Wah, senang sekali. Kali ini Kompasiana mengajak bervakansi ke museum. Baru-baru ini saya mengunjungi Tjong A Fie Museum di Medan. Pada Februari lalu saat solo traveling ke Aceh saya juga bertandang ke Museum Tsunami dan Museum Aceh. Dan pada tahun lalu, saya bervakansi ke Museum Sonobudoyo di Yogyakarta, museum terlengkap kedua setelah Museum Nasional Republik Indonesia.
Letaknya yang berada di pusat kota, dekat dengan Alun-alun Utara ini sangat mudah dijangkau. Harga tiket masuknya relatif murah, untuk dewasa Rp 10.000, untuk anak-anak Rp 5.000, dan untuk wisatawan mancanegara dikenakan tarif Rp 20.000 saja.
Museum Sonobudoyo menyimpan ribuan koleksi dari zaman megalitikum hingga kebudayaan saat ini terutama budaya Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.Â
Memasuki pelataran museum, di sebelah kanan terdapat satu paket gamelan yang merupakan hadiah dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Gamelan ini tidak boleh dimainkan, hanya ditampilkan. Bagi pengunjung yang ingin mencoba bermain gamelan, disediakan gender gamelan di bagian kiri. Di sana juga ada wiyaga atau penabuh yang siaga mengajari.Â
Di atas pintu masuk, terdapat candrasengkala sebagai penanda dibangunnya gedung museum ini. Bunyinya Buta Ngrasa Hesthining Lata, yang bermakna tahun 1865 kalender jawa atau 1934 yang merupakan tahun berdirinya museum.Â
Museum Sonobudoyo Unit I terdiri dari beberapa ruangan dengan berbagai jenis koleksi, ada Geologi, Biologi, Etnografi, Arkeologi, Historika, Numismatika (ragam mata uang), Filologika (naskah kuno tulisan tangan), Keramologika (berang pecah belah berbahan dasar tanah liat yang dibakar), Seni Rupa, dan Teknologi.Â
Ruang Pertama
Di ruang pengenalan, pemandu akan menjelaskan beragam koleksi yang tersimpan rapi di museum ini. Ada pasren, tempat tidur bagi orang jawa yang merupakan tempat Dewi Sri atau dewa kesuburan. Dulunya, pasren digunakan saat upacara panen padi.Â
Ruang Prasejarah
Di ruang kedua, berupa-rupa benda dari jaman prasejarah, seperti tengkorak, kapak, batu, beliung, dan patung-patung dari zaman megalitikum yang digunakan untuk pemujaan. Di sini juga terdapat replika peti kubur batu di atas tanah. Penguburan jenazah pada masa itu tidak dipendam, melainkan disimpan di dalam peti batu dan diletakkan di atas tanah.Â