Mohon tunggu...
Maria Fauzi
Maria Fauzi Mohon Tunggu... -

I am a mother. The student of universe. Love to read and write. Always impressed with the beauty of nature. And very excited to learn and know about other cultures.\r\n\r\nJabat erat !

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya dan Seorang Yahudi

19 Februari 2016   09:56 Diperbarui: 19 Februari 2016   10:28 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Moran Wetzig. Teman sekelas kursus bahasa Jerman saya yang dikenal paling aktif. Dia lahir di Haifa, kota terbesar ketiga di Israel. Rambutnya keriwil, berwajah oriental. Namun siapa sangka, dia lah sahabat pertama saya yang beragama Yahudi dan berkebangsaan Israel.

Di awal perkenalan, saya dibuat merinding begitu mendengar nama Israel. Seketika terbayang wajah muslim Palestina, lambang-lambang zionis, dan bendera Israel yang mengerikan. Maklum, di Indonesia berita-berita negatif tentang konspirasi Yahudi dan Israel sangat populer bagi beberapa kalangan.

Apalagi saya lahir  dan dibesarkan di keluarga dan lingkungan yang relijius tradisionalis. Saya pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren selama hampir tujuh tahun. Setelah itu, saya melanjutkan kuliah di Al-Azhar Mesir. Bisa dipastikan, dalam hampir semua pengalaman hidup saya tidak pernah bersinggungan langsung dengan mereka yang bukan Muslim, apalagi yang beragama Yahudi.

***

Hari itu pertama kali kami kursus. Ketika break kami sempatkan untuk saling berkenalan, bercerita sembari menikmati kopi yang kami beli dari coffee machine. Disela-sela perbincangan, Moran berkisah tentang pengalaman-nya bertemu dengan teman baru. Dia bercerita tentang ketidaknyamanan ketika beberapa orang selalu mengaitkan dirinya dengan kebijakan pemerintah Israel. Dia pun mengaku sangat merasa tersudut. 

“Sometimes, its hard for me to listen what people judge my country. Israel is politically controversial. I have bad experiences when talking about Israel political strategy with a lot of people. But that was not my responsible to explain all the things that have no any relations with my personal experiences”.

Moran kembali merasa resah harus membincang tentang masalah ini. Kemudian dia bercerita bagaimana dia hidup bertetangga dengan seorang Muslim dan Kristen. Dalam kehidupan nyata, Moran selalu berkisah betapa dia dengan tetangganya yang Muslim berhubungan sangat baik. Neneknya lahir di Maroko. Dia mempunyai keturunan Arab yang kental. Tak ayal, dia juga mahir bahasa Arab.

“Maria, kamu akan menemukan tidak hanya Sinagog disana. Gereja dan Masjid juga banyak tersebar di Haifa. Saya menjadi saksi atas keberagaman ini. Bahkan kurikulum sekolah saya dulu mewajibkan belajar agama lain. Tidak hanya Yahudi, tapi juga Kristen dan Islam. Kami juga harus belajar bahasa Arab. Karena tetangga kami merupakan negara Arab”.

Begitu kira-kira cerita Moran, panjang lebar tentang bagaimana dia merasa kehidupannya di Israel baik-baik saja. Berkawan dengan non-Yahudi, hidup rukun dan saling menghormati kepercayaan masing-masing. Dia juga bercerita bagaimana dia sangat menghargai perbedaan, entah agama, ras atau budaya.

Kami sama-sama berpandangan bahwa kekerasan atas nama agama adalah kejahatan. Di dalam Al- Qur’an, Bibble maupun Taurat tidak ada satu ayat-pun yang memerintahkan umatnya untuk saling membunuh. Sebagai seorang yang lahir di tanah Israel, Moran sungguh mendambakan semua hidup rukun, harmoni dan damai. Tapi kenyataannya, dunia semakin tidak berpihak pada kedamaian.

