Saya bertanya-tanya dalam hati mengapa pengemudi Mitsubhisi Oultlander maut yang menewaskan 4 orang hanya dihukum oleh hakim 2 tahun percobaan? Bukankah seharusnya Christopher harus dijerat dengan pasal berlapis?
Faktanya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/08/2015) telah memvonis Christopher Daniel Sjarief (23), 2 tahun percobaan. Selama dua tahun Christopher tidak boleh terlibat tindak pidana apapun jika tidak ingin dipenjara selama 18 bulan.
Menurut pertimbangan hakim, dari bukti yang terungkap selama proses persidangan, terdakwa terbukti hanya melakukan pelanggaran lalu lintas yang tidak memberikan contoh bagi pengendara lain di jalan raya. Hanya itu saja. Hakim tidak mengindahkan adanya korban tewas, pada saat kejadian terdakwa dalam kondisi mabuk karena meminum minuman keras dan sekaligus mengaku telah mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
Pertimbangan hakim yang hanya melakukan pelanggaran lalu lintas, jelas membuat publik bertanya-tanya, ada apa sebenarnya di balik keputusan hakim yang memberikan hukuman dianggap sangat ringan kepada Christopher? Bila dibanding dengan putusan hakim kepada Afriyani Susanti yang kasusnya sangat mirip, putusan terhadap Christopher bisa dikatakan tidak lazim bagi dunia peradilan.
Pada awalnya bila dilihat kronologis kejadian, penyelidikan polisi mengarah kepada Pasal 311 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang hukuman maksimalnya mencapai 15 tahun dan hukuman minimal 12 tahun penjara. Berdasarkan pelanggaran yang telah dilakukan, polisi mengindikasikan Christopher kena jerat pasal tersebut di atas.
Akan tetapi kemudian pihak kepolisian merubah statementnya seraya mengatakan bahwa Christopher hanya melanggar pasal kelalaian dalam mengemudi yang hukumannya tidak lebih dari tahanan kota. Kemudian yang lebih mengejutkan lagi Christopher dinyatakan bebas dari sangkaan mengonsumsi barang terlarang. Sontak publik pun kaget. Pasalnya, sebelum hasil penyelidikan diumumkan, berdasarkan kesaksian media yang merekam saat diinterogasi oleh polisi,  Christopher secara polos mengakui mengonsumsi barang terlarang. Pada saat itu pun Polisi membenarkannya.
Hukuman ringan yang diterapkan kepada Christopher, mengingatkan publik pada hukuman terhadap kasus yang menimpa anak musisi Ahmad Dani, Abdul Quodir Jalenai (AQJ). Kasusnya mirip dan vonisnya hampir sama. AQJ dinyatakan yang bebas dan hanya meminta maaf, memberi santunan kepada pihak keluarga korban dan menyesali perbuatannya.
Publik juga ingat vonis kepada Afriani yang dipenjara selama 15 tahun. Jelas dalam kasus Christopher dan AQJ ada vonis yang tidak lazim dan ada upaya penyelamatan dari pihak tertentu, untuk tidak dikenakan pasal hukuman penjara.
Hukum yang dikuasai oleh kaum Borjuis
Kaum borjuis adalah sebuah kelas sosial dari orang-orang yang dicirikan oleh kepemilikan modal dan kelakuan yang terkait dengan kepemilikan tersebut. Mereka adalah bagian dari kelas menengah atau kelas pedagang dan mendapatkan kekuatan ekonomi dan sosial dari pekerjaan, pendidikan dan kekayaan. Bagi kaum borjuis, hukum bisa diperjual-belikan seturut keinginan mereka.
Bila dilihat hukum yang diterapkan dalam kasus putusan Christoper, jelas bahwa hukum di Indonesia telah dikuasai oleh kaum borjuis. Hukum hanya tajam kepada orang miskin tetapi tumpul kepada orang kaya atau berkuasa. Bagi orang seperti Afriyani Susanti yang kebetulan tidak punya duit, hukum sepertinya benar-benar diterapkan. Seperti yang kita ketahui, pada 2012 lalu kecelakaan yang mirip dilakukan Christoper, dilakukan Afriani Susanti, yang mengendarai mobil Daihatsu Xenia menabrak sejumlah pejalan kaki di Jalan M Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu 22 Januari 2012. Kecelakaan tersebut merenggut 9 orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka.
Afriani, selain dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena melanggar pasal undang-undang pidana yang terbukti bersalah melakukan dengan mengemudikan kendaraan dengan cara atau dalam keadaan yang membahayakan nyawa orang lain, juga dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat selama 4 tahun penjara karena terbukti mengonsumsi narkoba golongan I sebelum kecelakaan terjadi.
Pada saat itu Afriyani menabrak korban setelah kendaraannya keluar jalur dari jalan raya yang memungkinkan bisa diakibatkan oleh adanya kerusakan teknis pada mobil yang dikemudikannya. Artinya, jika pada saat itu penasehat hukumnya jeli dan teliti dalam proses reka ulang, bisa saja yang menimpa Afriyani adalah murni kecelakaan. Tapi karena ketika itu opini publik sangat memengaruhi proses penyidikan, maka mau tidak mau Afriyani pun tidak bisa berbuat banyak sampai tiba pada keputusan hakim yang sangat berat. Â Â
Christopher, pelaku tabrakan beruntun di Jalan Sultan Iskandar Muda, Kebayoran pada 20 Januari 2015 lalu, dengan sengaja mengemudi dengan kecepatan tinggi di tengah keramaian padatnya lalu lintas. Ia kemudian menabrak dan menewaskan empat pengemudi sepeda motor, antara lain Mustopa, Mayudin Herman, Wisnu Anggoro, dan seorang polisi bernama Batang Onang.
Saat menabrak, Christopher tidak sendiri di dalam mobil, ada rekannya yang kebetulan anak dari seorang pengusaha yang sangat dekat dengan petinggi kepolisian dan pernah menjadi saksi kasus korupsi pengadaan alat kesahatan pada era Presiden Soesilo Bambang Yudoyono. Teka teki siapa orang tua Christoper sendiri hingga kini masih hangat dibicarakan publik. Tidak sedikit pihak yang mengatakan bahwa ringannya pengenaan pasal pidana polisi terhadap Christopher karena pengaruh kuat orang tuanya. Ya begitulah, hukum. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Keputusan hakim yang hanya menghukum Christopher 2 tahun masa percobaan terasa melukai rasa keadilan. Ada yang aneh dalam keputusan itu. Apalagi karena adanya kelalaian dalam berkendaraan karena dipengaruhi oleh obat-obatan. Mengingat kelakuan pengendara Indonesia yang sangat buruk, maka memang sepatutnya sanksi hukum diperberat.
Â
Salam Kompasiana!
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H