Gua Sarang
Tujuan destinasi berikutnnya adalah Gua Sarang, tempat persembunyian dan bersarangnya burung lawet dan kalong. Rupanya Goh dan Datuk pun menuju ke sana. Maka beringingan kami, dengan motor sewaan masing-masing. Mereka membuntuti, lantaran tiba-tiba smartphone-nya tak mampu mengakses google maps. Kurang lebih 30 menit, Titik Nol Sabang-Gua Sarang dengan suasana jalanan yang masih sama. Tidak ada kendala berarti, sampailah kami. Goh mendahului, membayarkan tiket masuk perkepala Rp 5.000 untuk kami bertiga.
Sajian pemandangan tak kalah eloknya. Biru putih masih mendominasi, ditambah hijau yang membuat asri. Suara alam dan handpan yang dimainkan salah satu wisatawan menyatu beriringan menyanyikan harmoni yang indah. Di bawah tebing dan perbukitan hutan lindung Sabang, rupanya Gua Sarang masih harus ditempuh dengan boat. Sebab waktu sholat Jumat semakin dekat, maka kami cukup puas menikmati siang dengan bersantai di ayunan secara bergantian.Â
Kami mengucap salam perpisahan dan saling memanjat doa, semoga lain waktu bisa berjumpa. Goh dan Datuk balik ke Iboih, sementara saya kembali ke Pelabuhan Labohan.Â
Kebaikan Sabang
Sabang semakin sunyi. Toko kelontong dan rumah makan kompak tutup menghormati waktu ibadah sholat Jumat. Menambah khasanah Kota Sabang yang damai. Semakin diyakinkan bahwa Kota Sabang sangat aman, ketika pesan singkat penyewa motor menyampaikan untuk memarkirkan motor dan meninggalkan kuncinya di halaman parkir Pelabuhan Labohan. Begitu saja.Â
Yang benar saja? Amankah? Lagian, siapa berani mencuri di kota kecil itu. Kalaupun akan membawa kabur menyeberang ke Banda Aceh, tentulah terdata saat menaiki kapal.Â
Kembali menyeberang. Kibaran merah putih mengingatkan, sejauh kaki melangkah, jangan lupa pulang. Pulang membawa segala kebaikan. Kebaikan dari orang-orang yang kujumpai, kebaikan dari alam yang tak terhitung jari, dan tentunya kebaikan Ilahi. Terima kasih untuk kesempatan baik ini.
To be continue...