Siapa yang tidak mengenal Totto Chan?
Seorang gadis cilik berkarakter unik. Kegemarannya berdiri di depan jendela saat pelajaran berlangsung, mengajak bicara burung-burung, dan segala tingkahnya yang kerap membuat gurunya bingung. Kekacauan serta kegaduhan yang dibuatnya dianggap tidak wajar. Guru Totto Chan tidak tahan, hinggak akhirnya gadis periang itu dikeluarkan.
Ibu Totto Chan segera memindahkannya ke sekolah baru. Sekolah bekas gerbong kereta bernama Tomoe Gakuen yang berada di salah satu sudut kota Jepang.
Totto Chan, melalui bukunya menceritakan kisah masa kecil di Tomoe Gakuen. Dari rangkaian ceritanya, kita, sebagai orang tua, guru, orang yang lebih dewasa seharusnya bisa meniru, hal-hal baik yang diterapkan dan dibiasakan di Tomoe Gakuen.
Kepala Sekolah
Adalah Sosaku Kobayashi, seorang kepala sekolah dan guru, yang dengan gigihnya membangun dan mengembangkan sistem pendidikan yang mandiri dan bebas. Pria berambut tipis yang beberapa giginya sudah tanggal, tapi wajahnya masih terlihat segar. Itulah gambaran sosok Sosaku Kobayashi.
Dengan sabar dan penuh antusisas berjam-jam mendengarkan apa saja yang diceritakan Totto Chan di hari pertama masuk sekolah Tomoe Gakoen. Kemampuannya mendengar secara aktif, tidak menyela apalagi menghakimi, patut diteladani. Sikap Kobayashi yang seperti itu membuat Totto Chan sebagai murid baru merasa senang, diterima, dan aman.
Dalam masa-masa pengenalan lingkungan sekolah, selarasnya para guru berkenan memberikan kesempatan kepada anak didik barunya untuk menyampaikan apa saja. Dengan begitu, selain guru mendapatkan informasi tentang kondisi muridnya, tumbuh rasa percaya dan bahagia dalam diri murid.
Kelas di Kereta dan Guru Pertanian
Di Tomoe Gakuen, tidak dijumpai ruang-ruang kelas seperti di sekolah formal pada umumnya. Anak-anak belajar di dalam bekas gerbong kereta yang sudah tidak dipakai, kadang di halaman, di ladang, di mana saja. Tidak ada pengaturan tempat duduk, anak-anak dibebaskan memilih sesuai keinginannya. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, "Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru”. Praktik baik seperti ini cukup banyak ditemukan di Indonesia, salah satunya Sanggar Anak Alam di Yogyakarta.