Aisyna Muftiroh " Alan Aksara..." absen bu Naira, baru saja Aksa mau angkat bicara, Kenan sudah mendahuluinya.
" Namanya berubah bu..." semuanya tampak bingung, tak terkecuali bu Naira
" Jadi ALIN aksara..." pernyataanya sukses mengundang kericuhan kelas, sementara Aksa sendiri memukul keras lengan Kenan, tak perduli dengan ringisan Kenan. Harusnya ini terdengar biasa-biasa saja, tapi tidak bagi Leya, rasanya ada yang remuk tanpa disengaja, ia pura-pura menanggapinya dengan tertawa meski ia tahu hatinya sedang tidak bisa diajak untuk bekerja sama.
  " Leya...coklat buat lo..."
  " See you Leya..."
Leya termangu dikasurnya, ada banyak rentetan kisah yang terus terngiang di kepalanya, entah itu tentang dirinya dan Aksa, atau tentang Aksa dan Alin. Sakit sudah menjadi virus dalam dirinya, hatinya seakan teriris ketika melihat Aksa dan Alin tertawa bersama di bawah hujan sore itu, saling mencipratkan air, rinainya seakan tenang, memberikan kehangatan bagi mereka.
" Aku bingung Sa...sebenarnya siapa yang kamu suka, Aku??? apa Alina???, perlakuan kamu ke kita sama Sa..." pertanyaan itu sejak tadi menjadi beban dalam pikiran Leya.
Senja sudah menenggelamkan hampir separuh jingganya, kini yang merebak hanyalah remang, sepersekian detik dari sekarang gelap akan menyapu cerahnya, Leya menatap kaku dari balik jendela kamarnya, sorot matanya menampakkan kesedihan, ia hanya mampu berbisik pada angin, mengapa begitu mudahnya senja meninggalkannya, terlalu singkat ia menghadirkan segala keindahannya, hingga Leya lupa untuk menyuguhkan bahagia.Â
Dadanya serasa perih jika harus mengingat kenyataan itu, ia berharap ada cerita tentang tawa disetiap pijakan waktu, namun semua itu hanyalah sebatas ilusi, ia tidak akan bisa memintanya untuk kembali, jika saja ia menyadari sejak awal perasaan ini, ia tidak akan pernah menaruh luka dengan sebuah penolakan walau hanya sebatas titik, dan ketika Aksa sudah mulai membuka hati kepada orang lain, harusnya ia tidak berambisi untuk merebutnya, tapi sikap Aksa yang masih sama, membuat ia bertahan dalam egonya.Â
Dan rasa bersalah melebur secara bersamaan. " Alin...Maafin aku..." Begitulah lirihnya. harusnya ia tidak usah menceritakan tentang Aksa dan dirinya kepada Alin, awalnya Leya berpikir usaha tersebut bakal membuat Alin perlahan lahan mundur, tapi ternyata semua itu justru membuat Alin semakin terpuruk, kenapa ia bisa lupa kalau Alin tipikal orang yang susah move on, rasa bersalahnya semakin menjalar ketika teman-temannya merendahkan Alin didepannya. seharusnya bukan Alin yang menjadi bahan pembicaraan teman sekelasnya, harusnya dirinya. " Cewek perebut! " begitulah cerca Kaila saat Alin melewati gerombolan mereka kala itu.
" Kaila gue mohon sama lo, jangan pernah rendahin Alin lagi "