Mohon tunggu...
Maria Fauzi
Maria Fauzi Mohon Tunggu... -

I am a mother. The student of universe. Love to read and write. Always impressed with the beauty of nature. And very excited to learn and know about other cultures.\r\n\r\nJabat erat !

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masjid Paris Tempat Berlindung Warga Yahudi

11 Juni 2017   04:49 Diperbarui: 11 Juni 2017   13:30 1089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salem Halali, penyanyi Algeria yang juga seorang Yahudi, misalnya, diberikan kartu identitas sebagai seorang muslim oleh Si Kaddoor. Menurut beberapa catatan sejarah, banyak warga muslim saat itu, atas inisiatif pribadi, membawa warga Yahudi yang mereka kenal untuk mendapat perlindungan di masjid. Selain kartu identitas, masjid ini juga menyediakan ruang-ruang khusus yang berada di area sekitar. Sayang sekali, shelter-shelter ini sekarang tidak dibuka untuk umum, hanya peneliti dan pihak-pihak berkepentingan saja yang diperbolehkan memasuki area ini.

Menjadi muslim ketika itu jauh lebih aman ketimbang menjadi seorang Yahudi, yang pastinya akan menjadi korban penangkapan dan deportasi. Bagi Jerman, Islam, menjadi salah satu alat penting untuk mencapai kekuasaan politik sekaligus militer. Kehadiran umat muslim bukanlah ancaman. Pembersihan etnis yang dilakukan Nazi berlaku untuk warga keturunan Yahudi, kaum homoseksual, penyandang disabilitas, komunitas Gypsi, dan tawanan politik lainnya.  

Kisah lain datang dari seorang tawanan Jerman keturunan Afrika Utara, Albert Assoulin. Ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan mengungsi di Masjid Raya Perancis, dan kemudian sempat menuliskan surat yang dimuat oleh sebuah majalah Perancis Almanach duCombattant di tahun 1983. Surat itu menceritakan kondisi di shelter bawah tanah masjid, yang menampung tidak hanya tawanan muslim yang melarikan diri, namun juga warga Kristen dan Yahudi lintas ras. Kisah ini juga pernah ditayangkan dalam sebuah dokumentasi film tahun 1991, yang berjudul 'A Forgotten Resistance: The Mosque of Paris'.  

Warga Yahudi di Paris, yang masih merupakan keturunan dari Yahudi Sefardim, dan komunitas Muslim saat itu memiliki banyak kesamaan, baik nama, makanan, maupun bahasa. Mereka memakai bahasa Arab untuk percakapan sehari-hari, mengonsumsi makanan yang sama khas Mediterania, dan melakukan ritual sunat sebagai tradisi keagamaan yang masih dipertahankan. Mengelabui pasukan Nazi merupakan hal yang mudah bagi mereka.

Di tengah kuatnya gelombang radikalisme global, pengggalan kisah-kisah ini seakan memberi angin segar. Bahwa potret Islam bukanlah ilustrasi yang sering diwacanakan kelompok-kelompok ekstremis di belahan dunia, pun bukan seperti apa yang sering masyarakat Barat asumsikan. Jauh sebelum tragedi Holocaust, tepatnya ketika ribuan umat Yahudi mendapat ancaman dari Katolik Monarki, khususnya pascaruntuhnya Dinasti Nasrid di Granada, umat muslim juga turut membantu dan menyelamatkan nyawa mereka. Bahkan Kesultanan Ottoman, di bawah rezim Sultan Sulaiman the Magnificent, juga menerima ribuan imigran Yahudi dari Spanyol.

Dalam sejarah Islam, hal ini tentu bukan hal baru. Keterlibatan serta hubungan harmonis antar agama dan kelompok kerap kali diwujudkan. Wajah keberagamaan seperti inilah yang sepatutnya diangkat agar menjadi acuan dalam melihat peta sejarah Islam hari ini juga di masa mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun