Sesungguhnya menjaga bumi adalah menjaga manusia itu sendiri
Tulisan ini saya awali dengan ungkapan terima kasih kepada Kompasiana dan Indika Energy, yang telah membangunkan saya dari hiatus kepenulisan setelah sekian lama. Ya, tema ini berhasil menarik perhatian saya, sebagai alumni fakultas kehutanan untuk mengangkat pena dan menuangkan gagasan di Kompasiana.
Terus terang, sejak dinyatakan lulus sebagai sarjana hingga sekarang, saya belum pernah sama sekali bekerja di bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya tersebut. Semoga tulisan singkat ini, mampu memberi sedikit sumbangsih untuk menyukseskan target Net Zero Emission yang telah dicanangkan, serta untuk memenuhi rasa tanggung jawab saya sebagai sarjana kehutanan dalam menggaungkan kecintaan terhadap lingkungan.
Apa Itu Net Zero Emission?
Di tengah hiruk pikuk masyarakat kita dengan segala aktivitas pribadinya masing-masing, saya yakin, sebagian besar dari mereka belum pernah mendengar istilah Net Zero Emission meski istilah tersebut sudah muncul sejak 2008. Atau jika sudah pernah mendengar pun, mereka akan lanjut bertanya dengan, “Mengapa harus menargetkan Net Zero Emission?” atau, “Apakah itu kepentingan saya?”
Maka mari kita mulai dengan menyederhanakan istilah ini, dan membuatnya familiar untuk masyarakat awam. Net Zero Emission jika diterjemahkan secara bebas berarti Nol Bersih Emisi. Dalam KBBI, emisi artinya adalah pancaran. Lalu emisi apa yang dibicarakan disini? Jawabannya adalah emisi karbon yang menjadi penyebab utama pemanasan global.
Menurut IPCC (Intergovernmental Panel On Climate Change), ada enam jenis gas rumah kaca yang memiliki koefisien pemanasan global tinggi, yaitu: karbondioksida, metana, nitrat oksida, perfluorokarbon, hidrofluorokarbon, dan sulfur heksafluorida. Jika tidak terlepas ke atmosfer, emisi tersebut hanya menjadi polusi dan mampu diserap oleh tanaman dalam proses fotosintesis. Lalu, apa masalahnya?
Permasalahannya adalah, saat ini ekosistem kita banyak yang sudah rusak. Alih fungsi hutan, pembalakan liar, kebakaran hutan, dan beberapa faktor lainnya membuat bumi makin sekarat. Ya, kita kehilangan penangkap emisi alami, dan membuat gas-gas rumah kaca itu bebas terlepas ke atmosfer. Kemudian apa yang terjadi?
Di atmosfer, gas-gas rumah kaca ini semakin menebal sehingga menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap menjadi semakin banyak. Hal tersebut membuat suhu di bumi kian meningkat. Sebuah riset yang dilakukan Kantor Meteorologi Inggris (UK Met Office) dan para peneliti iklim dari 10 negara memperkirakan, pada 2025 terdapat 40 persen kemungkinan temperatur bumi akan lebih panas 1,5 derajat Celcius (Kompas.com). Ini fakta teman-teman, bukan sekedar cerita.
Apa akibat yang ditimbulkan bila bumi semakin panas? Suhu global yang meningkat akan menyebabkan perubahan iklim. Bila iklim berubah, pergantian musim menjadi tidak stabil, kekeringan akan terjadi dimana-mana, permukaan air laut akan naik, kegagalan panen, kepunahan spesies, dan berbagai dampak buruk lainnya.