Dari beberapa penggal kisah yang diceritakan Moran, saya mulai mencerna tentang stereotype di masyarakat kita mengenai Yahudi, Israel dll. Dari awal saya berkeyakinan bahwa apapun agamanya, kita wajib bersikap baik dengan sesama. Moran, dengan segala identitasnya, telah membantu membuka mata hati saya untuk terus berupaya mengesampingkan stereotype-stereotype yang tidak beralasan.

***

Datang dari berbagai latar belakang yang berbeda membuat saya terkesan dengan kelas kami. Tidak hanya Moran, suatu ketika, Irina, yang beragama Orthodox bertanya kepada saya tentang jilbab. Dia berasal dari Moldova, negeri kecil yang berada di Eropa Timur berdekatan dengan Rumania dan Ukraina. Dalam hidupnya di Moldova, dia pernah menjumpai wanita berjilbab hanya dua kali. Itupun lewat televisi.

Dia bercerita bagaimana pertama kalinya dia melihat wanita berkerudung bergaya Arab Maroko di sebuah drama. Kesan pertama dia baik. Wanita Maroko yang diceritakan di film tersebut terlihat menawan, modis dan anggun. Namun, kesan selanjutnya tentang wanita berjilbab bagi Irina berubah, ketika mendengar beberapa media yang mengulas tentang aksi terorisme di berbagai negara. Dari pengalaman inilah kemudian Irina bertanya kepada saya tentang jilbab sembari memegang ujung jilbab saya. Pertanyaannya cukup panjang, dan membuat saya berpikir bagaimana jawaban yang tepat untuk seorang Irina, yang sama sekali tidak tau tentang Islam, dan dunia Muslim pada umumnya.

Tidak mudah bagi saya menjawab pertanyaan itu. Karena tidak mungkin saya harus memberikan penjelasan panjang lebar seperti mau kuliah. Singkatnya, saya hanya bisa menjawab sekilas yang kira-kira mempunyai makna seperti ini.

“Well, in Islam there are some opinions related to the headscarf. Some of them believe that it is a part of religious order. Other than that, they believe that headscarf is merely religious tradition. Using headscarf is a matter of believe, I would say”.

Dia mulai mencerna beberapa kalimat yang keluar dari mulut saya, hingga pada akhirnya dia mulai sadar tidak semua yang diberitakan media adalah gambaran dari seluruh umat Muslim. Irina kemudian bercerita tentang tradisi yang dia yakini sebagai seorang penganut Kristen Orthodox. Saya, dengan antusias mendengarkan dan sesekali melontarkan cerita tentang kultur yang ada di Indonesia.

***

Pertemuan saya dengan ‘yang lain’ inilah yang kemudian semakin memberikan makna tersendiri tentang mereka yang ada ‘diluar’ kehidupan kita.  Mereka yang mempunyai agama, kultur dan budaya yang berbeda. Pertemuan ini bukan untuk saling mencemooh, karena mereka bukan Muslim, bukan juga karena mereka dari Israel yang sering mendapatkan kecaman negatif atau beragama Kristen Orthodox. Nilai universalitas Islam ada di semua agama. Saling menghargai semua agama, ras, golongan adalah sikap yang tepat di tengah keberagaman penduduk dunia. Semakin kita berkenalan dengan ‘yang lain’, saya rasa semakin kita dapat menghargai perbedaan. Sebuah langkah awal untuk mencapai cita-cita mulia, yaitu hidup secara harmonis.

Saya semakin sadar, bahwa berbagi cerita dengan orang-orang di sekitar kita, baik non-Muslim, non-Sunni, atau non-non yang lainnya akan membawa kita kepada sebuah pemahaman nyata bahwa mereka juga manusia. Tell your stories, keep listening and see the human !. Mungkin ini merupakan cara yang tepat bagaimana kita seharusnya memandang dan bersikap kepada sesama manusia.

 

Maria Fauzi, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun