Mohon tunggu...
Aldra Ghiffari
Aldra Ghiffari Mohon Tunggu... wiraswasta -

Berkata bijak bukan berarti bijaksana, berkata benar bukan menjadi standard kebenaran. Bijak dan Benar pada Porsi dan Proporsinya."Waktu, Sikon, Cara dan orangnya menjadi tolak ukur sebuah kebenaran". by https://twitter.com/Lafazh

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pengalaman Jadi Pembelajaran

8 April 2014   18:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kira-kira beberapa waktu yang lalu aku coba untuk mengomentari sebuah tulisan yang ada di Kompasiana. Mula canggung, lama kelamaan jadi kebiasaan, takutnya jadi keasyikan. Yang tadinya aku kurang suka dengan gelar Komentator, sebab Komentator hanya bisa mengomentari. Seperti Komentator Bola yang dibayar mahal(maybe) atau tidak dibayar, Seakan si Komentator lebih baik ketimbang pemainya, seakan dia yang melatih dan me-menejeri sebuah team. Padahal dia hanya seorang penonton yang sama dengan penonton lainnya. statusnya saja yang membuat dia berbeda dengan penonton yang lain, itupun dikarenakan kelihayan mulutnya berkomentar.  Inilah alasan mengapa aku kurang menyukai Profesi seorang Komentator, bukan benci, apalagi banci, tidak karena jealous apalagi jelly, sekedar mengutarakan isi di-hati. Siapapun dan bagaimanapun yang mengomentari tidak lebih baik dari yang dikomentari. Boleh jadi yang mengomentari lebih tahu, itupun belum tentu jadi. Sebuah pepatah mengatakan. "Sebaik-baiknya Komentator tak lebih dari seorang yang kekurangan pekerjaan. Sejelek-jeleknya orang yang dikomentari, dia telah memberi Inspirasi dan Pekerjaan seorang Komentator"(pepatah buatan ane sendiri). Oleh karena itu aku urungkan niat untuk memperbanyak Komentar-ku daripada Tulisan hasil karya sendiri. Sebab kehadiranku disini bukan ingin menjadi Komentator terbaik, melainkan ingin berbagi dan menceritakan kisah maupun sejarah yang sah. Tak perlu Mandasa apalagi mencari Dosa maupun membuat orang berdosa. Itu bukan niat awal kehadiranku, itu bukan hal yang baik untuk memulai, tulisan ini juga bukan kritikan untukmu melainkan untukku. Hari ini, saat ini, tepat dikondisi hebohnya orang menanti dan berpesta Pemilu, disini juga aku membatalkan diri menjadi sang Komentator, dimulai dari tulisan ini, beranjak kembali kepada niat awal yang menyentak sadar diri. "Hentikan AL(panggilanku) melakukan yang tidak kau sukai, yang bukan dirimu", Kembalilah pada motiv awal untuk apa kau hadir disini. Perkataan ini zona lain dalam diri, memberi peringatan, memberi masukan kepadaku. Siapa aku, mau apakah diriku, cukup membuat sadar dan malu dihati, seakan mengiris namun manis untuk diresapi. Zona lain dalam diriku berkata: "Hai Al! Jangan kau umbar Nafsu ingin Pengakuan, Jangan kau jadikan ilmumu ajang men-degradasi seseorang, Yang kau ketahui semestinya kau ajarkan dengan cara-cara yang estetis, ilmu yang kau dapat adalah hasil pembelajaran dirimu, yang harus kau fahami dan harus kau amalkan, sebelum kau mengharuskan untuk orang, Sebelum kau menuliskan sesuatu, apalagi mengomentari yang bukan hasil dari sebuah pembelajaran. Akhirnya aku termenung dan terdiam tak sepatah kata-kata yang keluar dari mulutku ketika zona lain mengingatkan aku. Demikian dialog dalam diri aku tuliskan, minimal jadi pembelajaran bagi yang lain, dan menambah kesadaran pada diriku.

Writer by Lafazh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun