Oleh Royhan Ibnu Mubarok
Kebahagiaan merupakan impian dan harapan semua orang pada umumnya. Setiap kepala memiliki arti kebahagiaan masing-masing. Seorang yang sakit bahagia apabila sehat. Pak tua bergembira jika bisa kembali muda. Ahli maksiat sangat bahagia ketika bertaubat. Orang miskin senang menjadi kaya raya. Orang lemah bermimpi seandainya bisa berubah kuat. Rakyat jelata bahagia menjadi penguasa. Ini hanyalah perspektif kebahagian kebanyakan insan pada lazimnya. Padahal ini semua belum tentu benar.
Seorang yang sakit bersyukur dosa-dosanya diampuni dan terhapuskan. Dirinya lebih dekat dengan Sang Pencipta. Berubah menjadi pribadi yang sabar, tabah dan mensyukuri atas curahan nikmat. Pak tua menjadi sosok yang lebih bijaksana dan akalnya semakin sempurna seiring ia menjalani berbagai macam-macam pahit dan asin serta manisnya kehidupan.
Ketaatan kepada tuhan sangat dekat bagaikan urat nadi yang melekat di tangan. Hidupnya semakin tenang bercampur tentram. Orang susah hidup penuh canda dan tawa. Setiap hari berkumpul lengkap dengan keluarga. Berjiwa bebas dan sederhana. Orang lemah menjadikan kelemahan sebagai kekuatan paling mematikan.
Dari sinilah kita mengambil pelajaran bahwasanya taraf kebahagiaan manusia ditentukan oleh manusianya sendiri. Terkadang pola fikir kita salah kaprah dalam memahami kebahagian karena kebahagian hati yang merasakan. Biasanya kita terlalu mendengarkan fikiran orang lain ketika ingin menjalani hidup bahagia. Padahal kita sengsara menjalaninya. Langkah awal untuk melawan penyakit ini adalah jujur kepada diri kita sendiri.
Kejujuran dilatih oleh hati. Kalau kita tidak jujur sulit diperbaiki. Kejujuran hasil dari kejernihan hati yang ikhlas dan murni. Kebohongan hasil dari kegelapan hati yang pekat. Banyak dari beberapa orang yang tidak jujur dengan diri sendiri. Merasa bahagia bukan versi sendiri hanya mengikuti tren masa kini. Entah itu pemikiran, gaya hidup, pakaian, sikap dan perilaku. Ketidakjujuran inilah penyakit kronis di dalam diri kita.
Saat ini era semakin mudah dalam melakukan segala hal karena dibantu oleh teknologi canggih. Kebaikan mudah dilakukan begitu pula kejahatan. Sebagian orang bahagia dalam kebaikan sebaliknya juga sebagian orang bahagia dalam kejahatan. Semuanya dinikmati dan memberikan dampak positif mau pun negatif bagi lingkungan sekitar apalagi diri sendiri. Sekarang karena anggapan kebebasan adalah kebahagiaan sehingga tidak memikirkan batasan. Sedangkan kebebasan seseorang hakikatnya terbatas oleh orang lain.
Seorang pemarah memaki di tempat umum merasa bebas sampai mengganggu kenyamanan orang lain. Kaum hawa berpakaian bebas kurang bahan menimbulkan pelecehan melalui lisan dan tindakan negatif. Kalangan atas bebas menindas timbullah pertikaian, perselisihan dan kerusuhan. Kebebasan tanpa batasan melahirkan rasa egois dan arnakis. Mencari kebahagiaan dengan kebebasan tanpa batas menghasilkan kesengsaraan.
Bahagia dicari tidak akan pernah ditemukan di belahan dunia mana pun karena sebenarnya bahagia terdapat di dalam kita sendiri. Tak perlu mengelilingi dunia untuk menghapus duka lara. Mengembara menuju tujuh keajaiban dunia. Piramida di Afrika. Taj mahal di India. Tembok besar di Cina. Menara Pisa di Italia. Kuil Angkor di Kamboja. Menara Eiffel di Eropa. Candi Borobudur di Indonesia. Hakikatnya keajaiban dunia terdapat didalam diri kita sendiri. Bisa melihat. Bisa mendengar. Bisa menyentuh. Bisa disayangi. Bisa merasakan. Bisa tertawa. Bisa mencintai.
Untuk itulah pentingnya memahami diri kita sendiri dalam menjalani hidup karena bahagia ada di dalam diri kita sendiri. Jangan sampai kita terpengaruh oleh sesuatu yang fana dan sementara hanya menimbulkan penyesalan tiada tara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H