Mohon tunggu...
Lalu Abdul Fatah
Lalu Abdul Fatah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Lepas, dan Pengajar Penulisan Kreatif

Berkecimpung di dunia pendidikan, khususnya literasi sejak 2014 sampai sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pembaca Bermental Miskin

13 Januari 2014   21:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_289971" align="aligncenter" width="300" caption="Beberapa karya saya yang bergenre traveling"][/caption] Beberapa waktu lalu saya membaca status teman di Facebook. Ia rupanya mengutip pernyataan Ippho Right Santosa. "@ipphoright: Orang yang sering meminta-minta, sulit menjadi kaya. Pikiran & mentalnya telah menghalangi. Mental block Seperti apa mental kaya itu? Tidak mau dikasihani, gemar berbagi, dan fokus pada hal-hal produktif "Minta dong! Gratis dong!" Inilah mental miskin. Otak bawah sadar akan merekam "Aku nggak mampu, layak dikasihani."" Dikasih? Yah terima, Nabi pun begitu... Kalau nggak dikasih? Jangan minta-minta... Uang blh tiada, harga diri mesti ada." *** Saya, dalam hati, setuju dengan Ippho. Apalagi jika dikaitkan dengan mental gratisan beberapa oknum terkait buku. Sebagai orang yang diberi kesempatan untuk menulis beberapa buku, saya tak jarang 'ditodong' oleh orang-orang agar diberikan buku gratis. Awal 2011 punya buku solo, masih euforia, saya tidak keberatan. Waktu itu saya cuma berpikir bahwa alangkah senangnya buku kita dibaca orang lain. Bukankah itu tujuan menulis buku? Bisa berbagi dan orang lain beroleh manfaat? Maka, saya pun tak keberatan memberikan buku saya secara cuma-cuma. Tapi, belakangan ini, ketika beberapa karya lain saya - berupa buku - kian bermunculan, todongan gratisan itu masih saja ada. Jujur saja, saya keberatan. Ketika orang menuntut "harga teman" yang bermakna "gratis", kok sepertinya tidak tepat ya bagi saya. Justru, kalau harga teman, dia akan rela menghargai bahkan dengan nilai yang lebih mahal dibandingkan dengan harga asli karya tersebut. Lantas, saya membandingkannya dengan lukisan. Tulisan dan lukisan sama-sama merupakan karya kreatif. Tapi, saya sejauh ini belum pernah mendengar orang yang lancang mengatakan, "Eh, aku mau dong lukisannya. Gratis ya!" Entahlah, bisa jadi karena lukisan masih dianggap lebih eksklusif dan 'mahal' di mata sebagian orang. Beda dengan buku. Bagi sebagian besar orang, bisa jadi buku pun harganya mahal. Untuk harga Rp50.000,- ke atas, mungkin terhitung mahal bagi sebagian orang awam. Tapi, yang lucu adalah bahwa permintaan buku gratis itu, tidak saya dapatkan dari orang-orang yang notabene awam atau kesusahan untuk akses buku. Justru, "harga teman" alias "gratis" itu datang dari orang-orang yang well-educated. Berpendidikan. Kalangan terpelajar yang paham pentingnya buku bagi perkembangan intelektual mereka. Saya tak henti heran saja. Di saat mereka bisa gampangnya membeli pulsa atau voucher internet, misalnya, tapi untuk urusan membeli buku kok tidak? Lebih miris lagi adalah ketika menjumpai orang yang dapat buku gratis dari saya itu justru memperlakukan buku pemberian saya dengan tidak baik. Alih-alih disampul dan antusias dibaca, ini malahan digeletakkan di lantai. Dibiarkan begitu saja. Siapa yang tidak sedih juga geram? Ingin rasanya saya mengambil kembali buku saya itu dan mungkin memberikannya pada mereka yang lebih menghargai buku. Saya tak keberatan memberikan buku pada orang yang menurut saya layak untuk dapat. Kadang menjadikannya sebagai hadiah atau wujud terima kasih. Kadang sembari berpesan agar ia meresensi buku saya tersebut. Saya akan senang sekali. Dan, ini sebenarnya sudah lazim saya temui di dunia perbukuan yang saya geluti selama ini. Cuma, saya tidak habis pikir pada orang-orang yang tiba-tiba saja muncul kala saya, misalnya, mengeluarkan karya baru. Mereka pun main todong. Minta gratisan. Padahal secara finansial, amat bisa membeli buku-buku saya yang harga per judulnya rata-rata di bawah Rp50.000,- itu. Mental miskin? Tak tahu saya. Saya tidak mau memberi penilaian sedemikian cepat. Bisa jadi mereka hanya bercanda dan saya saja yang menanggapinya serius sampai sempat ngoceh di Twitter, bahkan bikin tulisan ini. Bisa jadi karena buku bukanlah sesuatu yang hebat yang perlu dihargai laiknya lukisan. Padahal andai mereka tahu bahwa proses menulis itu tidaklah segampang yang mereka kira. Atau bisa jadi karena pengaruh kehidupan digital? Orang bisa mengunduh lagu, film, gambar, dan lain-lain secara gratis di internet, lantas mengapa buku harus beli? Ada buku elektronik pula! Mungkin demikian yang terlintas di pikiran mereka. Orang-orang bermental instan? Tak menghargai proses? Ah, tak tahulah saya. Kendati ada orang-orang seperti itu, namun tak sedikit pula yang benar-benar menghargai buku. Bahkan, daripada membeli di toko buku, mereka rela memesan langsung pada penulisnya hanya agar bisa memperoleh tanda tangan. Dari situ, akan terlihat, mana orang-orang yang mencintai buku dan menghargai proses, dan mana yang tidak. Anda yang seperti apa?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun