Oleh: Askar Fadhilah
Aku berusaha menyibukkan diri dengan keramaian. Menulis berlembar-lembar puisi, tentang bisingnya kendaraan, hiruk pikuk perkotaan hingga hujan yang akan turun senja hari ini. Tentang apapun, asal bukan tentangmu. Tapi pada akhirnya keramaian adalah pembunuh bagiku, bukan karena aku takut berada di tengah-tengah mereka. Hanya saja aku masih suka mengenangmu dalam sendiri. Pada akhirnya aku kalah. Aku menyerah pada rinduku, aku ingkar untuk tidak mengingatmu lagi.
Aku masih ingin merindukanmu sekali lagi. Untuk semua hal-hal kecil yang membawaku terus kembali padamu. Aku masih ingin mencintaimu sekali lagi. Meski dengan tertatih, karena kembali padamu satu-satunya yang membuatku pulih kembali.
"Hakikat tertinggi dari mencintai adalah melepaskan"
Aku kira kalimat itu hanya ada di novel, tapi akhirnya aku harus berakhir dikalimat itu. Aku terlalu pecundang untuk memperjuangkanmu kembali. Karena sekuat hati aku mempertahankanmu, perpisahan selalu jadi bagian akhir dari cerita kita.
Pada perpisahan kali ini, bukan berarti aku berhenti menyayangimu. Bukan berarti aku berharap cerita kita selesai dan bukannya aku menyerah dengan kata kita. Lagi pula saat kita memutuskan berpisah, sebenarnya tidak ada yang pernah benar-benar selesai.
Apalagi yang menyangkut dengan kamu. Seseorang yang menyisakkan ruang kosong dihatiku sejauh manapun kamu pergi. Satu-satunya yang kutakutkan dari perpisahan ini hanyalah memberi ruang orang lain untuk mendekatimu.
Tapi satu yang bisa kuyakini ialah sesuatu yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku. Maka pada paragraf ini aku mengikhlaskanmu, sampai jumpa di titik temu terbaik menurut takdir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H