Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kalijodo, Preman Mata-mata dan Uji Nyali Besar Ahok

14 Februari 2016   00:48 Diperbarui: 17 Februari 2016   12:10 11280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalijodo adalah surga dunia yang kelam. Di sana kenikmatan bercampur dengan kepedihan, kemunafikan bercampur dengan kealiman, dosa dan tidak merasa berdosa dan kekayaan  bertemu dengan kemiskinan. Semuanya bercampur dalam balutan hingar-bingar musik café, aroma minuman keras, kesenangan judi, godaan parfum para PSK, dan erangan kenikmatan di kamar-kamar sempit lantai tiga café.

Bagi para pecandu seks, Kalijodo adalah tempat paling dipuja. Ia adalah tempat paling menggairahkan, paling dirindukan dan diimpikan. Di sana ratusan juta dan bahkan miliaran Rupiah berputar setiap hari. Mereka-mereka yang sudah lama berlangganan di sana, bayangan Kalijodo akan terus-menerus membayangi nafsu dan gairah memuncak kelelakian setiap saat. Di sanalah tempat yang tepat untuk menyalurkan naluri kebinatangan, gejolak  ngamuk biologis, dan kenikmatan sesaat.

Kalijodo memang tenar dan telah menggoreskan sejarah. Keberadaannya yang tergolong kelas teri (Rp. 150 ribu Rp.200. ribu/short time) namun pelayanannya premium, membuat masyarakat bawah, menengah dan bahkan atas berbodong-bondong ke sana. Bila tarif sekali kencan di Mangga Dua, Jalan Gajah Mada mulai dari Rp 500 ribu hingga jutaan, maka Kalijodo jelas jauh lebih terjangkau.

Sejarah Kalijodo sebagai area porsitusi sudah ada sejak tahun 1970. Ia pun menjadi saksi bisu kemajuan peradaban Jakarta. Keberadaan Kalijodo sebetulnya tidak dikehendaki. Ia tidak diciptakan oleh penguasa, tetapi secara alami menciptakan dirinya sendiri. Kalijodo bukanlah tempat lokalisasi resmi, tetapi lokalisasi alami. Ia membentuk dirinya, mempromosikan dirinya dan menggoreskan sejarahnya sendiri.

Hampir semua gubernur yang pernah memerintah Jakarta, nyaris tidak pernah mempersoalkan keberadaan Kalijodo. Mengapa? Karena  merelokasi prostitusi sangat sulit. Ada keinginan para gubernur yang memerintah Jakarta untuk membuat lokalisasi. Jika ada lokalisasi, maka prostitusi dapat dipantau, diberi penyuluhan dan dikenakan pajak. Namun nyali mereka ciut berhadapan dengan kaum agamis, ormas radikal dan citra mereka sendiri. Jadi ketika ada lokalisasi alami bagi prostitusi, maka para gubernur itu pun seolah menutup mata dan telinga. Kalijodo pun terus hidup, eksis dan membentuk dirinya secara alami sebagai tempat prostitusi terkenal.

Kalijodo memang dibutuhkan. Sebagai kota Metropolitan, Jakarta dihuni oleh orang-orang yang butuh hiburan. Ketika ada banyak orang yang memburu kenikmatan, butuh ekstra hiburan, maka serta merta juga ada pihak yang berusaha memenuhinya. Maka terbentuklah Kalijodo. Karena dia terbentuk secara alami, maka di sana hukum rimba pun berlaku.

Siapa yang kuat dialah yang menguasai. Maka di Kalijodo bermunculan para preman yang berlatar belakang pengangguran. Preman itu kemudian bermetafora menjadi bos preman dan berlagak seperti mafia. Selanjutnya Bos preman bisa bermetafora menjadi pengusaha, lalu pejabat dan bahkan senator. Jadilah Kalijodo semakin kuat dan tak mudah diusik. Bos-bos preman Kalijodo pun kemudian bersatu dan merekrut para penjaga keamanan mereka yang berani mati.

Para preman yang telah direkrut, memenuhi kriteria, kemudian dipekerjakan dengan gaji cukup plus bonus-bonus yang besar. Imbalannya mereka harus mempertaruhkan nyawanya untuk menjaga keamanan Kalijodo. Di antara mereka ada yang kemudian dilatih sebagai agen intelijen, agen mata-mata, penggertak PSK, perekrut, petarung, pemberani mati untuk membela kepentingan para bosnya di Kalijodo.

Kesangaran para preman di Kalijodo, sudah dirasakan benar aparat kepolisian dan FPI. FPI yang terkenal garang di Jakarta seolah dibuat tidak berkutik berhadapan dengan para preman pelindung Kalijodo. Tiap kali FPI datang mengganggu, maka para preman dengan tombak, parang, siap memerangi FPI. Para preman Kalijodo tampil lebih berani, lebih sangar, lebih brutal, lebih ngotot daripada para pengikut FPI. Jadilah nyali para pengikut FPI ciut, kocar-kacir dan lari tunggang langgang

Bos-bos preman Kalijodo dengan inteligensi tinggi dan dana melimpah juga, berhasil menyusupkan para agen intelijennya ke dalam tubuh FPI. Setiap kali FPI merencanakan aksi penutupan Kalijodo, maka para bos preman Kalijodo sudah mengantisipasinya lewat informan agen-agen inteligennya. Hebatnya lewat agen-agen inteligennya, para bos preman Kalijodo itu dapat mengetahui kekuatan FPI, kelemahannya dan ketakutan FPI itu sendiri. Lalu mengapa selama ini aparat keamanan tidak sepenuh hati menertibkan Kalijodo?

Mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa di belakang preman Kalijodo juga ada back-up dari oknum-oknum aparat, pejabat dan bahkan mungkin dari anggota DPRD DKI Jakarta.  Ditambah lagi keengganan para Gubernur sebelumnya untuk melakukan penertiban, membuat Kalijodo tetap eksis dari era ke era. Bukan tidak mungkin, berkat dana besar yang diperoleh, para preman Kalijodo bisa menyusup ke tubuh aparat dan Parlemen DKI. Maka tak heran setiap kali ada razia, informan mata-mata preman Kalijodo telah memberi tahu sebelumnya.

Ahok sendiri yang sebetulnya menginginkan lokalisasi prostitusi di Jakarta, tidak berani secara frontal merealisasikan program itu. Ahok setuju lokalisasi prostitusi, namun bukan model seperti Kalijodo. Bagi Ahok, Kalijodo justru harus ditertibkan dan direlokasi. Ahok ingin lokalisasi khusus yang bisa dipantau, dikelola, dan dikenakan pajak oleh pemerintah. Namun membuat lokalisasi baru, sangat tidak mungkin. Karena sudah amat jelas, ia akan ditentang oleh berbagai elemen masyarakat Jakarta. Itulah sebabnya Ahok tidak memprioritaskan penyelesaian prostitusi di Kalijodo dalam proyeknya. Ahok hanya menunggu moment yang paling tepat untuk bertindak.

Ketika Riki Agung Prasetya dengan mobil Fortunernya mengalami kecelakaan dan penyebabnya berawal dari Kalijodo, Ahok pun langsung bermanufer. Ahok yang sudah tahu kekuatan preman di Kalijodo yang amat kuat, melempar gertakan awal. Ahok mengatakan akan ia sikat Kalijodo dengan membawa tank, tentara dan polisi. Itu adalah pernyataan cerdas. Ahok pasti sadar betul bahwa rayuan atau bujukan apapun kepada warga dan preman Kalijodo tidak akan digubris. Strategi gertakan Ahok yang membahana akan mengirim sinyal kepada para preman Kalijodo untuk tidak berani melawan.

Strategi berikutnya Ahok adalah strategi jepit. Secara pelan-pelan, aparat keamanan akan dikirim ke sana untuk mendata warga, sekaligus mengukur kekuatan preman yang ada di sana. Para aparat kepolisian dan mungkin tentara akan mulai memberi penyuluhan sambil membujuk setengah memaksa warga agar pindah dari lokasi. Jika saatnya tiba, Ahok bersama TNI dan Polisi akan menutup lokasi secara paksa dengan kekuatan penuh seperti strategi Ahok di Kampung Pulo. Strategi perang frontal mungkin akan diambil Ahok untuk menangani Kalijodo.

Penutupan lokasi prostitusi di Kalijodo adalah uji nyali dan strategi Ahok menjelang Pilkada 2017 mendatang. Kalau wali kota Surabaya Tri Rismaharini dapat menutup lokalisasi Dolly, maka Ahok juga ditantang untuk melakukan hal yang sama. Ahok dengan dukungan penuh Polda Metro Jaya dan TNI dapat meniru sebagian cara Risma dalam menangani prostitusi Kalijodo. Jika Ahok berhasil menutup Kalijodo dengan meminimalkan dampaknya, maka citranya semakin menanjak menjelang Pilkada.

Tentu saja menutup Kalijodo tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ahok harus kerja keras dan waspada. Kalijodo bukanlah Dolly. Para preman Kalijodo memang berani mati. Kalijodo juga sudah benar-benar dikelola bak mafia. Sudah pasti penutupan Kalijodo, akan mendapat perlawanan sengit dari warga dan para preman di sana. Bukan tidak mungkin, akan terjadi pertumpahan darah yang menyebakan tragedi kemanusiaan. Hal itu bisa mencoreng reputasi Ahok. Jadi Ahok harus hati-hati, harus ada persiapan matang, kalkulasi akurat dalam menghitung kekuatan sebelum melakukan penertiban di Kalijodo.

Tentu saja Negara tidak boleh kalah dengan preman. Jika Ahok berani menentang dan membubarkan FPI, maka Ahok juga harus berani menghadapi warga dan preman Kalijodo tanpa takut. Kalijodo memang sudah harus ditutup. Ia adalah tempat tumbuhnya penyakit masyarakat. Benar bahwa di sana ribuan dan bahkan puluhan ribu orang menggantungkan hidup. Namun tetap saja tidak bisa dibenarkan. Menggantungkan hidup dengan sumber pencaharian yang salah, tetap salah. Ke depan persepsi kita terhadap Kalijodo sebagai tempat prostitusi mungkin akan  segera berubah. Kita mungkin kembali mengenang Taman Kalijodo sebagai tempat yang indah, tempat bertemunya para muda-mudi seperti di era kejayaannya tahun 1950. Di saat itulah sejarah indah Kalijodo kembali bersemi.

Salam Kompasiana,

Asaaro Lahagu

*) Illustrasi gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun