Mohon tunggu...
Nanda Laela Sofi Sasmita
Nanda Laela Sofi Sasmita Mohon Tunggu... Mahasiswa - 22107030125 Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga

trying to be better

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Riset Menunjukkan Usia 16-24 Tahun adalah Masa Kritis Kesehatan Mental

12 Mei 2023   18:09 Diperbarui: 12 Mei 2023   18:12 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usia 16-24 tahun merupakan masa-masa transisi dari remaja menuju dewasa. Masa transisi ini dapat kita sebut sebagai emerging adulthood. Tidak dipungkiri lagi bahwa masa peralihan ini memang menjadi masa cukup sulit untuk dihadapi. Mengapa demikian?

Remaja yang mengalami peralihan menuju dewasa akan cenderung mendapatkan lebih banyak tantangan, pengalaman, dan tanggung jawab yang baru. Pada masa ini remaja juga masih terus mengalami perkembangan biologis, emosional, kognitif, dan psikologis.

Sebuah riset yang dilakukan oleh tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan di Universitas Indonesia pada 393 remaja usia 16-24 tahun semakin memperkuat asumsi di atas. Riset tersebut juga mendukung WHO yang mengatakan bahwa 1 dari 4 remaja di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. 

Apa penyebabnya? Berikut beberapa faktor penyebabnya.

1. Faktor genetik

2. Faktor biologis, seperti perkembangan hormon reproduksi, ketidakseimbangan kimiawi di otak, cedera otak traumatis, dan epilepsi.

3. Faktor psikologis, dapat berasal dari trauma yang signifikan karena pelecehan, kecelakaan, dan juga kekerasan yang pernah dialami.

4. Faktor lainnya yang berasal dari lingkungan, seperti kehilangan orang terdekat, kehilangan pekerjaan, tekanan dari keluarga ataupun masyarakat, dll.

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan tersebut, menyatakan bahwa banyak remaja Indonesia di masa transisi ini mengalami tantangan beradaptasi terhadap kehidupan mereka yang mulai berubah, kesulitan mengatur waktu dan keuangan pribadi, serta mengalami peningkatan rasa kesepian saat belajar dan merantau di kota yang jauh dari tempat tinggal. 

Usia 16-24 tahun merupakan masa kritis, dimana pada masa ini  banyak remaja tiba-tiba harus menjelajahi lingkungan yang baru, lingkaran pertemanan yang semakin luas, tuntutan pendidikan atau karier yang semakin berat, hingga budaya yang bisa jadi sangat berbeda. Kemudian disertai dengan berbagai masalah dan konflik yang kerap muncul dari berbagai perubahan tersebut. 

Dari survey online yang dilakukan pada 393 orang responden usia 16-24 tahun, sebanyak 95,4% yang mengatakan bahwa mereka pernah mengalami gangguan kecemasan (anxiety), dan 88% pernah mengalami depresi dalam menghadapi permasalahan selama di usia tersebut. Selain itu, sebanyak 96,4% menyatakan kurang memahami cara mengatasi stress akibat permasalahan yang mereka alami. 

Penyelesaian masalah yang paling sering mereka lakukan adalah bercerita pada teman (98,7%), menghindari masalah tersebut (94,1%), mencari informasi tentang cara mengatasi masalah dari internet (89,8%). 

Namun, sebagian juga berakhir dengan menyakiti diri mereka sendiri (51,4%), atau bahkan menjadi putus asa serta ingin mengakhiri hidup sebanyak (57,8%).

Segala permasalahan di atas akan semakin berakibat fatal jika tidak ditangani dengan optimal. Namun, banyak diantara mereka yang justru tidak mencari bantuan saat mengalami gangguan kesehatan mental.

Faktor penyebabnya yakni karena kurangnya layanan kesehatan mental di Indonesia dan layanan yang kurang sesuai dengan yang diharapkan oleh kebutuhan para remaja di usia tersebut. 

 Dalam penelitian yang dilakukan,menunjukkan hasil berikut : para remaja mengatakan bahwa mereka mengharapkan layanan bantuan kesehatan mental yang menjamin kerahasiaan (99,2%), tidak menghakimi (98,5%), berkelanjutan untuk periode waktu tertentu (96%), serta dapat diakses online (84,5%).

 Selain itu, mereka juga merasa bahwa berbagai layanan yang ada diisi oleh tenaga profesional yang kurang ramah (99,2%) dan belum terbuka untuk mendengarkan segala permasalahan yang mereka alami (99%).  

Faktor lain yang juga menghambat adalah stigma negatif dari masyarakat tentang kesehatan jiwa. Mereka takut untuk membicarakannya kepada orangtua atau orang terdekat karena takut dianggap sebagai orang gangguan jiwa berat atau kurang iman.

Jawaban dari para responden juga mengindikasikan bahwa ada masalah kurangnya pengetahuan remaja usia transisi tentang masalah layanan kesehatan mental dan kemana mencari bantuan.

Padahal, pemahaman tentang hal ini sangatlah penting untuk diketahui agar mereka dapat mengidentifikasi masalah sejak dini dan mengatasinya dengan mencari bantuan agar lebih optimal. 

Meningkatnya ketahanan mental (resilience) seseorang pada masa ini akan berdampak positif tidak hanya terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan mereka, tapi juga keberhasilan mereka secara akademis, di lingkungan kerja, dan di kehidupan masyarakat.

Lalu, apa saja yang perlu dilakukan? 

1. Perlu intervensi yang lebih baik untuk membantu para remaja di periode kritis ini agar dapat lebih mengenali masalah yang dihadapi, memahami cara mengatasi stress, serta membangun ketahanan mental mereka.

2. Peningkatan terhadap fasilitas umum yang mampu memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan, menjamin kerahasiaan, tidak menghakimi, dan bersifat ramah serta terbuka terhadap mereka.

3. Institusi pendidikan tinggi tempat sebagian besar remaja usia transisi berada, harus bisa memberikan layanan konsultasi maupun kampanye pentingnya kesehatan mental pada para mahasiswa. Tentang perubahan yang terjadi di usia transisi, adaptasi di perkuliahan, cara mengatasi stress dan masalah kesehatan jiwa, serta edukasi tentang pengenalan gejala gangguan jiwa dan cara mengakses layanan kesehatan jiwa. 

Meski masalah gangguan kesehatan mental ini lebih rentan terjadi pada masa emerging childhood, namun tetap perlu diketahui bahwa masalah ini dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, pengetahuan tentang masalah ini penting untuk di ketahui oleh seluruh masyarakat agar tidak terjadi akibat yang lebih fatal. Mari bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental (mental health).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun