Siapa itu geografer? Orang sering salah sebut istilah 'geograf', padahal penamaan yang benar ialah 'geographer' (ahli geografi; indonesianya 'Geografer'). Di Indonesia, kami seringkali dipergunakan dalam database, yaitu pendataan GIS dan analisis teknisnya, tetapi sebenarnya keilmuan kami tidaklah sebatas itu. GIS (serta remote sensing) adalah alat kami, sehingga data-data yang terkumpul dapat teranalisa secara keruangan---atau dengan kata lain sering disebut "ANALISA SPASIAL". Ya, inilah kunci seorang geografer, yang digembar-gemborkan salah satu dosen favorit saya, Dr. Triarko Nurlambang, MA, di kampus.
Dalam menyikapi berbagai fenomena, berpikir secara holistik adalah suatu keharusan, dan semestinya bekerjasama dengan berbagai keilmuan. I Made Sandy (salah satu kepala di BPN), pernah berkata bahwa apabila pola pikir sudah terbentuk, terutama 'pola pikir geografis', maka geografer baru disebut sebagai "manusia terdidik"; corak geografi itu akan tampak apabila geografer memilih cabang ilmu yang dikhususkan (geografi fisik/geografi manusia). Namun, kenyataannya pada masa kini, perkembangan ilmu geografi adalah INTEGRATED GEOGRAPHY, yang artinya menggabungkan kedua hal tersebut, sehingga perlu orang-orang yang dapat berpikir secara holistik, dan ilmu-ilmunya pun tidak hanya terbatas pada geografi, tetapi juga ilmu-ilmu spesialis lain sesuai ranah kajiannya. Inilah sebabnya, ahli geografi perlu juga berhubungan dengan para ahli spesialis di luar bidangnya, seperti teknik sipil, teknik lingkungan, ahli kimia, dan sebagainya---tergantung konteks pekerjaan kajiannya.
Geografi adalah kunci penataan ruang agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kita lihat dalam suatu konteks Ruang Terbuka Hijau (RTH). Telah ditetapkan RTH sebesar 30% di perkotaan, yang terdiri dari 20% publik dan 10% privat. Â Peranan geografer dalam penataan ruang sebenarnya mempergunakan pertanyaan seperti jurnalis, yaitu 5W+1H. Namun, Â I Made Sandy, Bapak Geografer yang menjadi acuan mahzab, kita perlu mensintesis pertanyaan analisa spasial menjadi pertanyaan inti: APA, DIMANA DAN MENGAPA?
Lalu, bagaimana peran Geografer dalam perumusan RTH? Berikut ini akan dijabarkan kerangka pikir seorang geografer dari segi keilmuan S1, S2 dan S3:
1. Utk tahap S1, I Made Sandy menekankan cara MDAF (masalah-data-analisa fakta). Kembali pada pertanyaan inti: WHAT, WHERE, WHY. Biasanya geografer melihat masalah melalui:
a. APA objek/subjeknya (rumusan pertanyaannya: apa itu RTH & siapa yang menyediakan RTH?)
b. DIMANA saja RTH? (melihat dari fakta yang  sebelumnya sudah terjadi);
Persyaratan RTH cocoknya dimana? (Ini melihat dari syarat, lalu turun melihat fakta sebenarnya)
c. MENGAPA fakta lokasi RTH seperti itu? (sintesis jawaban dari mengapa ialah mencari "alasan atau apa yang menyebabkan" dari fakta lokasi keberadaan RTH yang sudah ada).
Mengapa persyaratan RTH sedemikian? (Penyebab mau membentuk RTH)
2. Tahap S2: analisa MDAF lebih lanjut.
Seperti kita ketahui dalam buku "Geografi dan Penerapannya dalam Pembangunan Wilayah" oleh I Made Sandy, kalau hasil akhir analisa non spasial adalah "analisis"; hasil akhir analisa spasial adalah "analisis lebih lanjut". Jika S1 sebatas menegaskan rumusan MDAF, yang sebenarnya dalam riset masuk ke dalam jenis "riset eksplorasi" yang sifatnya pencarian data serta pola; di S2 lebih mempertanyakan kenapa? Dan variabel yang lebih kompleks.
Pada RTH, disini dapat berpatokan lagi dg what, where, why. Misalnya:
What: APA variabel2 pendukung pelaksanaan RTH dalam RTRW shg menghasilkan pembangunan berkelanjutan?
Where: DIMANA RTH perlu ditetapkan dalam RTRW, dari segi lingkungan, ekonomi & sosial?
Why: MENGAPA RTH perlu ditetapkan di lokasi-lokasi tersebut? Variabel apa yang menjadi kelemahan, kelebihan, peluang dan ancamannya (SWOT) sehingga penentuan lokasi dapat dilakukan; dan analisa penentuan lokasi dengan menggunakan GIS (ini dapat dikembangkan lagi pertanyaannya).Â
S2 lebih menitikberatkan pada pengupasan bagaimana, yang melibatkan pemahaman terhadap pertanyaan what, where, why. Bagaimana menghasilkan jawaban berupa suatu teknik. Ini dapat berupa teknik atau "cara" agar RTH terpenuhi di masa mendatang (Proyeksi). PROYEKSI ini dipergunakan untuk merumuskan analisa kebijakan.Â
Perumusan kebijakan secara keruangannya atau spasial, sebaiknya dilihat di tingkat analisis SKALA. Bagaimana RTH bisa mencapai 30% di suatu kota? Di tingkat skala mana, realisasi pola penyebaran RTH sebesar 30%? Kebijakan dapat berupa RTH diturunkan ke skala yang lebih besar dari kota, yaitu tingkat kecamatan atau kelurahan. Artinya 30% terdiri dari 20% RTH publik, 10% RTH privat. RTH Publik direalisasikan pemerintah diuraikan menjadi RTH pertamanan, RTH kehutanan dan RTH pertanian. Perlu diketahui bahwa koefisien antar jenis RTH ini berbeda.
3. S3: filosofi mendalam setelah didapatkan semua hasil analisa dari S1 dan S2 diatas.
CATATAN.
Kerumitan analisa geografi sebenarnya dapat diatasi dengan latihan menganalisis, dibantu teori-teori yang diyakini dalam pemecahan dari rumusan masalah. Problematika utama yang ada di Indonesia ialah inventarisasi data. Seringkali itu membuat analisa para geografer terbatas, sehingga menghabiskan waktu pada rincian-rincian pencarian data, bukannya analisis yang mendalam. Data lengkap diperlukan guna menghasilkan keterpaduan (holistiknya) analisa spasial dari segi geografi fisik & geografi sosial.
Kendala utama adalah ketika data tidak lengkap, sebagai geografer perlu memutar otak agar hasil analisa dapat dipakai untuk "analisis tingkat lanjut". Apakah ini semacam "paksaan kajian akademik"?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H