Mohon tunggu...
Laeli Nuraj
Laeli Nuraj Mohon Tunggu... Lainnya - Basic Education Research Team

Suka baca, ngopi, jalan pagi, dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Solo Traveling: Menapak Kaki di Titik Nol KM Sabang

19 Juli 2024   22:52 Diperbarui: 12 Agustus 2024   09:00 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kala sibuk membidik dengan ponsel dari segala sisi dan berulang kali selfie, kulihat dua wisatawan yang sepertinya datang dari negeri seberang. Memberanikan diri berkenalan dengan tujuan meminta pertolongan: menjepret potret diri di depan tugu yang diidamkan. 

Duo turis baik berbeda suku dan usia ini rupanya berasal dari Jiran, Goh dan Datuk Ruslan. Kami pun bergantian memfoto, bertukar cerita dan pengalaman. Rupanya keduanya adalah penyelam profesional. Di usianya yang tak lagi muda, 25 meter kedalaman laut masih sanggup diselami. Hebat sekali.

Obrolan semakin seru, sejuk udara kawasan hutan menyegarkan paru-paru. Selepas membeli beberapa buah tangan, saya mengajak Goh dan Datuk Ruslan mencicipi Rujak Aceh. 

Kuliner khas Sabang yang pamornya sudah kondang di mata para wisatawan. Dengan Rp 10.000 saja, manis kelat yang dihasilkan dari buah rumbia bisa dirasa. Ini yang menjadi beda dari rajak-rujak di luar sana. 

Rujak Aceh | Dokumnetasi Pribadi
Rujak Aceh | Dokumnetasi Pribadi

Gua Sarang

Tujuan destinasi berikutnnya adalah Gua Sarang, tempat persembunyian dan bersarangnya burung lawet dan kalong. Rupanya Goh dan Datuk pun menuju ke sana. Maka beringingan kami, dengan motor sewaan masing-masing. Mereka membuntuti, lantaran tiba-tiba smartphone-nya tak mampu mengakses google maps. 

Kurang lebih 30 menit, Titik Nol Sabang-Gua Sarang dengan suasana jalanan yang masih sama. Tidak ada kendala berarti, sampailah kami. Goh mendahului, membayarkan tiket masuk perkepala Rp 5.000 untuk kami bertiga.

Sajian pemandangan tak kalah eloknya. Biru putih masih mendominasi, ditambah hijau yang membuat asri. Suara alam dan handpan yang dimainkan salah satu wisatawan menyatu beriringan menyanyikan harmoni yang indah.

 Di bawah tebing dan perbukitan hutan lindung Sabang, rupanya Gua Sarang masih harus ditempuh dengan boat. Sebab waktu sholat Jumat semakin dekat, maka kami cukup puas menikmati siang dengan bersantai di ayunan secara bergantian. 

Kami mengucap salam perpisahan dan saling memanjat doa, semoga lain waktu bisa berjumpa. Goh dan Datuk balik ke Iboih, sementara saya kembali ke Pelabuhan Labohan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun