Mohon tunggu...
Laela Ramadhani
Laela Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

43223010182 | S1 Akuntansi | Ekonomi dan Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Gaya Kepemimpinan Aristoteles

22 Oktober 2024   20:36 Diperbarui: 25 Oktober 2024   07:50 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modul Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Modul Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Teori Aristoteles

Aristoteles (384-322 SM) adalah anak seorang dokter istana yang kehilangan ayahnya saat masih remaja. Pada usia 17 tahun, ia dikirim oleh walinya untuk belajar di akademi Plato di Athena, di mana ia aktif melakukan penelitian dan menulis. Karya-karya Aristoteles mencakup berbagai bidang, termasuk biologi, zoologi, botani, fisika, politik, dan filsafat, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Banyak istilah ilmiah modern yang berasal dari pemikirannya. Banyak filsuf, baik dari kalangan Romawi maupun Kristen, serta para pemikir Arab seperti al-Kindi dan Ibnu Sina di Baghdad pada abad IX dan X, serta Ibnu Bajjah dan Ibnu Rushdi di Spanyol pada abad XII, mengikuti pemikirannya.

Awalnya, Aristoteles adalah pengikut setia Plato hingga guru tersebut meninggal. Dalam periode sekitar 12 tahun setelahnya, ia mulai mengkritik beberapa pemikiran Plato. Sejak tahun 335 SM, ia menolak ajaran Plato dan mengembangkan filsafatnya sendiri, yang berbasis pada metode ilmiah, dan menentang metafisika. Aliran pemikirannya yang mendasari filsafat Realisme berfokus pada kenyataan yang dapat diamati dan dirasakan melalui panca indera, yang kemudian dianalisis dengan logika.

Gaya kepemimpinan yang berlandaskan Realisme dianggap efektif karena realistis, dapat diterapkan, mudah dipahami oleh masyarakat, dan bersifat rasional. Jika ditambahkan dengan kreativitas, hal ini dapat menghasilkan kemajuan dan inovasi, meskipun juga berpotensi menimbulkan pragmatisme yang negatif.

Contohnya adalah gerakan "Saemul Udang" di Korea Selatan, yang muncul secara kreatif setelah mengamati kondisi nyata dan berhasil mengendalikan liberalisme serta kapitalisme ekstrem, dengan menggantinya dengan ekonomi kerakyatan tanpa mengurangi modernitas dan produktivitas. Sebaliknya, contoh buruk dari aliran ini terlihat pada eksploitasi kekayaan alam di Nusantara, yang dilakukan tanpa etika. Aktivitas penambangan mineral dan konversi hutan menjadi lahan pertanian dilakukan semata-mata untuk meraih keuntungan, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan.

Gaya kepemimpinan Aristoteles didasarkan pada pemikirannya yang mendalam mengenai etika, politik, dan peran individu dalam masyarakat. Dalam bukunya "Politika," ia menyatakan bahwa kepemimpinan yang ideal harus memprioritaskan kebaikan bersama dan menekankan pentingnya keadilan. Menurut Aristoteles, seorang pemimpin harus memiliki karakter moral yang baik dan pengetahuan yang luas agar dapat mengambil keputusan yang tepat untuk masyarakat.

Ia juga membedakan berbagai bentuk pemerintahan, seperti monarki, aristokrasi, dan demokrasi, sambil memperingatkan bahwa bentuk-bentuk ini dapat menyimpang menjadi tirani, oligarki, atau mobokrasi. Aristoteles menekankan pentingnya keseimbangan dan keadilan dalam kepemimpinan, serta perlunya keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan Aristoteles sangat dipengaruhi oleh konsep "virtue ethics," di mana moralitas dan karakter individu menjadi landasan untuk tindakan yang benar. Dalam hal ini, pemimpin ideal adalah yang mampu menginspirasi dan membimbing masyarakat menuju kebaikan bersama dengan menekankan nilai-nilai etika dan moral.

Secara keseluruhan, gaya kepemimpinan Aristoteles menekankan nilai integritas, pengetahuan, dan tanggung jawab sosial, serta mendorong pemimpin untuk mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi.

Gaya kepemimpinan Aristoteles dapat dipahami melalui berbagai pandangan para ahli yang mengkaji pemikirannya dan filsafat politiknya:

1. David S. Nivison: Dalam analisanya, Nivison menjelaskan bahwa Aristoteles menekankan pentingnya karakter dan etika dalam kepemimpinan. Menurutnya, pemimpin yang baik harus memiliki kebajikan yang memungkinkan mereka membuat keputusan yang bijaksana demi kebaikan bersama. Nivison menegaskan bahwa kepemimpinan bukan sekadar soal kekuasaan, melainkan juga tanggung jawab moral terhadap masyarakat.

2. John M. Cooper: Cooper menyoroti pandangan Aristoteles mengenai "kebaikan bersama." Ia berpendapat bahwa pemimpin ideal harus memahami tujuan bersama masyarakat dan berusaha mencapainya. Dalam hal ini, kepemimpinan bukan hanya tentang otoritas, tetapi juga tentang mendorong partisipasi dan kolaborasi anggota masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun