Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mosi Tidak Percaya dan Tagar “Save DPR” Kamuflase PDIP

19 Desember 2015   13:31 Diperbarui: 13 Maret 2016   23:03 1537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berapa mantan aktivis bersuara lantang demi rakyat ketika menjabat? Pertanyaan ini patut ditujukan kepada mereka yang sekarang duduk di gedung parlemen, Senayan. Bukan tidak mungkin nurani mereka dibutakan demi kedudukan. Pragmatisme politik cenderung mengabaikan idealisme dan bermain aman dalam kemapanan. Kewenangan recall wakilnya di DPR adalah senjata ampuh partai untuk melanggengkan kekuasaan.

Fraksi PDIP contohnya, Adian Napitupulu turut melaporkan Novanto ke MKD karena menemui Donald Trump, tetapi bungkam saat rekan sefraksinya pernah getol menyuarakan revisi KPK yang nonsense memperkuat lembaga anti rasuah itu. Dan, belum lama ia gulirkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR, apa hasilnya? Baru sehari ban hitam #savedpr melingkar di lengan kiri, novanto justru kembali dikuasakan oleh partainya dengan jabatan ketua fraksi.

Mereka, Fraksi PDIP layaknya bunglon yang bisa berganti warna kekuningan atau lainnya, lalu bingung dengan warnanya sendiri. Tengok saja bagaimana Hasto bersafari menggencarkan pelantikan calon Kapolri Budi Gunawan, tak beda dengan Fahri Hamzah yang terkencing-kencing membela mantan ketuanya, Lutfi Hasan setelah diciduk oleh KPK. Terungkap kala itu kedekatan BG dan JK, salah satu master mind partai berlambang pohon beringin.

Banteng tak lagi bertanduk, mungkin malah dicucuk hidungnya. Dari tujuh suara anggota MKD yang bertujuan untuk membentuk tim panel, satu suara disumbangkan oleh M. Prakoso (F-PDIP). Pembentukan tim panel adalah trik yang dapat meloloskan Novanto (Lihat: Kejanggalan Surat Penonaktifan Akbar Faizal dan Trik Sanksi Berat). Bahkan, Junimart Girsang sebagai wakil ketua pun tampak abai dengan Surat Keputusan Sidang Etik MKD atas Novanto yang tidak menjatuhkan sanksi apapun.

Junimart sekelas Doktor dan advokat senior tidak profesional untuk membaca susunan redaksional dalam surat tersebut. Surahman (Ketua MKD dari Fraksi PKS) menjelaskan bahwasanya sanksi terkandung secara implisit dalam surat keputusan. Mereka anggap masyarakat bodoh dan tidak kritis. Bahasa hukum harus literal dan tidak boleh ambigu.

Surat keputusan MKD hanya menyebut dua hal, yakni surat pengunduran diri Novanto sebagai Ketua DPR dan pemberhentian Novanto sebagai Ketua DPR sejak 16 Desember. MKD sama sekali tidak menyertakan ketujuh belas pendapat yang merumuskan sanksi sedang (10 anggota) dan dugaan pelanggaran etik berat (7 anggota). Sebagai alat kelengkapan DPR yang secara legal dibentuk, MKD wajib memutuskan perkara yang dapat dipertanggungjawabkan secara legal pula. Secara logis, keputusan mesti tegak lurus dengan hasil sidang.

Rapat internal yang digelar tertutup setelah menerima surat pengunduran diri Novanto bernuansa politis. Alhasil, Novanto tidak dijatuhi sanksi apapun oleh MKD. Seandainya putusan tetap dilanjutkan dengan penjatuhan sanksi, Novanto tidak dapat menjabat ketua fraksi. Bagaimanapun, sidang MKD tidak dapat diulang untuk perkara yang sama. Rakyat ditipu.

Kini, Fraksi PDIP yang dulu bersemangat untuk memidanakan pimpinan KPK dalam sengketa pencalonan BG kembali menjilat KPK setelah R.J. Lino ditetapkan sebagai tersangka pengadaan crane. Bahkan, mereka berpaling muka dari JK dan menudingnya jadi bekingan Lino. PDIP seolah-olah lapar mencari posisi untuk diduduki. Sebagaimana dimaksud, kasus Novanto dan R.J. Lino menjadi alat tawar PDIP.

Bertahun-tahun bertahan dari serangan rezim Soeharto, membuat PDIP pintar bermanuver. Ketika mereka mengatakan bahwa menteri non-partai pilihan Jokowi selalu bikin gaduh, sesungguhnya di balik kegaduhan itu mereka mengambil keuntungan. Kegaduhan di tubuh Golkar, PPP, dan kasus Novanto berperan untuk kemenangan PDIP dalam Pilkada serentak tahun ini.

Ditambah lagi seleksi pimpinan KPK periode 2015 – 2019 dan revisi UU KPK yang diagendakan dalam prolegnas 2016. Dari poin-poin revisi yang sebelumnya gagal diinisiasi oleh Megawati dan Fraksi PDIP, tertinggal dua hal yang perlu diwaspadai, yaitu pembentukan dewan pengawas KPK dan izin penyadapan. Setidaknya, mereka berhasil memasukkan dua pimpinan KPK terpilih yang menginginkan pengawasan penyadapan dan KPK tidak melakukan penyelidikan. Keduanya berasal dari kepolisian dan badan intelijen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun