Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Kobarkan Spirit Gajah Mada, Timbulkan Pertentangan dan Misi Lari Cepat 2016

30 Desember 2015   08:27 Diperbarui: 30 Desember 2015   08:39 2644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Presiden Jokowi, Presiden Pekerja. Illustrasi gambar dari nyapnyap.com"][/caption]

Gajah Mada mempunyai sumpah ‘Palapa’. Jokowi mempunyai sumpah jabatan, sama dengan jutaan pejabat lain di negeri ini. Bedanya, Gajah Mada bersumpah sendiri: “Tidak akan makan buah Palapa sebelum negeri ini bersatu”. Sedangkan Jokowi dan jutaan pejabat lain itu, bukan bersumpah, tetapi disumpah oleh orang lain. Nah di sini spirit sumpah itu berbeda.

Sumpah Palapa Gajah Mada, lahir dari dirinya sendiri, dari hati nuraninya. Sumpah itu lahir secara luar biasa dari kesadaran batinnya. Tak ada orang yang menyumpah Gajah Mada. Gajah Mada sendirilah yang menyumpah dirinya. Karena sumpah itu lahir dari dalam diri, maka Gajah Mada mewujudkan sumpahnya itu sampai batas akhir kemampuannya. Dan ia berhasil gemilang. Kerajaan Nusantara berhasil disatukan oleh Gajah Mada di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Lalu bagaimana sumpah jutaan pejabat kita di negeri ini?

Para pejabat di negeri ini jelas bukan bersumpah tetapi disumpah oleh teks sumpah yang telah dibakukan. Seremonialnya dilakukan dengan sakral: Ada Kitab Suci dan pemimpin agama si pejabat. Selanjutnya? Sumpah itu dilupakan dan dicampakkan. Ia dianggap tak mempan, tidak berefek apa sekaligus tidak menakutkan. Hasilnya? Para pejabat semacam Setya Novanto, RJ Lino, Gatot Pujo Nugroho, Jero Wacik, Surya Dharma Ali, dan seterusnya dengan cepat melupakan sumpahnya dan korup. Lalu bagaimana dengan Jokowi?

Benar, Jokowi telah disumpah atas mandat rakyat dan jabatan yang diembannya. Tetapi Jokowi me-reinkarnasi dan meleburkan dirinya dalam sumpah itu. Jokowi mendaur ulang sumpah itu di dalam dirinya. Hasilnya, sumpah itu lahir kembali dari diri Jokowi dengan spirit, roh baru. Lalu terlihat bahwa Jokowi bukan lagi disumpah, tetapi ia menyumpah dirinya. Jokowi bersumpah bahwa ia tidak akan bersenang-senang, duduk manis di istana menunggu laporan dari bawahan sebelum negeri ini makmur dan setara dengan Singapura, Korea Selatan dan Jepang.

Demi mewujudkan sumpahnya, Jokowi membuat ‘aturan sangat keras’ bagi keluarganya. “ “Kepada isteriku dan anak-anakku, jangan pernah sekali-kali menggunakan nama saya demi kepentingan pribadi kalian”. Hasilnya, putri Jokowi, Kahiyang Ayu, gagal lolos menjadi PNS Solo karena tidak lewat test. Putranya, Gibran, sama sekali alergi menyebut ayahnya Jokowi, presiden. Itu bukti aturan keras Jokowi. Hal sangat kontras dengan anak-anak pejabat lain di negeri ini.

Setelah Jokowi ‘menjauhi’ keluarganya dari jabatannya dan menginternalisasi sumpahnya, Jokowi kemudian kobarkan spirit sumpah itu dengan meniru Gajah Mada. Ia membuat program jelas: ‘Membangun infrastruktur: jalan tol, jalan raya, rel kereta api, PLN 35 ribu MW, waduk, tol laut, kapal ternak, pelabuhan’. Lalu ia memberi motto programmya: ‘Kerja, kerja, kerja’ dan ‘blusukan’ masif.

Kebijakan politiknya jelas: hancurkan mafia PSSI, illegal fishing, logging, Petral, mafia impor daging sapi, ayam, beras, mafia barang bajakan, palsu dan ‘bereskan’ akar koruptor. Lalu ia mengimbanginya dengan blusukan dan politik meja makan. Ia melenggang jauh hingga pelosok area Suku Anak Dalam dan merangkum rakyat tanah Papua. Tahun lalu, Jokowi Natal di Papua, berlebaran di Aceh. Tahun ini lagi-lagi ia bernatalan di NTT dan bertahun baru di Papua. Di sela-sela kegiatannya, ia menyulap istana menjadi istana rakyat dan mengundang rakyatnya makan siang bersama ala kadarnya.

Jokowi Menimbulkan ‘Pertentangan’

Jika Nabi Isa datang bukan membawa damai, tetapi membawa pertentangan, karena memisahkan orang yang percaya dengan yang tidak percaya, hal yang sama juga terjadi dalam diri Jokowi. Jika dalam membangun bangsa kita mengutamakan ‘damai’ seperti pelanggar lalulintas yang ‘damai’ dengan oknum Polantas, maka kita tidak pernah maju dan menjadi bangsa yang displin. Maka ketika Jokowi mulai menjejakkan kakinya di peta perpolitikan Indonesia, ia sudah menimbulkan beragam pertentangan.

Ketika Jokowi maju sebagai Capres di tahun 2004 lalu, rakyat Indonesia langsung terbelah. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Terjadi pertentangan luar biasa antara pendukung Pro-Jokowi dan Pro-Prabowo. Setelah Pilpres, pertentangan itu masih berlangsung di MK bahkan hingga saat ini. Munculnya Jokowi di kancah perpolitikan Indonesia terus dan akan terus membawa pertentangan. Namun Jokowi tidak pernah takut akan pertentangan itu. Baginya, hal itu adalah riak-riak yang justru dibutuhkan untuk memacu spiritnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun