Wah, ini serius nih tulisan tentang pengalaman ambyar di kereta api? Saya mah banyak! Hehe. Mulai dari ketinggalan kereta karena gak tahu jadwal tapi sok-sokan mau naik kereta, gak dapat tiket tempat duduk sehingga harus berdiri sepanjang perjalanan, sampai yang terakhir, ehm, kenangan dengan mantan, wkwk.
Oke, saya coba cerita sedikit ya. Sebagai salah seorang yang pernah berkegiatan di Palembang sementara kampung halaman di Lampung, tentu saja saya tidak asing dengan kereta api. Pasalnya, itulah satu-satunya moda transportasi saya waktu itu.Â
Bisa sih naik pesawat atau bus, tapi harga tiket pesawat kan tidak terjangkau kantong saya, sedangkan kalau naik bus, saya gak tahu jalurnya dimana. Jadi ya memang kereta apilah yang saya pilih untuk wara-wiri Palembang-Lampung dan sebaliknya.
Dulu, beberapa tahun sebelum saya kerja di Palembang, saya, adik, dan ibu saya berniat pergi ke Palembang. Ceritanya mau berkunjung ke rumah saudara disana dan coba-coba naik kereta api. Dengan bekal informasi yang kurang akurat (katanya kereta api Lampung-Palembang berangkat pagi, tanpa kami tahu jam berapa pastinya), kami pergi ke stasiun.Â
Sampai stasiun, loket sudah sepi hingga petugas dan cleaning service agak aneh melihat kedatangan kami. Saat kami lihat jadwal kereta yang tertempel di dinding, baru kami sadar. Kereta api menuju Palembang baru saja berangkat sekitar 5 menit yang lalu. Sedikit informasi, kereta Palembang -- Lampung dan sebaliknya, hanya berangkat sekali di pagi hari, dan sekali di malam hari dengan perbedaan harga yang jauh.
Dengan bengong dan agak kecewa tapi juga merasa lucu sendiri, kami keluar dari stasiun. Bawaan ransel dan makanan yang sedianya akan dimakan selama perjalanan di kereta, kami bongkar lagi di rumah dan kami makan sambil tertawa. Itu pengalaman ketinggalan kereta pertama dan terlucu sepanjang sejarah hidup saya. Kalau saat ini dipikir ulang, aneh saja kami nekat berangkat tanpa tahu jadwal kereta, haha.
Dulu, PT. KAI belumlah sebaik sekarang dalam banyak hal. Pelayanan, pemesanan tiket, serta kondisi gerbong kereta tidaklah sebaik sekarang. Saya mengalaminya antara tahun 2010-2012 dimana saya mulai berkegiatan di Palembang.
Untuk membeli tiket kereta, saya harus antre langsung ke loket di stasiun atau kalau tidak mau antre ya harus mencari di agen tiket resmi yang dulu tidak banyak tersebar. Boro-boro mau sambil duduk dan main jari di aplikasi seperti sekarang.Â
Pemesanan cepat macam di minimarket saja belum ada. Jadi memang benar-benar butuh pengorbanan waktu dan tenaga untuk mendapatkan tiket. Itupun kadang tidak terbayar dengan fasilitas dan pelayanan yang sepertinya alakadarnya.
Saya ingat betul, dulu pernah tidak dapat tiket dengan tempat duduk. Saat itu saya berniat pulang ke Lampung dari Palembang dengan naik kereta malam. Karena saya termasuk orang baru di Palembang, saya belum tahu dimana saja agen tiket kereta api. Tentu saja dulu juga saya belum punya ponsel cerdas yang bisa membantu mencari tempat seperti sekarang. Ah, pokoknya dulu itu terbatas sekali lah.
Jadi dengan bismillah saja saya berangkat ke stasium malam-malam, dan berharap semoga masih ada tiket tersisa untuk saya. Saat tiba di loket, antrean masih banyak tetapi petugas loket telah memasang tanda "TIKET TEMPAT DUDUK HABIS". Tahukan kalian apa artinya itu? Iya, artinya mereka hanya menjual tiket berdiri. Percaya gak? Dulu memang begitu.
Karena saya memang sudah niat mau pulang dan kalau mau balik ke kosan sudah malam naik angkutan umum (catatan: belum ada ojek online yang siap sedia antar kapanpun kemanapun), saya beli juga tuh tiket. Bisa kalian bayangkan bagaimana caranya naik kereta sambil berdiri sepanjang perjalanan dari Palembang ke Lampung? Haha.
Saya tidak sendirian kok. Ada banyak penumpang yang tidak dapat tempat duduk juga. Jadi, untung-untungan deh, selagi masih ada tempat duduk kosong dari stasiun satu ke stasiun lainnya, ya duduk aja. Nanti kalau 'pemilik' tempat duduknya sudah naik dan mendapati kursi kita, ya kita berdiri. Gitu saja. Gak sedikit juga yang gelar kardus di sepanjang lorong kereta.Â
Saya yang tadi gak ancang-ancang cari kardus, cuma bisa nongkrong sambil nyandar di tiang atau pegangan kursi penumpang lain. Mungkin ada yang kasihan lihat saya, jadi dikasihlah saya sepotong kardus untuk duduk. Menikmati nasib yang sama selama perjalanan.
Belum lagi ketika ada petugas atau penumpang yang lewat, datang dan pergi sepanjang lorong. Mau tak mau, para penumpang kelas bawah ini harus bolak balik menggeser kenyamanannya yang sudah minim itu untuk jalan. Pada akhirnya, ada juga yang jadi tidur di bawah kolong kursi penumpang lain agar tidak terganggu dengan orang-orang yang lewat. Ini nyata lho, kawan! Saya mengalaminya, dan itu sungguh miris, menyedihkan, hiks!
Rupanya, drama tak dapat kursi ini belum berakhir sampai disitu. Kereta malam yang sedianya sampai di Lampung pada pagi hari sekitar pukul 07.00-an, baru bisa sampai di Lampung tengah hari. Perut sudah keroncongan, badan lelah karena semalam tidak duduk dengan tenang, ngantuk, dan segala macam perasaan campur menjadi satu. Untunglah, petugas kereta membagikan sebungkus roti sebagai pengganjal perut. Untungnya lagi, sekarang sudah tidak ada drama seperti itu.
PT. KAI memang jos! Banyak perbaikan yang sudah dilakukan hingga sekarang. Dari pemesanan tiket yang makin mudah, hingga pelayanan dan kondisi gerbong yang jauh lebih baik.
Dan kisah terakhir kereta ambyar saya adalah.. ehm, dengan mantan! Ini sih cerita melankolis pas masih muda dulu. Ya namanya anak muda dan labil ya. Ceritanya mirip-mirip sama adegan klise yang sering ada di sinetron atau film atau drama atau apapun jenisnya itu. Padahal saya juga gak terlalu suka dengan adegan itu tapi entahlah kenapa justru itu terjadi sama saya.
Jadi, sewaktu saya mau pulang ke Lampung naik kereta, saya diantar oleh mantan sampai ke gerbong! Dulu, peraturan pengantaran belum seketat sekarang. Kalau sekarang kan, pengantar hanya bisa sampai loket depan ya. Tidak bisa masuk sampai dalam kereta. Dulu mah beda, bebas. Mau nunggu di dalam kereta sampai mau jalan juga boleh.
Balik lagi ke cerita saya. Saat itu, kami baru jadian makanya masih anget-angetnya gombal. Mantan saya mengantar sampai ke gerbong. Saat kereta mau jalan, ia masih saja menunggu di luar. Menatap saya lewat jendela dan terus tersenyum. Sambil menelepon, dia bilang macam-macam, seperti,
"Aku nunggu kamu disini,"
"Hati-hati di jalan,"
"Kamu kabari ya kalau sudah sampai,"
Dan kata-kata yang hampir sama seperti adegan di sinetron. Lebaynya, saat kereta makin menjauh, ia masih saja melambaikan tangan dan berlari seperti ingin mengejar. Ironisnya, di kemudian hari, dia bukan jodoh saya.Â
Tapi tetap saja, kenangan itu tidak bisa hilang dari ingatan saya. Bahkan setiap kali saya melihat kereta api atau naik kereta dan duduk di jendela.
Baiklah, itu sedikit cerita keretaambyar saya. Mon maap ya kalau yang terakhir agak terkesan curhat dengan berbumbu kenangan, hehe. Nah, kalau cerita kalian gimana nih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H