Mohon tunggu...
Laeli Nuraj
Laeli Nuraj Mohon Tunggu... Lainnya - Basic Education Research Team

Suka baca, ngopi, jalan pagi, dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Solo Traveling: Menapak Kaki di Titik Nol KM Sabang

19 Juli 2024   22:52 Diperbarui: 12 Agustus 2024   09:00 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelabuhan Labohan | Dokumnetasi Pribadi

Long tenggeh jep Kupi Aceh. Adalah Irfan, seorang warga Sabang pegawai "Is Panorama", salah satu penginapan di Pulau Iboih, yang mengajariku Bahasa Aceh. Tentunya sembari menyesap Kupi Aceh yang kental dan khas. Dituturkannya susur galur Pantai Iboih dan Pulau Rubiah. Konon, Teungku Iboih berselisih paham dengan istrinya, Siti Rubiah. Tidak ada titik temu, keduanya memutuskan untuk berpisah. Teungku Iboih tetap tinggal di Pulau Iboih, sementara Rubiah di seberangnya yang kini menjadi Pulau Rubiah.

Hari kedua di Sabang. Misi ke ujung barat NKRI harus lekas ditunaikan. Seolah mengabaikan kaku badan dan kantuk yang tak tertahankan. Lekas melaju dengan motor sewaan menuju ke barat. 

Jalanan masih tetap sepi. Semakin jauh, rumah-rumah warga dan penginapan semakin berjarak. Pohon-pohon besar yang rindang menghalangi komorebi,menyebabkan agak gelap dan lembab. Penuh hati-hati agar tidak terjerembab. Sesekali bunyi Tonggeret bersahut-sahutan, memecah keheningan. 

Sabang kota yang tentram dan aman. Seaman ketika melintasi jalanan di waktu malam, tiada komplotan begal menghadang. Paling-paling babi hutan yang mengancam. Monyet-monyet liar yang bergelantungan di dahan, beberapa duduk di tepian jalan. 

Sekali waktu, biawak selebar jalan sibuk menyeberang. Terkejut nanap tidak percaya. Tidak mungkin putar balik, maka bersabarlah menunggu dari jauh mendahulukan biawak lewat.

Lima belas menit, Iboih-Monumen Nol Kilometer. Gerbang masuk yang menua, berlumut di segala sisinya, menyambut sambangan para wisatawan. Jajaran toko souvenir memamerkan berupa-rupa gantungan, kaos-kaos pantai bertuliskan nama-nama wisata di penjuru Kota Sabang. Fyi: masuk ke kawasan Titik Nol Kilometer tidak dipungut biaya alias gratis.

Entah apa yang kupikirkan, tanpa ragu saya titipkan daypack yang memuat baju ganti seadanya. Sepercaya itu dengan tawaran ramah nan tulus dari salah satu pedagang souvenir. Katanya agar bebas melenggang hingga ke ujung tebing tanpa beban. Tentunya hal seperti ini tidak bisa dilakukan di sembarang tempat ya. 

Titik Nol Kilometer Sabang

Takjub dengan kekokohan tugu setinggi 8 meter, menghadap ke laut lepas sejauh mata memandang Samudera Hindia. Kombinasi warna biru dan putih senada dengan indahnya lanskap luasnya segara. Filosofi penuh makna di balik setiap detail konstruksi Monumen Titik Nol Kilometer. 

Tak tertinggal Rencong sebagai pusaka orang Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berdirinya sejak September 1977 menjadi penanda batas Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Siapa sangka, kaki ini menapak di titik yang menyimpan pesan-pesan kebangsaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun