Mata dan Manusia Laut merupakan buku ketiga karya Okki Madasari yang saya baca. Novel sastra anak ini menjadi serial ketiga dari tetralogi Mata: Mata di Tanah Melus, Mata dan Rahasia Pulau Gapi, Mata dan Manusia Laut, serta Mata dan Nyala Api Purba.
Sama seperti kedua novel sebelumnya yang berlatar di Indonesia bagian timur, Mata dan Manusia Laut menceritakan petualangan dua bocah dalam mengarungi lautan di Kepulauan Wakatobi. Sebuah pulau yang menjadi rumah bagi orang-orang Bajo, para pengembara laut.
Penulis: Okky Madasari
Ilustrator: Restu Ratnaningtyas
Tahun terbit: 2019
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ukuran: 20 cm
Tebal: 232 halaman
Harga buku: Rp 57.600
Nomor ISBN: 978-602-06-3028-1
Sinopsis
Media internasional mengabarkan tentang manusia-manusia yang mampu menyelam hingga kedalaman puluhan meter tanpa bantuan alat pernafasan. Kabar tersebut membawa Matara dan ibunya berlayar ke kepulauan Wakatobi yang menjadi tempat tinggal Orang Bajo. Tepatnya di Kampung Sama, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.Â
Kebetulan sekali mereka datang saat perayaan pesta rakyat sedang digelar. Lapangan kampung dipenuhi seluruh penduduk lokal dan para pendatang yang hendak turut berpesta. Di tengah keramaian tersebut, Matara bertemu dengan Bambulo, si anak Bajo yang sudah jago berenang dan menyelam sejak balita.Â
Bambulo tingggal di Kampung Sama, sebuah kampung apung di tengan lautan, terpisah dari daratan. Rumah-rumah penduduk terbuat dari kayu berbentuk panggung dengan tiang-tiang tinggi yang tertanam ke dalam air laut. Orang-orang Bajo terbiasa mandi dan mencuci dengan air laut. Kesehariannya dihabiskan di lautan, kadang-kadang saja Bambulo dan anak-anak sebayanya pergi ke sekolah, ketika sedang bosan berenang.
Bambulo mengajak Matara berkelana menuju ke atol atau karang tempat orang-orang Bajo mencari ikan dalam jumlah yang banyak. Tanpa memperhatikan waktu yang bertepatan dengan bulan purnama, kedua bocah itu terus mendayung sampan ke tengah lautan. Sementara, Ibu Matara yang masih berada di Lapangan Kaledupa mulai panik karena Matara tak kunjung balik.Â
Masyarakat suku Bajo pantang berlayar dan menangkap ikan saat bulan terang sempurna, mereka percaya dewa laut akan murka. Namun Bambulo mengabaikan pantangan tersebut, padahal kawanan lummu-lummu atau lumba-lumba sudah mengingatkannya. Tindakan dan kecerobohannya mengakibatkan bencana yang tidak terduga. Gempa dan gelombang Tsunami menyerang Kampung Sama hingga ke Kaledupa, memporak-porandakan wilayah tersebut.Â