Polemik sengit sedang berlangsung di proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Pasca Jokowi melakukan groundbreaking (21/1/2016), para anggota DPR, pengusaha, pengamat, praktisi bidang perhubungan, perkereta-apian dan bahkan menteri Jokowi sendiripun terus ragu, khawatir, takut atas proyek kereta api cepat itu. Bayang-bayang ketakutan atas kegagalan dan dampaknya menghantui mereka bagaikan gendruruwo raksasa di malap gelap. Jelas, logika pihak yang kontra proyek kereta api cepat itu sudah direcoki oleh filosofi kegagalan, hantu kekhawatiran, dan setan ketakutan.
Bila dilihat argumen pihak yang kontra atas proyek kereta api itu, maka benar masuk akal dan bahkan sangat merasuki akal. Selain biayanya yang mencapai 70 triliun Rupiah lebih, dampak lingkungan yang menganga, potensi gempa maut menakutkan di sepanjang jalur proyek, juga adanya utang investasi yang menggunung di depan mata. Utang itu kelak akan membebani anak cucu dan cicit kalau gagal karena BUMN-BUMN kita adalah jaminannya. Itulah sebabnya nyali pihak yang kontra sudah sangat menciut karena bayangan kegagalan silih berganti di kepala mereka. Apa jadinya jika proyek 70 triliun itu gagal? Itu benar-benar sebuah kiamat dan tsunami ekonomi.
Jika banyak pihak yang ketakutan atas proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung itu, Jokowi tidaklah demikian. Logika Jokowi bukanlah demikian. Jokowi jelas bukan penakut dan pengecut. Dia adalah sosok pemberani yang akrab dengan resiko tinggi, seorang pemimpin yang berani membuat terobosan dan seorang petarung dengan taruhan diri, nyawa dan reputasinya. Dalam membuat terobosan, Jokowi sangat mengandalkan naluri, insting dan daya nalar otaknya. Ia menyibak masa depan dengan kalkulasi tingkat tinggi. Ia bukanlah pemimpin dengan modal hasrat dan nyali besar saja. Ia adalah tipe pemimpin yang selalu melompat jauh ke depan penuh perhitungan. Dan itulah jiwa seorang pemimpin sesungguhnya.
Terkait dengan proyek kereta api cepat itu, Jokowi punya naluri jitu dan daya insting tersendiri. Bagi Jokowi, proyek kereta api cepat itu adalah proyek strategis nasional dalam usaha menghadapi persaingan global. Proyek itu  juga merupakan bagian dari rencana besar menghubungkan kota-kota besar di Jawa. Ke depan Jakarta-Bandung-Semarang-Surabaya akan dilalui oleh kereta api cepat. Insting Jokowi mengatakan bahwa kereta api adalah masa depan transportasi massal Indonesia. Kota-kota yang padat penduduknya harus sudah menggunakan model transportasi ini. Di saat Jakarta-Bandung sudah sangat macet saat liburan, maka model kereta api cepat adalah solusi masa depan.
Proyek kereta api cepat jelas membangkitkan ekonomi di sepanjang jalur proyek terutama di titik-titik pemberhentian. Jika di kemudian hari titik-titik pemberhentian itu tidak efisien, maka tinggal diubah settingannya menjadi kereta api cepat langsung Jakarta-Bandung tanpa berhenti. Jika ada potensi gempa, dampak lingkungan, maka ada usaha-usaha untuk meminimalkannya. Bagaimana jika kereta api itu tidak laku karena tiketnya mahal? Caranya mudah, tarif tol Jakarta-Bandung dibuat mahal bagi mobil pribadi dan bisa disamakan dengan tiket kereta api cepat. Orang pun akan memilih kereta api cepat. Tentu ada seabrek kebijakan lain untuk membuat kereta api cepat itu agar menjadi model transportasi favorit warga.
Soal utang investasi proyek, sebetulnya sama sekali tidak menakutkan. Resiko kegagalan kereta api cepat jauh lebih kecil dibanding resiko investasi lain seperti membangun jembatan Selat Sunda misalnya. Saya masih ingat bagaimana investasi ratusan triliun untuk membuat proyek pembuatan pesawat di zaman Soeharto dengan ide lompatan teknologi tinggi ala Habibie. Hampir 40 tahun setelah proyek itu dimulai, tidak ada sama sekali untungnya. Pesawat buatan IPTN kurang laku dan pernah ditukar dengan padi Thailand. Utang investasi hingga kini pun tetap kita pikul. Sementara investasi 70 Triliun untuk proyek kereta api cepat itu jelas ada wujud nyatanya. Apalagi jika dibandingkan dengan kebijakan pemberian talangan BLBI zaman Soeharto-Habibie-Megawati yang telah merugikan negara ratusan Triliun Rupiah dan wujudnya tidak jelas, jelas proyek kereta api cepat jauh lebih punya prospek. Lalu dimana ketakutannya?
Jokowi amat yakin berlaga di negeri sendiri. Sudah lama putera-puteri terbaik bangsa ini takut bertarung di negeri sendiri. Para anggota DPR, pengusaha Indonesia, dan pengamat hanya sibuk berteori dan takut bertarung.  Bertarung dengan China di negeri sendiri, takut? Bagaimana jika bertarung dengan China di Singapura, Malaysia, Vietnam, Laos atau di Afrika sana? Bisakah Indonesia berani bertarung? Jika di negeri sendiri takut pada China dengan segala kelicikannya (jika memang ada) bagaimana bangsa ini bisa maju? Bukankah jauh lebih berat jika Indonesia pergi bertarung bisnis di negeri China sana? Apakah BUMN-BUMN Indonesia berani? Mulailah berani di negeri sendiri. Di negeri ini kita kok yang mengatur segala kebijakan dan bukan China.
Jika Jokowi berani mengambil resiko melanjutkan proyek kereta api cepat itu, itu karena kalkulasinya yang jitu untuk bentangan kemajuan Indonesia 20 tahun ke depan. Jika seorang pemimpin sekarang takut mengambil resiko, maka Indoenesia tidak maju-maju. Jika saja Soekarno saat 17 Agustus tahun 1945 takut resiko perang, karena Indonesia tak punya tentara terlatih dan hanya bersenjata bamboo runcing, mungkin dia tidak akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Jika Soekarno takut karena tidak ada modal, maka proyek Monas, stadion Senayan Jakarta dan proyek lain pembangunan militer hebat tahun 1962, sampai sekarang mungkin tidak ada. Tetapi Soekarno dengan segala resiko berani melakukannya, dan ia berhasil mewujudkannya. Itulah yang ditiru Jokowi. Seorang pemimpin harus berani ambil resiko.
Meniru pendahulunya Soekarno, sepak terjang Jokowi di percaturan politik di Indonesia, juga terlihat sangat akrab dengan resiko. Lihatlah keputusannya saat menjadikan mobil Esemka menjadi mobil dinasnya saat menjadi wali kota Solo. Hanya ada dua kemungkinan saat itu, dia diolok-olok, diejek, dihina. Tetapi Jokowi berani mengamil resiko. Terbukti justru mobil Esemka itulah yang membuatnya terkenal. Lalu ia ambil resiko selanjutnya meninggalkan Solo untuk bertarung melawan Fauzi Bowo merebut kursi Gubernur DKI Jakarta. Dan ia berhasil menjadi Gubernur. Resiko berikutnya, Jokowi ambil resiko berpasangan dengan Kalla yang tidak ada partai melawan keroyokan partai pendukung Prabowo merebut kursi RI-1. Dan ia menang.
Selama setahun pertama pemerintahannya Jokowi tetap akrab dengan resiko. Ia berani ambil resiko mengeluarkan SK kepengurusan Golkar kepada Agung Laksono dan Romahumuzy, membatalkan Budi Gunawan menjadi Kapolri, mengeluarkan perintah menenggelamkan kapal-kapal ikan negara tetangga. Jokowi juga berani ambil resiko membubarkan Petral, membekukan PSSI, melawan mafia minyak seperti Reza Chalid dan pencatut namanya Setya Novanto dan melawan Freeport. Dan Jokowi keluar sebagai pemenang.