Gonjang-ganjing politik di tanah air memasuki akhir tahun 2015 ini luar biasa. Namun hal itu tidak membuat Jokowi ikut terombang-ambing. Sebaliknya Jokowi tetap berpendirian teguh, tak bisa ditakhlukkan, keras kepala dan bertindak sebagai seorang presiden sejati. Dia tidak mau tunduk kepada Parlemen termasuk kepada Ketua DPR dan juga kepada partai pengusungnya, PDIP.
Keras kepalanya Jokowi terlihat pada desakan PDIP agar Jokowi memecat Rini. Â Jokowi sama sekali tidak merespon permintaan PDIP untuk memecat Rini. Akibatnya PDIP menempuh jalan lain, yakni lewat Pansus. Lewat Pansus Pelindo II yang telah berakhir, PDIP melancarkan tekanan hebat kepada Presiden Jokowi. Tanpa berbasa-basi, Pansus yang dikomandoi PDIP, Oneng, merekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk mencopot Menteri BUMN, Rini Soemarno dan Direktur Pelindo II, RJ Lino, yang kini telah menjadi tersangka KPK. Alasannya, Rini bersengkokol dengan RJ Lino melanggar konstitusi dan dan perundang-undanganan terkait pengelolaan perusahaan negara Pelindo II. Oneng mengancam jika Jokowi tidak mem-follow-up rekomendasi Pansus, maka DPR akan menggunakan hak angket dan selanjutnya hak menyatakan pendapat. Hebat.
Menghadapi rekomendasi berbau politis itu, tentu saja tidak direspon cepat oleh Presiden Jokowi. Jokowi paham betul bahwa mencopot seorang menteri adalah hak prerogatifnya sebagai seorang Presiden. Jokowi juga tahu bahwa tidak cukup alasan mencopot Rini Soemarno yang berkinerja baik dari posisinya sebagai Menteri BUMN. Pun Jokowi paham betul bahwa PDIP menjadi partai terdepan yang sangat bernafsu memburu posisi Menteri BUMN. Jokowi juga sadar, jika PDIP memegang BUMN, maka tak dibayangkan apa yang terjadi.
Bagi PDIP, menempatkan kadernya sebagai orang nomor satu di Kementerian BUMN, sangat penting dan lebih penting dari posisi ketua DPR sekalipun. Kementerian BUMN dan ESDM adalah lahan sangat basah, sangat lezat dan sebagai tempat yang sangat ideal untuk meraup pendanaan partai baik yang resmi maupun tak resmi. Impian PDIP yang akan memenangkan Pemilu 2019 di atas 30% membutuhkan dana yang luar biasa triliunan Rupiah.
Tentu saja posisi nomor satu di Kementerian BUMN yang sangat basah, menjadi incaran PDIP sejak lama namun gagal. Ketika Rini menjadi orang nomor satu di BUMN, PDIP mencoba mendikte dan mengendalikannya. Namun kenyataannya Rini mbalelo dan tidak mau tunduk kepada maunya PDIP. Hal yang terjadi kemudian adalah Kalla berhasil mendekati Rini. Rini terlihat semakin mesra dengan Kalla. Jelas, hal itu membuat PDIP marah dan berusaha menjegal Rini.
Usaha PDIP untuk melengserkan Rini Soemarno tak tanggung-tanggung. Mereka membentuk Pansus Pelindo II hanya demi menembak Rini Soemarno. Terbukti hasil rekomendasi utama Pansus itu adalah meminta Jokowi memecat Rini Soemarno dari kursi Menteri BUMN. Jika Jokowi tidak memecat Rini, maka PDIP mengancam akan semakin keras dan keras menekan Presiden Jokowi lewat parlemen.
Nafsu besar PDIP juga tidak berhenti pada Rini Soemarni. Mereka juga sangat bernafsu mendepak Menteri ESDM, Sudirman Said dari posisinya. Caranya, mereka akan kongkanglikong dengan para anggota DPR bersama KMP untuk kembali membentuk Pansus Freeport dengan tujuan mendepak Sudirman Said dari posisinya Menteri ESDM. Luar biasa.
Politik memang busuk, licik dan penuh dusta. Teka-teki PDIP yang sama sekali tidak memburu posisi Ketua DPR pasca Setya Novanto lengser, akhirnya tercium. Padahal, kalau PDIP mau, dia bersama lima partai lainnya yang sekarang sudah mayoritas di DPR, tinggal merevisi UU MD3 dan dengan mudahnya menempatkan Puan Maharani sebagai Ketua DPR di Senayan untuk mengurangi kegaduhan. Namun PDIP tidak melakukannya. Mengapa?
