Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gara-gara Seorang Ahok, Logika Menjadi Dungu, DPR Menjadi 'Kampungan'

17 Maret 2016   09:56 Diperbarui: 17 Maret 2016   13:14 75377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Basuki Tjahja Purnama (Foto: Merdeka.com)"][/caption]Ahok telah menjelma menjadi pembuat gara-gara di negeri ini. Ia sukses menjungkirbalikan logika banyak pihak menjadi terlihat dungu. Banyak pihak yang sebelumnya terlihat intelek, bernalar tinggi, tiba-tiba berlogika jongkok, ngawur dan menjadi bahan tertawaan publik. Itu semuanya gara-gara seorang Ahok.

Gara-gara Ahok, tiba-tiba republik ini menjadi gaduh, partai menjadi kebakaran jenggot karena merasa akan dikibuli Ahok yang maju lewat jalur independen. Istilah independen vs partai pun dipertentangkan. Padahal dalam Pilkada DKI 2012 yang lalu, Faisal Basri yang maju dari jalur independen sama sekali tidak dipersoalkan. Pun jalur independen itu sendiri disetujui oleh DPR sebagai pembuat UU yang notabene berasal dari partai itu sendiri. Kemudian istilah aneh deparpolisasi pun muncul di permukaan. Padahal sebetulnya istilah itu tidak tepat dalam konteks Pilkada. Nalar bahasa pun menjadi tumpul.

Gara-gara seorang Ahok, tiba-tiba DPR sangat bernafsu merevisi UU Pilkada terkait calon independen. DPR rela bermuka tebal dan berlagak anak TK, sibuk merubah-rubah aturan Pilkada seluruh Indonesia untuk menutupi rasa malunya. Mereka tega mengorbankan kepentingan pilkada di ratusan wilayah lain di Indonesia hanya untuk menjegal seorang Ahok. Kalau begini logikanya sudah susut setengah.

Gara-gara Ahok, cara berpikir DPR terutama dari Komisi III menjadi ‘belagu’ dan ‘kampungan’. Dua kata itu dilontarkan sendiri oleh Ahok ketika ia mau dipanggil oleh Komisi III. Bayangkan Komisi III mau memanggil Ahok soal kasus Sumberwaras karena gagal terus dijadikan tersangka oleh KPK. Nah, logikanya adalah KPK dan BPK yang harus dipanggil lebih dulu untuk memperoleh penjelasan terkait kasus Sumber Waras itu. Kalau memang sangat dibutuhkan, baru Gubernur Ahok dipanggil. Tetapi logika DPR menjadi terbalik hehe.

Pun DPRD DKI Jakarta tidak kalah ngawurnya. Oktober 2015 yang lalu, di bawah Abraham Lunggana, alias Lulung, pasukan DPRD DKI menyerbu KPK untuk melaporkan Ahok karena terindikasi korupsi di kasus pembelian lahan Sumberwaras. Lalu setelah itu mereka menagih KPK hampir tiap bulan menanyakan kapan Ahok jadi tersangka. Mereka pun terlihat memaksa KPK menetapkan Ahok sebagai tersangka korupsi. Namun ketika KPK menyatakan bahwa Ahok masih belum terbukti korup, Lulung dan kawan-kawan menjadi stress. Lho kok, orang lain gagal tersangka, ada orang yang stress. Logikanya dimana?

Gara-gara Ahok, logika aktivis perempuan Ratna Sarumpaet menjadi ‘dungu’. Dengan amat yakin dia mengatakan bahwa Ahok pasti terlibat korupsi di Sumber Waras. Lho, buktinya apa? Lebih memalukan lagi ketika Ratna Sarumpaet mengatakan Ahok telah membeli KPK, TNI dan Polri. Ini logikanya darimana. Bagaimana mungkin seorang Ahok mampu membeli KPK, TNI dan Polri. Jika pun Ahok mempunyai uang 100 Triliun, tetap saja ia tidak bisa membeli KPK, TNI dan Polri. Jelas KPK, TNI dan Polri bukan barang dagangan yang dijual dengan discount hingga 80% hehe.

Gara-gara Ahok, logika kaum agamawan yang munafikin menjadi berkarat, tak bisa mencerna dengan logika  ketika melihat fakta bahwa seorang Ahok yang double minoritas bisa menjadi Bupati Belitung. Ahok juga nyaris menjadi Gubernur Kepri di Sumatera sana. Dan  lebih hebat lagi Ahok sukses menjadi Gubernur di Ibu Kota Jakarta yang nota bene sebagai jantung republik ini. Celakanya lagi, si Ahok ini sangat berpotensi menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua. Padahal sebetulnya siapun warga Indonesia berhak menjadi pemimpin jika ia mampu memenuhi syarat. Maka isu SARA pun tetap menjadi barang dagangan yang terus dijual untuk menjegal Ahok.

Gara-gara Ahok para politisi mie instan bermunculan. Mereka tampil di muka umum dengan gaya modis, ikut trendy bernuansa pencitraan . Lihatlah Bang Yusril tiba-tiba pergi ke pasar memakai baju micky mouse, ikut shalat Jumat bersama warga. Padahal kalau mau menjadi pemimpin butuh waktu yang lama untuk menarik simpati rakyat kecil. Belalah mereka, berjuang bersama mereka dan perhatikanlah nasib mereka dari dulu.

Gara-gara menandingi Ahok, Ahmad Dhani dipaksa membuat program aneh bin ajaib. Katanya, jika ia menjadi gubernur DKI, maka dalam waktu satu minggu tidak ada kemacetan di Jakarta. Ia yakin dengan pasukan anti macet yang ia bentuk, maka supir metromini yang ugal-ugalan dan ngetem sembarangan akan dicambuk seribu kali tiap kali melanggar. Selain itu, Ahmad Dhani juga akan menghilangkan bus Transjakarta demi mengatasi kemacetan. Astaga.

Gara-gara Ahok pun maka pemandangan di both-both di hampir seluruh mall di Jakarta terlihat ramai. Poster bertuliskan Teman Ahok yang sedang menghimpun fotocopy KTP warga terlihat menyolok sekaligus aneh. Aneh karena biasanya yang ada di both adalah promosi produk atau jasa. Tetapi ini bukan promosi produk atau jasa. Ini promosi jalur independen yang mau maju menjadi Gubernur DKI Jakarta. Wah, ada-ada saja.

Gara-gara Ahok, maka media sosial menjadi hiruk-pikuk. Ada foto-foto miris bertuliskan: “Saya muslim, tetapi saya pilih Ahok”. Tulisan di foto lain berbunyi: “Saya Kristen tetapi saya tidak memilih Ahok” dan seterusnya. Pun di media social tiba-tiba banyak akun-akun yang terus menyerang Ahok, mencari celah kecil kelemahannya dan mem-blow-up sebesar mungkin. Nah semuanya gara-gara seorang Ahok.

Apakah gara-gara seorang Ahok, negeri ini akan semakin gaduh dan logikanya akan semakin tumpul ke depan? Atau gara-gara seorang Ahok, daya nalar orang-orang yang hidup di negeri ini menjadi lebih baik cara bernalarnya? Jawabanya: mari kita buka mata, buka telinga dan buka mulut, tetapi jangan buka semuanya hehe.

Salam Kompasiana,

Asaaro Lahagu

 

*) Illustrasi gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun