[caption caption="Presiden Jokowi, pemimpin yang berkharisma. Ilustrasi dari twitphoria.com"][/caption]
Tidak sulit menggambarkan karakter Jokowi. Ia adalah orang lurus, tegas, polos, jujur, pekerja keras, sederhana dan merakyat. Dari karakter itu muncul daya magis luar biasa, yakni kharisma yang menakhlukkan kawan maupun lawannya. Itu adalah karunia Tuhan dan tak ada yang bisa melawannya.
Sudah banyak korban dari kharisma Jokowi itu. Amin Rais terpaksa mengkhianati janjinya: “Jalan kaki dari Jogyakarta-Jakarta bolak-balik bila Jokowi menang jadi presiden”. Musikus Ahmad Dhani terpaksa menanggung malu karena dia pernah berkata: “Saya akan potong kemaluan saya kalau Jokowi bisa menang dari Prabowo Subianto!! Itu sumpah saya”.
Luhut Sitompul terpaksa menelan kembali ludahnya: “Siapa Jokowi? Anak kos, anak numpang, kok nyapres? Jika Jokowi Capres, Indonesia tunggu kehancuran”. Lalu beberapa bulan kemudian, Luhut bertobat dan mengatakan bahwa Jokowi tak bisa dihalangi menjadi Presiden, dia dikehendaki Tuhan.
Mungkin perkataan Jusuf Kalla: “Kalau Jokowi Presiden, bisa hancur negara ini”, masih terngiang-ngiang di telinga publik. Nyatanya, Jusuf Kalla tak kuasa menolak daya magis Jokowi ketika dia dijadikan sebagai Wapresnya Jokowi. Bersama Jokowi, Kalla kemudian terlihat ‘mati kutu’ dan tak bisa kembali melakoni perannya sebagai ‘the real president’ saat menjadi wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kejujuran Jokowi telah membuat Setya Novanto lengser dari posisinya, Ketua DPR. Rekannya Muhammad Reza Chalid yang selama ini disebut mafia yang tak tersentuh, terpaksa kabur dan bersembunyi ke luar negeri. Sepenggal kalimat yang berdaya magis Jokowi: “MKD hendaknya memperhatikan keinginan publik”, telah menghentak dan membuat 17 hakim MKD terpaksa mengakui bahwa Setya Novanto bersalah dan melanggar kode etik.
Daya magis Jokowi itu juga telah mengorbitkan Fadli Zon dan Fahri Hamzah sebagai bahan tertawaan publik. Publik semakin tertawa melihat berbagai argumen Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang terus melawan Jokowi. Bahkan Fahri Hamzah mungkin akan dilengserkan oleh partainya sendiri dari kursi wakil pimpinan DPR karena beberapa kali melakukan blunder. Ia pernah mengatakan bahwa Jokowi ‘sinting’, pemerintahan Jokowi lemah dan bodoh dan terakhir memecat hakim MKD dari Nasdem secara panik demi membela Novanto. Lalu bagaimana dengan Golkar?
Dalam sejarahnya, Golkar tidak pernah pecah. Namun akibat daya magis Jokowi, Aburizal Bakri yang mencoba melawan Jokowi, menerima karmanya. Golkar miliknya digerogoti dari kalangan internal, Agung Laksono, yang lebih memihak Jokowi. Hingga Pilkada 9 Desember lalu, Golkar menjadi partai gurem, calon yang diusungnya banyak yang gagal. Sepertinya penempatan Setya Novanto menjadi pimpinan komisi III DPR, adalah langkah bunuh diri terakhir partai Golkar. Mungkin hanya satu yang bisa menunda harakiri (bunuh diri) itu yakni munas bersama.
Pun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami nasib yang sama. Surya Dharma Ali yang ngotot melawan Jokowi menjadi pecah dan digerogoti oleh PPP pimpinan Romahurmuziy yang lebih memihak Jokowi. Sekarang perseteruan Romi vs Djan Faridz terus berlangsung dan tidak ada ujungnya. PPP yang mengklaim partai agamis, tak luput juga memperebutkan hal duniawi.
Hal yang sama juga dialami oleh Partai Amanat Nasional. Hatta Rajasa takhluk pada kharisma Jokowi. Ia tidak lagi terpilih menakhodai PAN tetapi terpaksa menyerahkannya kepada Zulkifi Hasan yang lebih berpihak kepada Jokowi. PAN juga telah berbalik badan dari KMP dan sekarang menjadi pendukung pemerintahan Jokowi.
Daya magis Jokowi membuat PKS yang sudah lelah menghina Jokowi terpaksa balik badan. Segala daya upaya yang telah dikerahkan untuk menjegal Jokowi, semuanya gagal. Di KMP, PKS tidak lagi berharap banyak. Apalagi Capres yang mereka banggakan Prabowo, telah takhluk pada kharisma Jokowi. Prabowo sekarang sedang tiarap dan enggan merongrong pemerintahan Jokowi. Harapan mereka yang ditaruh kepada Aburizal untuk terus melakukan perlawanan kepada Jokowi, nyatanya semakin meredup.