Jelas PDIP telah melakukan deal-deal dengan Golkar untuk  (1) bersama-sama mengganti semua ketua dan wakil pimpinan KPK dengan wajah-wajah baru, (2) merevisi UU KPK pada tahun 2016 mendatang dan bersama-sama menekan Presiden Jokowi agar menyetujui revisi itu. Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa Megawati yang diduga terlibat pada pemutihan dana BLBI mega triliun itu akan aman.
Deal PDIP bersama Golkar selanjutnya adalah meminta dukungan penuh Golkar terkait Pansus Pelindo II (sudah dilaksanakan) dan pembentukan Pansus Freeport dengan tujuan bukan lagi hanya menembak Sudirman Said, tetapi juga menembak Jusuf Kalla. Sebagai imbalannya, PDIP membiarkan Golkar tetap memegang posisi ketua DPR.
Retaknya hubungan PDIP dengan Wapres Jusuf Kalla, apalagi kalau bukan perebutan kekuasaan. Kelihaian Jusuf Kalla memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan bisnis keluarganya telah menyadarkan PDIP akan permainan maut Jusuf Kalla. Jelas, kokohnya Rini Soemarni, RJ Lino dan Sudirman Said dari posisinya mereka yang sangat strategis, karena tidak lepas dari dukungan Jusuf Kalla. Jusuf Kallalah yang lebih diuntungkan dalam memegang lahan basah di Kementerian strategis ketimbang PDIP. Padahal, saat dipasangkan dengan Jokowi oleh PDIP sebelumnya, Kalla telah berjanji bahwa dia hanya semata-mata untuk mengabdi negara karena dia sudah mulai tua.
Ngototnya Jusuf Kalla membela Rini, RJ Lino dan Sudirman Said, tidak lepas dari kepentingan pribadinya. Proyek listrik 35 ribu MW, adalah salah satu contohnya. Kendatipun proyek itu sangat ambisius dan terlihat hanya mimpi oleh Rizal Ramli, namun Kalla ngotot membela proyek itu. Jelas, Kalla amat berkepentingan atas proyek itu. Demikian juga terkait dengan kasus RJ Lino, Kalla sangat berkepentingan di Pelindo II. Maka tak heran saat Kabareskrim menggeledah kantor RJ Lino, Kalla ikut berteriak dan gencar menelepon Budi Waseso. Kalla juga diketahui ikut berkontribusi atas lengsernya Budi Waseso dari posisinya sebagai Kabareskrim Polri.
Segala usaha PDIP untuk menghadang Kalla agar tidak membela Rini dan Sudirman lewat tekanan kepada Presiden Jokowi tidak cukup berhasil. Jokowi sama sekali tidak mengikuti maunya PDIP. Jokowi lebih mementingkan profesionalisme. Kendati Rini dekat Kalla, namun Jokowi juga melihat bahwa Rini telah bekerja sesuai dengan azas profesionalisme. Â Itulah sebabnya PDIP menggunakan Parlemen untuk menekan Presiden Jokowi. PDIP-lah yang lebih gencar dalam pembentukan Pansus Pelindo II. Terkait pembentukan Pansus Freeport, PDIP juga tidak kalah garangnya.Â
Maka sebelum terbentuknya Pansus Freeport, PDIP telah mulai melancarkan serangan-serangan frontal kepada Jusuf Kalla. Elit PDIP, Masinton Pasaribu sudah mulai menyerang Kalla dengan menyebutnya sebagai sumber kegaduhan selama ini. Menurut Masinton, dibalik semua kegaduhan yang terjadi baik di eksekutif maupun di legislatif, biangnya adalah Jusuf Kalla. Karena itu Kalla diminta mundur dari jabatannya sebagai Wapres. Desakan itu semakin nyaring setelah diketahui dan diakui sendiri oleh Kalla  bahwa dua orang dari keluarganya pernah bertemu dengan Bos Freeport, Jim Bob, bulan Juni lalu.
Perkembangan terakhir politik baik di eksekutif maupun di legislatif telah menempatkan Kalla dalam posisi terpojok. Pasca KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka, posisi Menteri Rini Soemarno sekaligus Jusuf Kalla ikut tersudut. Terkait Freeport, pasca lengsernya Setya Novanto, maka posisi Jusuf Kalla dan Sudirman Said juga ikut menjadi sasaran balasan. Golkar Aburizal dan partai KMP lain telah merancang strategi untuk membalas Sudirman Said.
Jika Jokowi melunak dengan mencopot Rini dan Sudirman Said, maka bisa jadi Pansus Pelindo II Â tidak akan berlanjut menjadi hak angket. Demikian juga pembentukan Pansus Freeport akan berhenti digaungkan. Namun jika Jokowi gagal ditekan oleh PDIP untuk mencopot Rini dan Sudirman, maka PDIP akan melancarkan serangan dengan menggunakan hak angket dan membentuk Pansus Freeport. Sasarannya adalah Sudirman Said, Â sekaligus Jusuf Kalla. Jika demikian, maka politik semakin gaduh dan hingar-bingar.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H