"Hampa, Gi. Pikiran gue kosong, hati gue kosong. Kaya gue lagi nyetir kenceng tapi gak tau mau ke mana, mau pulang ke mana. Gak ada rumah. Haha lebay banget ya, gue?"
"Stop." Gian meraih gelas alkohol Ara yang hampir saja jatuh. "Cukup minumnya, gue gak mau liat lo mabok. Gue tau lo sakit, tapi please jangan lo sakiti juga fisik lo. Lo harus inget, kehidupan lo masih harus berlanjut, lo masih bisa nemuin kebahagian lo lagi. Percaya kalo Tuhan punya rencana lebih baik buat lo. Ini cuma salah satu cerita di perjalanan hidup lo, Ra."
"I am trying! Until now I'm still trying, Gi!." Teriak Ara, frustasi. "Gue udah berusaha menguatkan diri gue, tapi mau selogis apapun gue berpikir, rasanya udah gak bisa sama kayak waktu gue sebelum terakhir ketemu dia. Gue udah gak bisa berpikir gimana caranya gue bisa bahagia setelah ini." Ara berkata dengan mata yang terus-menerus mengeluarkan air mata, tanpa bisa ia kendalikan.
"Dengerin gue. Semuanya udah diatur, ada takdir yang gak bisa kita lawan. Kalau lo lawan lo bakan capek sendiri. Lo kenal Nino, juga udah takdir. Dari kenal dia, lo belajar jadi orang yang lebih baik lagi, and that's enough. Mungkin peran Nino di hidup lo cuma sampe situ, and that's enough. Pelan-pelan lo harus terima semua ini dan lo harus inget masih banyak orang yang sayang sama lo, Ra."
Gian mengambil napas panjang. Meraih tangan Ara yang masih basah terkena air mata. "Ada orang yang juga sayang sama lo sebesar Nino, dan bersedia membuat lo bahagia the way you deserve."
Ada jeda yang cukup lama di antara keduanya.
"Menurut lo dia bisa?"
"Gue yakin banget dia bisa. Gue kenal dia dan yakin dia gak akan pernah buat lo menderita, karena itu adalah janji yang udah dia buat sejak umurnya 10 tahun. Dia cuma perlu menunggu sampai semesta mengizinkan dia buat nepatin janjinya."
Ara menatap Gian lekat. Sesaat kemudian, Ara menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Gian dan melingkarkan tangannya pada pinggang sahabatnya itu. Gian membalas pelukannya erat.
"Will you give him a chance?"
Ara tidak menjawab. Ia memilih menyamankan posisinya. Menyalurkan kehangatan yang Ara harap dapat menjadi penawar dari lukanya kini. Setidaknya, ada sebuah harapan yang kembali hidup dalam relung hatinya. Maka ia tersenyum dan Gian dapat merasakannya.[]Â