Mohon tunggu...
Laeli Nuraj
Laeli Nuraj Mohon Tunggu... Lainnya - Basic Education Research Team

Suka baca, ngopi, jalan pagi, dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Solo Traveling: Menapak Kaki di Titik Nol Kilometer Sabang

19 Juli 2024   22:52 Diperbarui: 20 Juli 2024   00:03 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 5. Dari deck kapal ferry Sabang-Banda Aceh

Long tenggeh jep Kupi Aceh. Adalah Irfan, seorang warga Sabang pegawai "Is Panorama", salah satu penginapan di Pulau Iboih, yang mengajariku Bahasa Aceh. Tentunya sembari menyesap Kupi Aceh yang kental dan khas. Dituturkannya susur galur Pantai Iboih dan Pulau Rubiah. Konon, Teungku Iboih berselisih paham dengan istrinya, Siti Rubiah. Tidak ada titik temu, keduanya memutuskan untuk berpisah. Teungku Iboih tetap tinggal di Pulau Iboih, sementara Rubiah di seberangnya yang kini menjadi Pulau Rubiah.

Hari kedua di Sabang. Misi ke ujung barat NKRI harus lekas ditunaikan. Seolah mengabaikan kaku badan dan kantuk yang tak tertahankan. Lekas melaju dengan motor sewaan menuju ke barat. Jalanan masih tetap sepi. Semakin jauh, rumah-rumah warga dan penginapan semakin berjarak. Pohon-pohon besar yang rindang menghalangi komorebi,menyebabkan agak gelap dan lembab. Penuh hati-hati agar tidak terjerembab. Sesekali bunyi Tonggeret bersahut-sahutan, memecah keheningan. 

Sabang kota yang tentram dan aman. Seaman ketika melintasi jalanan di waktu malam, tiada komplotan begal menghadang. Paling-paling babi hutan yang mengancam. Monyet-monyet liar yang bergelantungan di dahan, beberapa duduk di tepian jalan. Sekali waktu, biawak selebar jalan sibuk menyeberang. Terkejut nanap tidak percaya. Tidak mungkin putar balik, maka bersabarlah menunggu dari jauh mendahulukan biawak lewat.

Lima belas menit, Iboih-Monumen Nol Kilometer. Gerbang masuk yang menua, berlumut di segala sisinya, menyambut sambangan para wisatawan. Jajaran toko souvenir memamerkan berupa-rupa gantungan, kaos-kaos pantai bertuliskan nama-nama wisata di penjuru Kota Sabang. Fyi: masuk ke kawasan Titik Nol Kilometer tidak dipungut biaya alias gratis.

Entah apa yang kupikirkan, tanpa ragu saya titipkan daypack yang memuat baju ganti seadanya. Sepercaya itu dengan tawaran ramah nan tulus dari salah satu pedagang souvenir. Katanya agar bebas melenggang hingga ke ujung tebing tanpa beban. Tentunya hal seperti ini tidak bisa dilakukan di sembarang tempat ya. 

Titik Nol Kilometer Sabang

Takjub dengan kekokohan tugu setinggi 8 meter, menghadap ke laut lepas sejauh mata memandang Samudera Hindia. Kombinasi warna biru dan putih senada dengan indahnya lanskap luasnya segara. Filosofi penuh makna di balik setiap detail konstruksi Monumen Titik Nol Kilometer. Tak tertinggal Rencong sebagai pusaka orang Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berdirinya sejak September 1977 menjadi penanda batas Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Siapa sangka, kaki ini menapak di titik yang menyimpan pesan-pesan kebangsaan.

Kala sibuk membidik dengan ponsel dari segala sisi dan berulang kali selfie, kulihat dua wisatawan yang sepertinya datang dari negeri seberang. Memberanikan diri berkenalan dengan tujuan meminta pertolongan: menjepret potret diri di depan tugu yang diidamkan. Duo turis baik berbeda suku dan usia ini rupanya berasal dari Jiran, Goh dan Datuk Ruslan. Kami pun bergantian memfoto, bertukar cerita dan pengalaman. Rupanya keduanya adalah penyelam profesional. Di usianya yang tak lagi muda, 25 meter kedalaman laut masih sanggup diselami. Hebat sekali.

Obrolan semakin seru, sejuk udara kawasan hutan menyegarkan paru-paru. Selepas membeli beberapa buah tangan, saya mengajak Goh dan Datuk Ruslan mencicipi Rujak Aceh. Kuliner khas Sabang yang pamornya sudah kondang di mata para wisatawan. Dengan Rp 10.000 saja, manis kelat yang dihasilkan dari buah rumbia bisa dirasa. Ini yang menjadi beda dari rajak-rujak di luar sana. 

Gambar 2. Rujak Aceh
Gambar 2. Rujak Aceh

Gua Sarang

Tujuan destinasi berikutnnya adalah Gua Sarang, tempat persembunyian dan bersarangnya burung lawet dan kalong. Rupanya Goh dan Datuk pun menuju ke sana. Maka beringingan kami, dengan motor sewaan masing-masing. Mereka membuntuti, lantaran tiba-tiba smartphone-nya tak mampu mengakses google maps. Kurang lebih 30 menit, Titik Nol Sabang-Gua Sarang dengan suasana jalanan yang masih sama. Tidak ada kendala berarti, sampailah kami. Goh mendahului, membayarkan tiket masuk perkepala Rp 5.000 untuk kami bertiga.

Sajian pemandangan tak kalah eloknya. Biru putih masih mendominasi, ditambah hijau yang membuat asri. Suara alam dan handpan yang dimainkan salah satu wisatawan menyatu beriringan menyanyikan harmoni yang indah. Di bawah tebing dan perbukitan hutan lindung Sabang, rupanya Gua Sarang masih harus ditempuh dengan boat. Sebab waktu sholat Jumat semakin dekat, maka kami cukup puas menikmati siang dengan bersantai di ayunan secara bergantian. 

Kami mengucap salam perpisahan dan saling memanjat doa, semoga lain waktu bisa berjumpa. Goh dan Datuk balik ke Iboih, sementara saya kembali ke Pelabuhan Labohan. 

Gambar 3. Goa Sarang
Gambar 3. Goa Sarang

Kebaikan Sabang

Sabang semakin sunyi. Toko kelontong dan rumah makan kompak tutup menghormati waktu ibadah sholat Jumat. Menambah khasanah Kota Sabang yang damai. Semakin diyakinkan bahwa Kota Sabang sangat aman, ketika pesan singkat penyewa motor menyampaikan untuk memarkirkan motor dan meninggalkan kuncinya di halaman parkir Pelabuhan Labohan. Begitu saja. 

Yang benar saja? Amankah? Lagian, siapa berani mencuri di kota kecil itu. Kalaupun akan membawa kabur menyeberang ke Banda Aceh, tentulah terdata saat menaiki kapal. 

Gambar 4. Pelabuhan Labohan
Gambar 4. Pelabuhan Labohan

Kembali menyeberang. Kibaran merah putih mengingatkan, sejauh kaki melangkah, jangan lupa pulang. Pulang membawa segala kebaikan. Kebaikan dari orang-orang yang kujumpai, kebaikan dari alam yang tak terhitung jari, dan tentunya kebaikan Ilahi. Terima kasih untuk kesempatan baik ini.

Gambar 5. Dari deck kapal ferry Sabang-Banda Aceh
Gambar 5. Dari deck kapal ferry Sabang-Banda Aceh

To be continue...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun