Gifar Fajri Zakiawan
 Elok dipandang tanpa berdendang itulah kata orang,
Kita bukan perang untuk apa saling menyerang??
Walaupun kau terlihat garang ..
Tapi kadang sifatmu seperti binatang!!
Bercita-cita setinggi bintang kau berteriak lantang...
Nadamu menentang dalam setiap rintang
Senyum dibibirmu suram seperti gelapnya petang
Ternyata mentari di wajahmu telah hilang ..
Bersembunyi dalam naungan sang dewi malam....
Apakah yang kau pikirkan, siapakah hakikatnya aku??!
Jiwamu hilang diculik orde baru,..
Mengapa ini bukan seperti aku?!!
Manakah senyum mu yang menawan
Atau sudah hilang seperti tawanan
Yang memikul beban kehidupan
Padahal ide mu seperti emas dipertambangan
Keyakinanmu terhalang gerhana yang fana..
Bola matamu menghujam tajam..
Pikiranmu terbentur batu karang,
Terkadang mengeluarkan air hujan yang terus mengalir bak sungai bengawan....
Oh, kenapa aku ragu dan malu..
Kontra hati tuk mengecap bahwa itu kau..
Itu pasti bukan kau.. ya, kau adalah manusia
Akupun sama, kita ini memang manusia
Tetapi apakah kau yakin dengan manusia?
Memang susah memanusiakan manusia
Memandang manusia dengan cara yang utuh
Tentu tersirat sebuah ruh sebelum dibunuh
Kita mencari bukan berlari
Kita saling butuh dan tak mau dibilang luluh.
Seperti gagak yang tak bisa berdiri tegak,
Seperti elang yang rindu jalan pulang.
Itulah manusia punya rasa, nyawa dan rahasia.
Sanubariku berkobar bagai api merapi, tak kunjung rapi
Terbungkus daun ironi terlintas dalam hati
Selalu bertanya dan menerka..
Ada yang tertawa dan juga berduka
Begitu payah seperti sampah ..
Akal pikir saling bergulat, otak digigit ribuan ulat,
Kacau sungguh kacau.. Terbakar hati dan jiwa ini,
Logika menentang ingatan melayang..
Payah sungguh payah nasib diri ingin menghilang,
Kisah dunia begitu buruk, si baik makin terpuruk!!
Hiruk pikuk dosa tak terhingga..
Ingin cepat mengakhirinya
Namun tanggung jawab akan nyawa..
Bagaikan debu di atas lautan
Yang tak dianggap penglihatan
Bak suara kelelawar yang tak terjangkau pendengar.
Ini bukan harmoni dan melodi yang menyayat isi hati,
Lain dengan ilusi dan sugesti tapi inilah misteri
Yang terikat isi hati sampai dijemput sang ilahi.
Manusia terlahir dengan fitrah
Melekat diri ini rasa gegabah
Terpukul ribuan bayang masalah
Tak apalah kita tak usah resah
Kita hanya perlu pasrah dan menutup celah
Supaya tak terpecah belah
Namun manusia masih selalu berkelah
Tak mau mengalah, si adidaya serakah
Kaum terbawah merasa gundah
Sungguh payah lalu akhirnya goyah
Cukup sudah waktunya menyerah
Wahai manusia janganlah kau diam
Larilah kejar si pembungkam,
Hancurkan tembok si penikam.
Sudah berapa lama kau sembunyi dari selimut kebenaran.
Tersambar badai kejahatan yang menghancurkan keberanian,
Waktu terus bergulir terbesit angin lembah sumilir
Memecah serangan yang meronrong mental,
Sebuah siasat untuk menggerus kepercayaan
Bingung dan linglung waktu terus menggulung,
Telur masalah masih belum terpecah,
Ibu pertiwi tampaknya lemah
Manusia lupa akan sumpah serapah,
Padahal dulu pemuda juga bersumpah
Penguasa yang payah pejabat yang mewah
Tak memandang orang susah.
Petani sawah pun menyerah,
Katanya agraris namun keadilan di belakang garis .
Katanya maritim tapi upah nelayan masih minim
Beginilah tanah air, tanah mahal air beli
Orang bilang tanah kita tanah surga
Katanya yang terus ditanya seperti orang teraniaya.
Berderu masalah seperti ombak yang terus menombak,
Sungguh negara yang kaya budaya
Tak lupa segudang sumber daya
Namun masih ada yang tak berdaya dan manusia yang terpedaya
Kikisan ilusi insan cendekiawan, politisasi elite tikus berdasi
Semua kompak mengikis uang rakyat yang tak tampak
Dimanakah keadilan yang damai seperti kata negarawan
Dimanakah keindahan yang tergambar dari budayawan
Sekarang bungkam dari kejaran wartawan
Demokrasi katanya otoriter rasanya
Kiri dibilang komunis kanan dicap kapitalis
Diam dibilang apatis bertindak dikatai tak humanis
Tengah dibilang tak ideologis, berulah dibilang teroris
Tikus berdasi yang saling konspirasi
Maling pohon dibakar, tikus berdasi berkelakar
Tajam ke atas tumpul ke bawah
Kaum bawah jembatan ditindas
Kaum atas makin kaya melampaui batas
Tak ada martabat atau sekedar kotoran babat
Hukum yang tak adil di negara luber jurdil
Si miskin dihukum puluhan tahun, si kaya diberikan ampun
Berapa hari bebas plesiran tanpa batas
Asalkan punya uang maka aparat hukum memberi ruang
Miris di negeri agraris, diperdaya hukum agraria
Kaum elite di atas kasur kaum pinggiran tergusur
Siapakah yang peduli bila hati terikat dengan tali
Mesin buldoser mulai bergerak seakan hati tak tergerak
Manakah sisi manusiawimu?
Apakah tak ingat keluargamu?
Hingga kau tega menggoreskan luka
Menyayat hati melihat mereka terluka
Melindungi tempat tinggal dari muda hingga tua
Kau tak peduli nasib anak kecil, wanita dan keluarganya
Isak tangis memecah kesunyian.. Bukan kesunyian tepatnya
Tapi kekejaman yang berujung penindasan
Mereka tak mampu melakukan perlawanan
Raganya tergolek lemas jiwanya sangat cemas
Tulang rangkanya tersungkur tak berdaya seperti sudah hilang nyawa
Melihat rumah rata dengan tanah ,
Puing-puing bangunan sisa penggusuran
Terasa sia-sia telah mati perasaan dan kemanusiaan
Inikah yang dinamakan kemerdekaan?
Tak pantas berkata kesejahteraan
Selalu benar seperti kata ulama
Selalu tenar seperti aktor ternama
Namun hilang seakan tanpa nama
Dia adalah pejuang ham asal kau paham
Munir, Marsinah, Wiji serta kawannya
Menolak lupa mereka adalah pahlawan kebenaran
Mereka semua api semangat kehidupan
Yang masih terkunci oleh rantai kerahasiaan
Butuh pecutan pembelaan dan anti pencitraan
Menolak lupa dorong kebebasan pikiran
Karena kebenaran butuh keberanian
Sungguh aneh tapi nyata, bukan adegan kisah cerita
Jagoannya para Pandawa penguasanya sang Kurawa
Gedung-gedung ditinggikan, akal sehat kacau tak karuan
Saling berebut kekuasaan berseteru dalam perlombaan
Meski berbeda pilihan makin banyak perselisihan
Demi kepentingan suatu golongan diserbu hujatan dan cacian
Banyak menebar kebencian dalam ruang kesempatan
Itulah pentingnya kekuasaan
Seperti mencari mutiara terpendam
Matahari mengintip dari lautan
Ombak saling berkejaran paus menari dalam nyanyian
Keringat bercucuran dari tubuh si nelayan
Mereka mencari ikan dengan rasa tertekan
Kapal kecil kalah dengan kapal besar
Demi sebuah kepuasan mata pencaharian dihancurkan
Pelaut gelap petugas terlelap tak mau menangkap
Laut kita luas tapi negara lain lebih buas
Melakukan pencurian dalam batas lautan
Mengapa kita diam seakan penuh kecemasan
Mengklaim perizinan hukum perikanan yang diam
Terjaring oleh rasa ketakutan terpancing kail kemanusiaan
Sekali lagi kita terbungkam, kita hanya diam
Lalu sampai kapan kita diam
Sampai kapan tenggelam dalam tangisan
Ataukah lumpuh dalam keadaan
Menyerah dalam penjara kehidupan
Atau berputar dalam roda penghianatan
Adanya kita tak untuk diinjak-injak!
Namun kuatkan jiwa raga untuk berpijak
Agar nestapa kehancuran tak melonjak
Sampai kapan kita bungkam, hak kita ditikam
Egomu terpenjara oleh seruan hasutan
Sadarlah kita masih dapat memilah
Kalah bukan berarti pasrah
Merebut kebenaran dan pantang menyerah
Marilah kita jaga kebhinekaan dalam tali persatuan
Saatnya bergerak dengan serentak
Menaiki roda gerakan kebenaran
Merajut amunisi pembelaan
Menuntaskan revolusi kekuasaan
Mengembalikan suara kebebasan
Pahlawan pun tak mampu berjuang sendirian
Mengobarkan gejolak jiwa aktivis yang humanis
Bersatu padu dalam tombak perjuangan
Bersuara untuk raja negeri dalam hingar bingar
Teriakan lantang mahasiswa yang pudar terdengar
Gerakan sosial lama tak tampak di jalanan
Para buruh yang beraksi hingga kelaparan
Dari manusia untuk sesama manusia
Lepaskan segala jeruji kedunguan
Tak perlu sempurna untuk menjadi manusia
Jadilah manusia yang tak sia-sia
Kurangi baperan dan mari berperan
Kurangi rebahan dan buat perubahan
Cukuplah sekian goresan kebenaran
Inilah sebuah catatan perjalanan
Dari syair si bungkam yang tlah lama diam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H