Sejarah muslim di Eropa biasanya dikaitkan dengan dua masa yang menjadi titik balik perkembangan dan persinggungan kedua tradisi. Masa kekhalifahan Islam di Andalusia abad ke-9 Masehi, dan datangnya ribuan imigran dari berbagai negara muslim di tahun 1960-an ketika beberapa negara Eropa Barat mengeluarkan kebijakan ekonomi dalam rangka pembangunan skala besar dan membutuhkan ribuan tenaga kerja. Namun, akhir-akhir ini banyak penelitian terbaru yang mulai mengungkap keberadaan masyarakat muslim di Eropa pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 Masehi, khususnya ketika dan pasca-Perang Dunia I.
"Building the Paris Mosque, Building France Islam", sebuah judul artikel yang saya baca beberapa waktu lalu tentang hubungan komunitas muslim pertama dengan segala perangkat dan realitas sosial sekuler masyarakat Perancis setelah Perang Dunia I. Tanpa bisa dipungkiri, sejarah Perancis modern tidak bisa lepas dari kehadiran sejumlah pemeluk agama lain, yaitu Islam, yang tanpa disadari telah melebur menjadi identitas baru. Perdebatan hingga penelitian serius banyak dilakukan oleh beberapa kalangan, terlebih dengan aksi dan isu terorisme yang menjangkiti masyarakat global akhir-akhir ini, khususnya yang terjadi di Perancis.
Adalah Si Kaddour Benghabrit, atau Abdelkader ben Ghabrit, yang disebut sebut sebagai 'the most Parisian Muslim'. Dialah salah satu aktor yang paling berpengaruh atas hubungan awal Perancis dengan Islam. Sebelum diangkat menjadi rektor masjid, dia bekerja sebagai asisten penerjemah delegasi Perancis di Maroko. Dia juga ditugaskan ke Hijaz sebagai perwakilan guna memfasilitasi sarana Haji untuk warga Maroko dan sekitarnya. Puncak kariernya, ketika Si Kaddour menjadi pemimpin atas organisasi yang menjadi tempat berkumpulnya para muslim elite di kawasan Maroko dan Afrika Utara yang dikenal dengan The Society of Habous. Dan, komunitas ini bekerja sama dengan pemerintah Perancis untuk mendirikan masjid yang konon terinspirasi dari Masjid dan Madrasah Bou Inania di Fes, Maroko.
Setelah diresmikan pada 15 Juli 1926 oleh Presiden Gaston Doumergue, masjid ini pun digunakan untuk sholat pertama kalinya yang diimami oleh Ahmad Al-Alawi, seorang sufi dari Algeria sekaligus pendiri Tarekat Darqawiyyah Alawiyyah, salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyyah.
Tidak jauh dari area masjid, tepatnya di sebuah jalan Bureau de la rue Lecomte, pemerintah Perancis juga membangun sebuah pusat administrasi pertama untuk para imigran Afrika Utara pasca-Perang Dunia I, termasuk rumah sakit. Awalnya sebuah klinik sederhana dibangun untuk merawat pasukan muslim yang menjadi korban perang, juga sebagai ruang untuk merawat imigran Afrika Utara yang terjangkit virus Tuberkulosis, dan Venereal atau penyakit kelamin. Klinik ini akhirnya menjadi besar selaras dengan bertumbuhnya jumlah warga. Â
Bureau de la rue Lecomte, sekali lagi, seakan menjadi saksi atas kehidupan awal warga Muslim khususnya keturunan Afrika Utara di Paris, bahkan hingga saat ini. Di kawasan ini, populasi masyarakat Arab semakin berkembang, dan menjadi pusat masyarakat Arab yang dikenal dengan 'little orient'. Â Â
Pluralitas masyarakat Paris adalah realitas. Perkembangan pemeluk agama Islam yang dinilai pesat khususnya beberapa tahun belakangan ini dapat terlihat jelas dari kehidupan sehari-hari di berbagai sudut kota. Perempuan berhijab, Masjid dan toko serta produk berlabel halal bisa didapatkan dengan mudah. Bahkan, sesekali kami juga mendengar bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi sehari-hari khususnya di daerah padat warga muslim.
Berdirinya Masjid Raya Paris seakan ingin memberikan pesan atas kehadiran hal 'baru' yang sejalan dengan sekularitas dan modernitas Paris, dalam bentuknya yang 'tradisional', yaitu dengan menampilkan kesan Islam Afrika Utara. Â
Bantuan Muslim untuk Warga Yahudi
Tragedi Holocaust, yang terjadi hampir satu abad, menjadi kisah yang terus didokumentasikan dan digali. Berbagai macam narasi dan cerita tentang aksi-aksi heroik penyelamatan warga Yahudi masa Holocaust mulai bermunculan, baik dari kisah pribadi maupun institusi keagamaan. Dari seorang veteran, Duta Besar Turki untuk Perancis, keluarga Arab Muslim, sampai seorang perempuan agen SOE untuk Paris yang bernama Nourunnisa Inayat Khan.
Dan tak terkecuali, Masjid Raya Paris. Konon, bahkan ada 500 sampai 1600 warga Yahudi yang berlindung di masjid ini menjelang kependudukan Jerman. Ancaman yang datang dari Nazi mengharuskan warga Yahudi di Paris melarikan diri, mencari perlindungan di tempat-tempat yang tak terdeteksi.