PPN adalah pajak konsumsi yang dikenakan secara merata pada semua golongan masyarakat. Namun, sifat regresifnya berarti bahwa kelompok berpenghasilan rendah akan merasakan dampak yang lebih besar, karena proporsi pengeluaran mereka untuk kebutuhan pokok lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan tinggi.Â
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% adalah langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mendukung pembangunan nasional. Namun, dampaknya terhadap masyarakat dan perekonomian harus dikelola dengan baik agar tidak memperburuk ketimpangan sosial. Kebijakan pendukung seperti subsidi dan insentif pajak perlu diperkuat untuk membantu kelompok yang paling terdampak
Sebagai informasi, asal muasal dasarnya kenaikan PPN ini adalah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021 di DPR. PDIP lantas meminta Presiden Prabowo Subianto menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen.
Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menegaskan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% melalui pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP. Deddy mengatakan partainya tak bermaksud menyalahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Deddy menjelaskan, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) periode lalu. Saat itu, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).
"Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan," kata Deddy dalam keterangannya, Senin (23/12/2024).
Deddy menjelaskan, pada saat itu UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan global dalam kondisi yang baik. Akan tetapi, menurut Deddy, seiring berjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP, meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12%.
Kondisi tersebut, menurut PDIP, di antaranya daya beli masyarakat yang terpuruk, PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar yang saat ini terus naik.
"Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," ujarnya.
Oleh karena itu, Deddy menyatakan sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12% ini hanya meminta pemerintah mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu bukan berarti PDIP menolaknya.
Dalam Islam, prinsip keadilan (al-adl) sangat ditekankan. Kenaikan PPN yang bersifat regresif dapat membebani masyarakat berpenghasilan rendah lebih berat dibandingkan dengan masyarakat kaya.Â