Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Catatan Menikam Syair Si Bungkam

14 April 2020   15:09 Diperbarui: 14 April 2020   15:42 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
fajarpembebasan.wordpress.com

Gifar Fajri Zakiawan

 Elok dipandang tanpa berdendang itulah kata orang,

Kita bukan perang untuk apa saling menyerang??

Walaupun kau terlihat garang ..

Tapi kadang sifatmu seperti binatang!!

Bercita-cita setinggi bintang kau berteriak lantang...

Nadamu menentang dalam setiap rintang

Senyum dibibirmu suram seperti gelapnya petang

Ternyata mentari di wajahmu telah hilang ..

Bersembunyi dalam naungan sang dewi malam....

Apakah yang kau pikirkan, siapakah hakikatnya aku??!

Jiwamu hilang diculik orde baru,..

Mengapa ini bukan seperti aku?!!

Manakah senyum mu yang menawan

Atau sudah hilang seperti tawanan

Yang memikul beban kehidupan

Padahal ide mu seperti emas dipertambangan

Keyakinanmu terhalang gerhana yang fana..

Bola matamu menghujam tajam..

Pikiranmu terbentur batu karang,

Terkadang mengeluarkan air hujan yang terus mengalir bak sungai bengawan....

Oh, kenapa aku ragu dan malu..

Kontra hati tuk mengecap bahwa itu kau..

Itu pasti bukan kau.. ya, kau adalah manusia

Akupun sama, kita ini memang manusia

Tetapi apakah kau yakin dengan manusia?

Memang susah memanusiakan manusia

Memandang manusia dengan cara yang utuh

Tentu tersirat sebuah ruh sebelum dibunuh

Kita mencari bukan berlari

Kita saling butuh dan tak mau dibilang luluh.

Seperti gagak yang tak bisa berdiri tegak,

Seperti elang yang rindu jalan pulang.

Itulah manusia punya rasa, nyawa dan rahasia.

Sanubariku berkobar bagai api merapi, tak kunjung rapi

Terbungkus daun ironi terlintas dalam hati

Selalu bertanya dan menerka..

Ada yang tertawa dan juga berduka

Begitu payah seperti sampah ..

Akal pikir saling bergulat, otak digigit ribuan ulat,

Kacau sungguh kacau.. Terbakar hati dan jiwa ini,

Logika menentang ingatan melayang..

Payah sungguh payah nasib diri ingin menghilang,

Kisah dunia begitu buruk, si baik makin terpuruk!!

Hiruk pikuk dosa tak terhingga..

Ingin cepat mengakhirinya

Namun tanggung jawab akan nyawa..

Bagaikan debu di atas lautan

Yang tak dianggap penglihatan

Bak suara kelelawar yang tak terjangkau pendengar.

Ini bukan harmoni dan melodi yang menyayat isi hati,

Lain dengan ilusi dan sugesti tapi inilah misteri

Yang terikat isi hati sampai dijemput sang ilahi.

Manusia terlahir dengan fitrah

Melekat diri ini rasa gegabah

Terpukul ribuan bayang masalah

Tak apalah kita tak usah resah

Kita hanya perlu pasrah dan menutup celah

Supaya tak terpecah belah

Namun manusia masih selalu berkelah

Tak mau mengalah, si adidaya serakah

Kaum terbawah merasa gundah

Sungguh payah lalu akhirnya goyah

Cukup sudah waktunya menyerah

Wahai manusia janganlah kau diam

Larilah kejar si pembungkam,

Hancurkan tembok si penikam.

Sudah berapa lama kau sembunyi dari selimut kebenaran.

Tersambar badai kejahatan yang menghancurkan keberanian,

Waktu terus bergulir terbesit angin lembah sumilir

Memecah serangan yang meronrong mental,

Sebuah siasat untuk menggerus kepercayaan

Bingung dan linglung waktu terus menggulung,

Telur masalah masih belum terpecah,

Ibu pertiwi tampaknya lemah

Manusia lupa akan sumpah serapah,

Padahal dulu pemuda juga bersumpah

Penguasa yang payah pejabat yang mewah

Tak memandang orang susah.

Petani sawah pun menyerah,

Katanya agraris namun keadilan di belakang garis .

Katanya maritim tapi upah nelayan masih minim

Beginilah tanah air, tanah mahal air beli

Orang bilang tanah kita tanah surga

Katanya yang terus ditanya seperti orang teraniaya.

Berderu masalah seperti ombak yang terus menombak,

Sungguh negara yang kaya budaya

Tak lupa segudang sumber daya

Namun masih ada yang tak berdaya dan manusia yang terpedaya

Kikisan ilusi insan cendekiawan, politisasi elite tikus berdasi

Semua kompak mengikis uang rakyat yang tak tampak

Dimanakah keadilan yang damai seperti kata negarawan

Dimanakah keindahan yang tergambar dari budayawan

Sekarang bungkam dari kejaran wartawan

Demokrasi katanya otoriter rasanya

Kiri dibilang komunis kanan dicap kapitalis

Diam dibilang apatis bertindak dikatai tak humanis

Tengah dibilang tak ideologis, berulah dibilang teroris

Tikus berdasi yang saling konspirasi

Maling pohon dibakar, tikus berdasi berkelakar

Tajam ke atas tumpul ke bawah

Kaum bawah jembatan ditindas

Kaum atas makin kaya melampaui batas

Tak ada martabat atau sekedar kotoran babat

Hukum yang tak adil di negara luber jurdil

Si miskin dihukum puluhan tahun, si kaya diberikan ampun

Berapa hari bebas plesiran tanpa batas

Asalkan punya uang maka aparat hukum memberi ruang

Miris di negeri agraris, diperdaya hukum agraria

Kaum elite di atas kasur kaum pinggiran tergusur

Siapakah yang peduli bila hati terikat dengan tali

Mesin buldoser mulai bergerak seakan hati tak tergerak

Manakah sisi manusiawimu?

Apakah tak ingat keluargamu?

Hingga kau tega menggoreskan luka

Menyayat hati melihat mereka terluka

Melindungi tempat tinggal dari muda hingga tua

Kau tak peduli nasib anak kecil, wanita dan keluarganya

Isak tangis memecah kesunyian.. Bukan kesunyian tepatnya

Tapi kekejaman yang berujung penindasan

Mereka tak mampu melakukan perlawanan

Raganya tergolek lemas jiwanya sangat cemas

Tulang rangkanya tersungkur tak berdaya seperti sudah hilang nyawa

Melihat rumah rata dengan tanah ,

Puing-puing bangunan sisa penggusuran

Terasa sia-sia telah mati perasaan dan kemanusiaan

Inikah yang dinamakan kemerdekaan?

Tak pantas berkata kesejahteraan

Selalu benar seperti kata ulama

Selalu tenar seperti aktor ternama

Namun hilang seakan tanpa nama

Dia adalah pejuang ham asal kau paham

Munir, Marsinah, Wiji serta kawannya

Menolak lupa mereka adalah pahlawan kebenaran

Mereka semua api semangat kehidupan

Yang masih terkunci oleh rantai kerahasiaan

Butuh pecutan pembelaan dan anti pencitraan

Menolak lupa dorong kebebasan pikiran

Karena kebenaran butuh keberanian

Sungguh aneh tapi nyata, bukan adegan kisah cerita

Jagoannya para Pandawa penguasanya sang Kurawa

Gedung-gedung ditinggikan, akal sehat kacau tak karuan

Saling berebut kekuasaan berseteru dalam perlombaan

Meski berbeda pilihan makin banyak perselisihan

Demi kepentingan suatu golongan diserbu hujatan dan cacian

Banyak menebar kebencian dalam ruang kesempatan

Itulah pentingnya kekuasaan

Seperti mencari mutiara terpendam

Matahari mengintip dari lautan

Ombak saling berkejaran paus menari dalam nyanyian

Keringat bercucuran dari tubuh si nelayan

Mereka mencari ikan dengan rasa tertekan

Kapal kecil kalah dengan kapal besar

Demi sebuah kepuasan mata pencaharian dihancurkan

Pelaut gelap petugas terlelap tak mau menangkap

Laut kita luas tapi negara lain lebih buas

Melakukan pencurian dalam batas lautan

Mengapa kita diam seakan penuh kecemasan

Mengklaim perizinan hukum perikanan yang diam

Terjaring oleh rasa ketakutan terpancing kail kemanusiaan

Sekali lagi kita terbungkam, kita hanya diam

Lalu sampai kapan kita diam

Sampai kapan tenggelam dalam tangisan

Ataukah lumpuh dalam keadaan

Menyerah dalam penjara kehidupan

Atau berputar dalam roda penghianatan

Adanya kita tak untuk diinjak-injak!

Namun kuatkan jiwa raga untuk berpijak

Agar nestapa kehancuran tak melonjak

Sampai kapan kita bungkam, hak kita ditikam

Egomu terpenjara oleh seruan hasutan

Sadarlah kita masih dapat memilah

Kalah bukan berarti pasrah

Merebut kebenaran dan pantang menyerah

Marilah kita jaga kebhinekaan dalam tali persatuan

Saatnya bergerak dengan serentak

Menaiki roda gerakan kebenaran

Merajut amunisi pembelaan

Menuntaskan revolusi kekuasaan

Mengembalikan suara kebebasan

Pahlawan pun tak mampu berjuang sendirian

Mengobarkan gejolak jiwa aktivis yang humanis

Bersatu padu dalam tombak perjuangan

Bersuara untuk raja negeri dalam hingar bingar

Teriakan lantang mahasiswa yang pudar terdengar

Gerakan sosial lama tak tampak di jalanan

Para buruh yang beraksi hingga kelaparan

Dari manusia untuk sesama manusia

Lepaskan segala jeruji kedunguan

Tak perlu sempurna untuk menjadi manusia

Jadilah manusia yang tak sia-sia

Kurangi baperan dan mari berperan

Kurangi rebahan dan buat perubahan

Cukuplah sekian goresan kebenaran

Inilah sebuah catatan perjalanan

Dari syair si bungkam yang tlah lama diam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun