Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kuda Perang, Gagak, dan Paus

7 September 2020   14:51 Diperbarui: 7 September 2020   15:06 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Sauki Nursyam

Subuh itu terdengar suara derap kaki kuda dari kejauhan, debu-debu yang beterbangan mengisyaratkan betapa kencang dan bertenaganya kuda-kuda yang sedang berlari tersebut, saat mendekat, amat jelas terdengar dengusan dari hidungnya, suara dengusan yang tak kalah keras dari derap langkahnya.

Tak bisa disangkal lagi, kuda-kuda tersebut pasti sejenis kuda perang, atau setidaknya bekas kuda yang pernah digunakan untuk berperang. Pertemuan ladam-ladam di kukunya dengan batu kerikil mengakibatkan percikan api, mempertegas kekuatannya, tak bisa dibayangkan, betapa ganas dan beringasnya seekor kuda di kala berperang, menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh, tentu akan menciutkan nyali, jauh sebelum mereka benar-benar berperang.

Setelah kuda tersebut berlalu, terlihat sesosok tubuh termenung, tubuh manusia, yang hina karena dicipta dari tanah, tapi ia tak mengakuinya, terbukti dari betapa jarangnya ia mencium asal mula kejadiannya sendiri di tempat sujud. Ia merasa berkuasa, seolah joki di punggung kuda.

Ia tak sadar, kedigdayan seekor kuda bukanlah perbandingan yang tepat jika disandingkan dengan keangkuhan dirinya, kuda punya semua kapasitas untuk disombongkan, sedangkan ia, makhluk tulang berbalut daging itu, adalah makhluk yang tak tahu terima kasih, kerap merasa inferior, sombong, takabbur dan semua istilah-istilah lain yang menggambarkan ketidaktahuan diri.

Bagaimana tidak, ketika dulu ia memulai perjalanan ini, ia tidak ada membawa sesuatu apapun, dan bahkan sampai mendekati tujuan perjalanannya, ia hanya akan menyisakan beberapa helai kain putih, entah  mengapa ia lupa diri, hinalah segala kelakukannya selama perjalanan itu, kerap menghamba harta tahta dan wanita, demi kecintaan terhadap materi.

Bahkan seringkali Ia melupakan bahwa apapun yang dimiliki akan dipertanggungjawabkan kelak, di hari semua isi dada dan pikiran manusia dibukakan oleh pemilik-Nya, tanpa terkecuali, pada hari itu juga terang benderanglah antara kebaikan dan keburukan, antara hak dan Bathil.

Di tempat lain, terdengar pertengkaran dua orang lelaki yang bersaudara, pertengkaran akibat dari perebutan mereka terhadap seorang wanita, kecemburuan sang kakak terhadap adik sebagai lelaki terpilih untuk menikahi perempuan yang mereka perebutkan, memantik sisi kejam sang kakak yang terdalam, sampai pada akhirnya sang adik terbunuh oleh kakaknya itu.

Sang adik sama sekali tidak melawan saat sang kakak hendak mengakhiri nyawanya. Tak lama kemudian, datanglah seekor gagak. Gagak tersebut membawa seekor gagak lain yang juga tak bernyawa, dengan paruhnya ia menggali-gali tanah, sampai tercipta sebuah lobang, dengan kakinya ia dorong gagak mati tadi, dan kemudian menimbunnya.

Melihat ini, mesti si kakak terhina, karena ia diajarkan oleh seekor binatang seperti gagak "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, dan menguburkan mayat saudaraku ini," katanya dengan penuh penyesalan, lalu jasad adiknya kemudian ia kuburkan.

Sementara itu, seorang lelaki, baru saja menaiki sebuah kapal, berstatus sebagai sorang pelarian ia meninggalkan desanya, desa yang dihuni masyarakat Nainawa, daerah di pinggiran sungai Tigris di Irak zaman dulu. Berlayar merupakan langkah pertama pelariannya dari olok-olokan sahabat dan masyarakat kampungnya sendiri.

Belum jauh ia berlayar, kapal yang sarat dengan muatan dan barang-barang bawaan penumpang itu mengalami masalah, hampir tenggelam, saking kelebihan muatan.

Satu-satunya cara untuk mengantisipasi hal itu adalah, harus ada penumpang yang dikurangi. Akhirnya nahkoda memutuskan untuk mengundi semua penumpang, untuk menentukan siapa yang akan dikurangi, nama terpilih harus suka rela turun dari kapal, meski apapun konsekuensinya.

Singkat cerita, nama lelaki itu terpilih, jadilah saat ini dia berada di pinggir geladak kapal, bersiap untuk terjun ke laut. Dengan pasrah ia akhirnya melompat, belum lama ia terapung, tiba-tiba datang seekor paus, paus besar dan tanpa basa-basi menelan lelaki itu.

Sang Paus itu heran, kenapa ia tidak berminat untuk menggigit tubuh lelaki itu, ia biarkan tubuh itu meluncur mulus ke dalam perutnya. Berhari-hari kemudian ia membawa lelaki itu dalam perutnya, tidak jarang ia merasakan dan mendengar si lekaki menangis dan berdoa.

Ia mendengar lelaki itu seolah mengakui sebuah kesalahan dan penyesalan, paus juga mendengar kalau lelaki itu pada akhirnya menyadari arti penting sebuah kemaafan dan pertaubatan, yang tergambar dari tangisan-tangisan dan ratapan penyesalannya.

Sampai suatu ketika, sang Paus mendengar lirih lelaki yang berada dalam perutnya itu bermunajat "Tiada Tuhan selain engkau ya Allah, segala puji bagi engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang telah menzalimi diri sendiri".

Tiba-tiba Paus itu merasa mual, dan tak mampu menahan untuk tidak memuntahkan isi perutnya. Maka tatkala melihat dari jauh hamparan bibir pantai, ia muntahkan lelaki itu dalam keadaan pingsan.

Terbangun, lelaki itu merasakan sakit disekujur tubuhnya, ia juga merasakan kepanasan akibat teriknya surya, saat menahan rasa panas itulah ia lihat sebuah pohon labu, tak jauh dari tempatnya terkapar, dengan merayap ia beranjak ke bawah tanaman pohon tersebut, untungnya daun-daun labu yang lebar bisa meneduhkan tubuhnya dari teriknya matahari, bahkan ia juga melihat buah-buah labu yang ranum, perlahan ia memakannya, dan dengan cepat segera memulihkan kelaparannya dengan buah labu tersebut.

Setelah benar-benar pulih, lelaki itu memutuskan untuk kembali pulang ke kampung halamannya, singkat cerita, saat sampai di kampungnya, sahabat dan masyarakat yang sebelum kepergiannya dahulu suka mengolok-olok dan menyakitinya, ternyata mereka menyambutnya dengan gembira.

Mereka amat menyesal telah membuat ia terhina sampai-sampai kabur dari sisi mereka, sungguh sebuah hadiah indah bagi kesabaran lelaki setelah dimakan oleh sang paus perkasa.

Kisah kuda perang, gagak, dan paus itu akhirnya mengajari kita, betapa manusia amat sangatlah lemah, tidak ada kuasa, kecuali atas izin Yang Maha Kuasa.

Bangkinang, 4 Sept 20

Disadur menjadi sebuah narasi dari Terjemahan Alquran Al-"Aadiyat 1-11, Al-Maidah 31, dan Ash Shaffat 139-145.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun