Mohon tunggu...
Lady Alif Fardya
Lady Alif Fardya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Kain Berwarna Kuning

30 November 2020   20:30 Diperbarui: 30 November 2020   20:50 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anak perempuan berusia genap sebelas tahun turun dari mobil yang terhenti di depan gang pinggir jalan raya. Dipijakkan kakinya memasuki gang tersebut. Sepintas Ia melihat bendera berwarna kuning bertengger dengan gagahnya menghiasi sisi kanan tiang gapura. Dalam hati anak perempuan itu bertanya siapakah gerangan yang meninggal dunia.

Dengan tidak memikirkan apa-apa, Ia terus melangkah bersama dengan adik dari ibunya sembari tersenyum mengharapkan berita gembira segera datang menghampirinya. 

Saat berjalan, anak perempuan itu bertemu dengan bibinya yang lain yang terlihat sedang menggendong seorang bayi. Ia masih sempat tertawa di hadapan si bayi. 

Anak perempuan memasang wajah bingung, mengapa ibu si bayi menatapnya dengan tatapan heran. Usut punya usut, alangkah sialnya, kabar baik sama sekali tidak berpihak padanya hari ini. Di belokan jalan Ia melihat banyak kursi plastik dan beberapa orang yang duduk di sana memenuhi halaman depan rumahnya.

Seketika Ia tersadar akan maksud dari potongan kain berwarna kuning yang sesaat lalu dilihatnya. Tangis anak perempuan itu pecah, kakinya terasa seperti tidak menyentuh bumi. Adik dari ibunya dengan sigap memeganginya dan menenangkannya. Tetapi itu semua tidak memberikan efek barang sedikitpun baginya. Lagi, Ia bertanya dalam hatinya mengapa tidak ada yang memberitahu sebelumnya.

Selagi berjalan mendekati kerumunan orang-orang yang tengah duduk di kursi plastik di depan rumahnya, anak perempuan itu menangis semakin menjadi. Dimasukinya rumah dan benar saja, apa yang Ia lihat dihadapannya adalah sosok ayahnya yang sudah terbujur kaku, di sisinya dikelilingi pula orang-orang yang duduk sembari membaca ayat-ayat kitab suci. Anak perempuan itu tersungkur, terduduk, dan langsung memeluk jasad yang sudah mendingin.

"Ayah, bangun."

"Ayah jangan tinggalkan aku."

"Bangun, Yah."

Dengan raungan memanggil sebutan ayah, tidak ada respon yang diberikan. Namun yang dilakukan anak perempuan itu tetaplah menangis sembari memanggil-manggil ayahnya untuk diminta bangun dari tidur panjangnya.

"Sudah nak, ikhlaskan saja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun