Bulan puasa lalu saya bertemu pertama kali dengan Miq Iqbal di Praya, Lombok Tengah. Saya menghadiri acara Bincang Komunitas, undangan dari salah satu tim sukses Miq Iqbal. Beberapa kawan saya di lingkaran literasi menjadi narasumber, panitia, juga peserta. Saya berkendara dengan seorang kawan dari Ijobalit, Lombok Timur. Tumben saya begitu antusias bertemu dengan calon pemimpin NTB itu.
Di forum itulah terungkap kalau Miq Iqbal adalah sosok yang sangat suka belajar. S-1 saja di 3 kampus berbeda di Yogyakarta. Beliau mengambil jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia, Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Sejarah Universitas Gadjah Mada. Beliau lanjut S-2 Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, Jakarta. Pendidikan doktoral alias S-3 beliau di Universitas Bucharest, Rumania.
Kariernya di Kementerian Luar Negeri RI layak diacungi jempol. Setelah menjadi Duta Besar RI untuk Turki (dubes termuda pada periode pengangkatan 2019-2023), beliau kini masih menjabat sebagai Juru Bicara Kemenlu RI (saat ini sedang mengurus pengunduran diri sebagai ASN). Dari rekam jejak itu saja, saya bisa menyimpulkan kalau kemahiran diplomasi beliau sudah tak perlu diragukan lagi. Beliau tentunya telah menjalani fit and proper test sebelum terpilih.
Saya yang pernah kuliah di Ilmu Hubungan Internasional Unair Surabaya, langsung terkoneksi dengan rekam jejak beliau. Saya cek pemberitaan beliau di media massa tentang kiprah dan prestasinya, terutama kelihaiannya berdiplomasi menyelamatkan para buruh migran dan WNI di luar negeri. Pada acara Bincang Komunitas di Praya tersebut beliau bercerita bahwa ayahandanya sampai menangis terharu karena merasa telah berhasil mendidik putranya menjadi manusia bermanfaat bagi sesama. Help the voiceless is priceless. Membantu yang tak mampu bersuara, sungguh tak ternilai jasanya.
Dengan segenap prestasinya, bisa saja Miq Iqbal menjadi Menteri Luar Negeri RI selanjutnya. Tawaran privilege sudah di depan mata. Miq Iqbal pasti tahu perihal itu. Namun, ia memilih 'pulang kampung', memilih untuk berkontribusi dan berbakti pada 'kampung halamannya'. Sesuatu yang tak mudah saya kira untuk melakukan pivot alias banting setir, meninggalkan 'zona nyaman' beliau sebagai birokrat.
Namun, di situlah terpancar sisi inspirasional beliau. Having a courage to take a risk. Mengambil risiko, tentu dengan berbagai pertimbangan. Sebagaimana mahirnya beliau mengambil keputusan sulit saat berdiplomasi dengan negara lain terkait keselamatan dan keamanan WNI. Saya pribadi sebagai pemuda NTB di bawah 40-an tahun, bisa membayangkan situasi tersebut.
Saya amati, banyak anak muda yang tergerak mendukung beliau karena rekam jejaknya sebagai birokrat yang berprestasi. Prestasi yang tidak hanya di ranah akademik, tapi juga di karier sebagai profesional. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana pencapaian itu semua bisa membuat beliau 'menjadi manusia'. Sisi kemanusiaan beliau terpancar. Itu yang utama. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya?
Dua hari lalu (Senin, 29 Juli 2024) Miq Iqbal dan timnya mampir ke rumah mertua saya, H. Lalu Slamet Suryawan Sahak, di Ijobalit. Mamiq mertua saya tampak tak sabaran karena ia seperti akan bertemu dengan energi besar. Sebagai menantu, saya bisa membaca dan merasakan itu.
Dan ... duar!!! Â
Dalam pertemuan yang relatif singkat itu, energi itu bertemu. Mamiq mertua saya dengan energinya yang meledak-ledak bak roket bertemu Miq Iqbal yang santun dan sejuk. Ketika saya hidangkan kue, Miq Iqbal sempatnya bilang, "Ini nggak penting. Yang lebih penting itu kopi." Kami tertawa. Saya dan ibu mertua bergegas menyiapkan kopi di dapur.
Obrolan penuh energi itu mengalir deras di teras depan rumah Mamiq Slamet. Berselisih usia sekitar 14 tahun membuat Mamiq Slamet memanggil Miq Iqbal dengan sebutan 'Adik'. Keakraban terjalin dengan luwesnya. Dari sekian banyak lapis obrolan, Mamiq Slamet hanya menitip satu pesan ke Miq Iqbal, "Nanti kalau terpilih, baik-baik jaga amanah!"
Ya, seorang 'kakak' hanya bisa memberi dukungan morel (mengenai moral, KBBI) pada 'adik'nya. Mamiq Slamet membaca potensi Miq Iqbal sebagai sosok yang masih muda, punya pengalaman di dunia internasional (dan ini akan semakin menguatkan posisi NTB), dan tentu saja berprestasi. Anak-anak muda NTB butuh sosok pemimpin yang inspirasional. Tanpa perlu bertatap muka, tapi kita bisa merasakan energi kepemimpinannya untuk menggerakkan kita membuat kemajuan. Bukankah, kepemimpinan adalah tentang pengaruh? Leadership is about influence. Tanpa perlu diawasi secara kasat mata oleh pemimpin, kita di bawah sebagai rakyat bisa bergerak karena PENGARUH POSITIF TAK KASAT MATA tersebut.
Akhir kata, mewakili diri saya sendiri, saya mendoakan Miq Iqbal TERPILIH sebagai pemimpin NTB tahun ini. Ada harapan yang beliau bawa pada generasi muda. Saya yakin beliau bisa menggerakkan dan menumbuhkan kreasi dan inovasi anak-anak muda. He brings a brighter hope. Keep being inspirational, our captain!
Mestakung! Semesta mendukung!
Salam literasi. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H