Aku rindu gema saur ibunda, juga takjil sederhananya.
Berjemaah menyeru Tuhan Yang Esa, menentramkan mendamaikan jiwa.
Aku rindu warna warni takbir di angkasa, disenyumi bintang terang merona.
Gegap gempita umat sambut gembira, akan hadirnya kemenangan fitrah.
Ratusan senja telah kulalui, tanpa jejak yang berarti.
Mengapa sang waktu begitu cepat? Sempatkah aku bertaubat?
Temanku kini Munkar dan Nakir, air mataku membanjir.
Tangisi jalan yang tak tentu arah, menunggu ampunan Sang Pemurah.
Ku terpekur sepi,
ingin bertemu Ramadan,
sekali lagi...
Oleh: Sari Puspita Dewi
ditulis Rabu malam, 3 Agustus 2011 untuk disertakan dalam lomba puisi di Kompas.
Walau tidak menang, hati ini tetap tenang. Sebab sejatinya puisi dibuat untuk menenteramkan jiwa.
Diunggah untuk memperingati Hari Puisi Nasional (28 April 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H