Oleh : Nur Septiani
      Sebuah bingkai segi empat berukuran 12 x 18 cm itu terlihat cantik menghiasi foto keluarga kecil bahagia. Aku, ayah, ibu dan Kahill, kakak laki-lakiku. Foto berlatar rumah bernuansa Eropa, terlihat asri dan nyaman. Ibu bilang, itu adalah rumah kami yang dulu saat keluarga ini masih lengkap. Di pojok kanannya terlihat goresan bertinta hitam dengan tulisan London, 2 Januari 2009. Namun, kebahagiaan itu tidak bisa lagi kurasakan sekarang. Kehidupanku tidak lagi lengkap tanpa ayah dan kakak. Di usiaku yang menginjak 17 tahun, aku harus kehilangan mereka. Ayah meninggal saat aku berusia sepuluh tahun. Tak lama setelah kejadian itu, Kak Kahlil bertolak ke London tanpa meninggalkan alasan apapun. Kepergian keduanya belum kuketahui dengan jelas hingga saat ini. Ibu pun tak pernah membahasnya denganku.
      "Bu, aku izin kuliah di London, yah?" Ini adalah kalimat yang tepat untuk meminta izin ke Ibu. Aku perlu mencari tahu tentang Kak Kahill. Selain itu, Aku memang berencana akan berkuliah di London dengan mengambil jurusan hukum. Sesuai hasil risetku, London lah salah satu kampus terbaik untuk jurusan hukum. Aku bercita-cita menjadi seorang hakim yang transparan dan adil pada semua kasus, karena apa yang terjadi pada ayahku tak akan kubiarkan terjadi lagi.
      "Bagaimana bisa orang itu menabrak Ayahku hingga meninggal lalu lari begitu saja tanpa mempertanggunjawabkan semuanya? Sadis sekali. Ingin rasanya Aku mengoyak-ngoyak orang itu hingga habis." batinku.
      Ibu yang saat itu bersamaku di depan televisi terdiam
 Tidak seperti biasanya, ibu menatapku dengan tajam dan wajahnya seketika memerah.
      "Boleh, Bu?" Sekali lagi Aku bertanya kepada ibu. Sama saja, Ia tak merespon. Ibu langsung beranjak dari duduknya lalu berjalan membelakangiku.
      "Ibu tidak ingin sendirian. Ibu telah kehilangan Ayah, lalu ditinggal oleh Kahill si brengsek itu. Ibu tidak mau kamu seperti dia."  ujar Ibu samar-samar. Tubuhnya telah lenyap di balik pintu toilet. Kerut di keningku tak bisa lagi disembunyikan. Mengapa Ibu mengatakan Kak Kahlil adalah si brengsek?
      Pakaian ibu sedikit basah saat keluar dari toilet. Tangannya terus meremas-remas bajunya sambil berjalan menuju dapur lalu kulihat Ia meneguk dua pil kuning. Dari jauh kupandangi ibu yang sekarang sedang melamun. Aku selalu kasihan melihatnya saat harus mengkonsumsi obat-obatan sebanyak itu. Jika perasaannya tak bisa lagi terkendali, dua bahkan lebih banyak pil yang Ia masukkan dalam tubuhnya.
      Sejak remaja, ibu terkena agitasi, yaitu perasaan gelisah, jengkel, dan marah yang umumnya bisa membuat orang mondar-mandir atau meremas-remas tangan tanpa henti. Dokter bilang itu adalah hal yang normal, tetapi semakin lama hal itu bisa menjadi gangguan mental dan berbahaya buat diri sendiri, juga orang lain. Apalagi sejak kepergian ayah dan Kak Kahlil,  ibu selalu terlihat tidak karuan. Emosinya selalu berubah-ubah. Itulah mengapa Aku selalu berhati-hati saat berbicara dengannya.