploitasi selama 70 tahun ke depan. Nilai eksploitasinya pun luar biasa mencapai 400 triliun rupiah.
Keputusan Jokowi itu jelas membuat Rizal Ramli bersorak kegirangan. Kepretannya selama ini tidaklah sia-sia dan menemukan kebenarannya. Ia berhasil memberikan masukan berharga  Jokowi sebelum memutuskan nasib blok Masela itu. Mengapa? Karena dalam raungan Rizal Ramli itu terkandung keadilan, pro-Nawacita Jokowi dan sangat memihak rakyat Maluku.
Dengan adanya keputusan Jokowi yang lebih memilih skema di darat, maka hal itu juga menegaskan bahwa selama ini Rizal bukanlah sosok menteri yang asal ngomong, membuat gaduh atau menteri yang sibuk menyerang menteri lain. Rizal telah membuktikan bahwa apa yang dia persoalkan menyangkut kepentingan rakyat dan menghajar mereka yang mempunyai kepentingan terselubung.
Lalu bagaimana posisi Sudirman Said bersama orang di belakangnya pasca keputusan Jokowi itu? Jelas Sudirman Said (SS) terpaksa bersyukur, tetapi syukurannya terasa pahit. Ia jelas kalah telak dari Rizal Ramli (RR). Pun bagi Inpex dan Shell, keputusan Jokowi itu ibarat pil pahit yang mesti ditelan. Keputusan itu juga, telah mendatangkan kekalahan ketiga bagi kubu SS setelah proyek listrik 35 ribu MW plus kasus Freeport. Ke depan, perseteruan RR vs SS akan semakin panas dan membahana.
***
Sebetulnya kita semakin paham bahwa kegaduhan antara menteri di masa Jokowi adalah sesuatu yang lumrah. Berbeda di zaman Soeharto dan SBY, keributan itu sama sekali tidak dibenarkan. Mengapa? Di era Seoharto dan SBY ternyata antara menteri yang satu dengan yang lain, mereka saling melindungi, saling berbagi rata jika ada rezeki besar. Jadi tidak ada yang dirugikan, semua mendapat jatah masing-masing.
Di era Jokowi hal yang sama tidak lagi demikian. Jokowi sama sekali tidak membiarkan ada pembagian jatah di antara menterinya. Ketika ada menteri yang licik plus ngotot untuk ‘bermain’, maka Jokowi akan menggonggong, mengempret dan mengaum lewat menterinya yang lain. Itulah yang kita lihat dalam sosok RR. RR akan terus mengempret jika ada menteri yang sibuk memenuhi ambisi kekuasaan sektoralnya.
Ketika ada hal yang tidak beres di bawah kewenangan SS, RR kemudian langsung meng-attack-nya. Tentu saja RR tidak hanya melawan SS, tetapi RR juga melawan pemain di belakang SS yang sebetulnya adalah pemain lama. Lalu siapa di belakang SS itu? Marilah kita mulai dengan menyinggung  nama besar Kuntoro. Tangan kanan RR, Adhi Masardi di berbagai media selalu menunjukkan bahwa SS hanyalah pion yang dikendalikan oleh Kuntoro. Jaringan Kuntoro ini, menurut Massardi, adalah para monster yang lebih berbahaya dari iblis.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bisa dimengerti pola pikir Massardi (baca di sini) yang selalu menyinggung nama Kuntoro Mangkusubroto? Menurut Massardi, Kuntoro adalah mentor Sudirman Said yang adalah ‘murid’ Ginanjar Kartasasmita. Beberapa sosok besar di republik ini pernah dibina Ginanjar dalam apa yang sering dulu disebut sebagai ‘Ginanjar Boys’.
Benang merahnya adalah pengaruh atau kekuasaan Kuntoro dalam sektor energi dan pertambangan merupakan kelanjutan pengaruh Ginanjar. Jelas karena SS adalah pemain pemula, maka Ginanjar masih belum yakin menempatkan sosok SS sebagai tokoh sentralnya. Jadi pada tataran ini perseteruan RR vs SS sebetulnya lebih pada perseteruan RR vs Kuntoro. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah memang benar Ginanjar masih berkuasa di sektor energi di negeri ini?
