Ia juga, saya kira, piawai menyederhanakan konsep. Alih-alih menjelaskan dengan tuturan ilmiah yang kering nan kaku tentang apa itu kepemimpinan, misalnya, Anies justru menciptakan analogi (kesepadanan) yang bisa dipahami dengan mudah. Contohnya, dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Anies membayangkan kepemimpinan itu seperti dirigen dalam sebuah orkestra.
"Tanya pada pemain biola: Anda bisakah main tanpa dirigen? Bisa! Tanya pemain piano, bisakah main tanpa dirigen? Bisa! Tanya seluruh pemain orkestra, semuanya bisa melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, tanpa kehadiran seorang dirigen”.
“Tapi”, lanjutnya,”kehadiran dirigen itu memberikan nyawa, memberikan nuansa, memberikan perasaan tujuan yang sama.”
Di lain wawancara dengan Tribun, misalnya, ia menganalogikan kepemimpinan dengan orkes angklung.
"Dalam orkes angklung, tak hanya saya tapi juga masing-masing kita ikut bermain di dalamnya, semua turun tangan tak hanya diam," ujarnya, Selasa (3/12/2013).
Anies menutup dengan mengatakan, bukan saatnya lagi kepemimpinan ibarat sebuah band, di mana masyarakat hanya diam dan menyaksikan pemimpinnya tanpa mau terlibat dan turun tangan.
Bagaimana menurut Anda? Ketika sebuah konsep abstrak disampaikan lewat analogi, maka ia akan jauh lebih mudah dicerna, bukan?
Namun, saya kira, komunikasi massa yang baik tidaklah cukup. Integritas, saya kira yang menjadi modal utama seorang Anies Baswedan. Ketika publik mengenalnya sebagai orang yang konsisten antara tindakan dengan nilai-nilai yang ia pegang, maka dengan atau tanpa memercikkan kata-kata pun, orang akan terinspirasi dan jauh lebih mudah digerakkan.
Menutup tulisan ini, saya kutipkan tulisan Anies yang diunggah di situs pribadinya dan telah dimuat pula di buku "Menjadi Indonesia: Surat dari dan untuk Pemimpin" yang diterbitkan oleh TEMPO Institute.
"Menjadi pemimpin itu bukan soal kecerdasan, kharisma, komunikasi, tampilan, dan segala macam atribut yang biasa dilekatkan pada figur pemimpin. Disebut pemimpin atau tidak ini adalah soal ada atau tidaknya yang mengikuti. Hadirnya pengakuan dan kepengikutan itu yang mengubah seseorang jadi pemimpin. Menjadi pemimpin adalah soal pengakuan dari yang dipimpin, sebuah rumusan sederhana yang sering terlupakan."