Seperti kita ketahui dalam buku "Geografi dan Penerapannya dalam Pembangunan Wilayah" oleh I Made Sandy, kalau hasil akhir analisa non spasial adalah "analisis"; hasil akhir analisa spasial adalah "analisis lebih lanjut". Jika S1 sebatas menegaskan rumusan MDAF, yang sebenarnya dalam riset masuk ke dalam jenis "riset eksplorasi" yang sifatnya pencarian data serta pola; di S2 lebih mempertanyakan kenapa? Dan variabel yang lebih kompleks.
Pada RTH, disini dapat berpatokan lagi dg what, where, why. Misalnya:
What: APA variabel2 pendukung pelaksanaan RTH dalam RTRW shg menghasilkan pembangunan berkelanjutan?
Where: DIMANA RTH perlu ditetapkan dalam RTRW, dari segi lingkungan, ekonomi & sosial?
Why: MENGAPA RTH perlu ditetapkan di lokasi-lokasi tersebut? Variabel apa yang menjadi kelemahan, kelebihan, peluang dan ancamannya (SWOT) sehingga penentuan lokasi dapat dilakukan; dan analisa penentuan lokasi dengan menggunakan GIS (ini dapat dikembangkan lagi pertanyaannya).Â
S2 lebih menitikberatkan pada pengupasan bagaimana, yang melibatkan pemahaman terhadap pertanyaan what, where, why. Bagaimana menghasilkan jawaban berupa suatu teknik. Ini dapat berupa teknik atau "cara" agar RTH terpenuhi di masa mendatang (Proyeksi). PROYEKSI ini dipergunakan untuk merumuskan analisa kebijakan.Â
Perumusan kebijakan secara keruangannya atau spasial, sebaiknya dilihat di tingkat analisis SKALA. Bagaimana RTH bisa mencapai 30% di suatu kota? Di tingkat skala mana, realisasi pola penyebaran RTH sebesar 30%? Kebijakan dapat berupa RTH diturunkan ke skala yang lebih besar dari kota, yaitu tingkat kecamatan atau kelurahan. Artinya 30% terdiri dari 20% RTH publik, 10% RTH privat. RTH Publik direalisasikan pemerintah diuraikan menjadi RTH pertamanan, RTH kehutanan dan RTH pertanian. Perlu diketahui bahwa koefisien antar jenis RTH ini berbeda.
3. S3: filosofi mendalam setelah didapatkan semua hasil analisa dari S1 dan S2 diatas.
CATATAN.
Kerumitan analisa geografi sebenarnya dapat diatasi dengan latihan menganalisis, dibantu teori-teori yang diyakini dalam pemecahan dari rumusan masalah. Problematika utama yang ada di Indonesia ialah inventarisasi data. Seringkali itu membuat analisa para geografer terbatas, sehingga menghabiskan waktu pada rincian-rincian pencarian data, bukannya analisis yang mendalam. Data lengkap diperlukan guna menghasilkan keterpaduan (holistiknya) analisa spasial dari segi geografi fisik & geografi sosial.
Kendala utama adalah ketika data tidak lengkap, sebagai geografer perlu memutar otak agar hasil analisa dapat dipakai untuk "analisis tingkat lanjut". Apakah ini semacam "paksaan kajian akademik"?