Menurut Syahanda N, (Peneliti Asean Institute for Information and Development Studies), menyimpulkan Ginanjar sudah pensiun di belantara sektor energi di republik ini adalah hal yang spekulatif. Alasannya adalah Ginanjar masih menjadi mitra Jusuf Kalla dalam politik. Hal Itu terlihat dari posisi Ginanjar sebagai wakil JK di PMI. Mereka bekerja sama dalam merebut PMI kembali dari tangan Titi Suharto. Saat RR menyerang JK terkait proyek listrik 35 ribu MW, Ginanjar langsung pasang badan. Ginanjar kemudian menghimpun Paguyuban Pasundan di Bandung untuk melindungi JK dari serangan RR. Jadi jelas bahwa Ginanjar masih punya power di republik ini. Dia adalah pemain lama sejak era Soeharto, berlanjut di era Megawati hingga bertahan di era SBY.
Jika kemudian Presien Joko Widodo membutuhkan waktu untuk memutuskan nasib blok Masela, hal itu sangat wajar. Jelas Jokowi enggan melawan secara terbuka jaringan kuat Kuntoro yang menginginkan pengembangan blok Masela dengan tangki raksasa di tengah laut (offshore). Tentu saja jika hal itu menjadi kenyataaan, maka sangat menguntungkan pihak investor karena sulit dideteksi oleh pemerintah. Karena itu, Jokowi menggunakan jasa RR untuk melawan Kuntoro yang memang sebelumnya pernah berseteru. Untuk lebih jelas lagi, maka marilah kita lihat sekilas perseteruan RR dengan Kuntoro?
Di era pemerintahan orde baru, Ginanjar berhasil mengendalikan rezim ekonomi Seoharto berkat kedekatannya dengan Wapres Sudharmono. Di masa jayanya, Ginanjar melakukan aliansi politik dengan Islam modernis. Lalu muncul aliansi lain sebagai kubu taktis yang berseberangan dengan Ginanjar. Kubu ini kemudian memunculkan Gusdur sebagai tokohnya. Di sinilah RR ikut bergabung dengan kubu Gusdur yang memandang Ginanjar sebagai lawan politik.
Ketika terjadi perebutan kekuasaan pasca lengsernya Soeharto, kubu Ginanjar berhasil mengambil alih kekuasaan dari Suharto. Namun, pada perkembangan selanjutnya saat Gusdur berhasil menjadi Presiden kubu RR berhasil menjatuhkan kubu Ginanjar. Akan tetapi ketika Megawati naik takhta menjadi RI-1, Ginanjar kembali berkuasa dan berhasil mendepak RR. Dan barulah kemudian ketika Jokowi naik menjadi RI-1, RR kembali berada di atas angin.
Jika kemudian RR menyerang kubu SS yang sebetulnya kubu Kuntoro, maka sangat masuk akal jika RR juga mendapat beragam serangan balik dari beberapa pihak. Sebagai contoh misalnya Faisal Basri menuding RR berkonspirasi dengan Bakri, karena proyek pipa dalam skema onshore akan jadi bisnis besar. Betti Alisjahbana menyerang Forum Tujuh Tiga (Fortuga) ITB sebagai organ alumni ITB ilegal. Karamoy, menyerang RR karena dapat menghambat bisnis dan investasi Migas di Indonesia. Yang lebih parah lagi, kubu SS melemparkan isu bahwa RR akan mendepak investor existing (Inpax/Shell) dengan investor bawaannya.
 Namun Rizal yang melihat dukungan  masyarakat Indonesia dan juga Maluku serta  jaringan expert lepas alumni ITB, tetap bertahan pada keinginannya untuk membubarkan skema bisnis off shore blok Masela yang hampir ditandatangani oleh SS. Pun Luhut Panjaitan yang merupakan sahabat RR ikut berperan dalam memberi masukan kepada Jokowi terkait nasib blok Masela itu. Jika kemudian Jokowi ternyata memutuskan pengembangan blok Masela lewat skema  darat (onshore), sebetulnya sudah diyakini oleh RR sebelumnya. Hanya saja RR terlalu  bernafsu membeberkannya kepada publik dengan mendahului keputusan resmi Jokowi.
Lalu siapa yang kalah atau gigit jari di blok Masela? Jelas yang kalah adalah kubu Kontoro yang di dalamnya termasuk SS yang merupakan pionnya. Sementara itu investor Inpex dan Shell yang terlanjur yakin pengembangan blok Masela itu lewat skema offshore hanyalah mimpi di siang bolong. Dan sekarang Inpex dan Shell mempunyai dua pilihan yakni tetap melanjutkan hadir di blok Masela dengan menelan pil pahit atau out dari Indonesia sebagaimana sempritan RR yang sudah di atas angin. Bagi rakyat Maluku keputusan Jokowi itu adalah sebuah hadiah luar biasa yang harus disongsong, diolah dan dimanfaatkan sebaik mungkin demi kesejahteraan daerahnya ke depannya.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H